data-ad-format="auto"

Hilangnya Nilai Beragama


Oleh : Kusuma Ndaru

Saat ini Sangat muda merenggut nyawa manusia, tidak memungkiri untuk kaum semit bahwa nenek moyang mereka adalah pembunuh saudara kandungnya. Bagi kaum evolusioner, nenek moyang mereka adalah para pembunuh yang tak kenal ampun, dalam bentuk masyarakat pemburu pengumpul, terkadang untuk beranak pinak, manusia harus agresif, garang, kuat. Guna memikat lawan jenis, wanita menginginkan pria yang dapat memberikan makanan setiap saat, melindunginya dari serangan hewan buas ataupun manusia kanibal. Ini menjadi pondasi kaum biologi evolusioner dalm melihat ke bringasan manusia.  Dalam sudut pandang Karen Armstrong, agama hadir untuk menekan perilaku primitif peninggalan nenek moyang, dimana seluruh respon perilaku untuk bertarung atau menghindar. Welas asih atau cinta dan mengendalikan diri menjadi moto general sebuah keyakinan ribuan tahun. Namun tidak di pungkiri saat ini maupun dalam catatan sejarah, agama malah menjadi legitimasi dalam mengumbar ego, menggunakan kekerasan dalam berperilaku, bahkan tak jarang harus membunuh. Hal ini terlihat kontras dan absurd, dimana agama yang mengajarkan pengendalian ego, malah terlihat mengumbar ego. Namun hampir setiap kejadian seakan lembaga agama terlihat melakukan cuci tangan. Tidak ada tindak lanjut secara masif untuk mencegah kejadian (kekerasan, pembunuhan) atas nama agama maupun tanpa embel-embel agama. Kita bisa melihat berbagai pemuka agama yang bisa di katakan sebagai pemegang ilmu agama yang tinggi, menunjukan perilaku yang tak terkendali, sangan tidak mencerminkan welas asih. Sebenarnya apa motivasi bagi para tokoh menampilak perilkau yang berseberangan dengan nilai-nilai luhur? Lalu mengapa tidak ada tindkaan tegas pada tokoh yang memyeleweng dari ajaran universal tersebut, malahan terlihat mereka menjadi junjungan dengan perilaku yang kasarnya.

Lembaga agama selalu mengaitkam bahwa pelaku amoral tersebut adalah oknum, sehingga tidak bisa di sangkut pautkan dengan salah satu golongan agama. Namun di negara ini seluruh manusia wajib memeluk salah satu agama resmi negara, jikalau kasus amoral tersbut merupakan tanggung jawab pribadi (oknum), maka Apakah agama telah gagal dalam melakukan pendidikan agama?. Tentunya setiap agama harus bertanggung jawab atas seluruh perilaku amoral pengikutnya, agama sebagai agen moral tidak semestinya cuci tangan seperti itu, mereka harus mencontohkan bagaiman perilaku moral yang tepat dalam kasus-kasus seperti itu. Sangat di sayangkan, ibadah setiap saat tidak mampu untuk mengendalikan ego primitif dan menumbuhkan welas asih. 

Dan lagi yang paling penting adalah bagaiman agama mencegah kasus-kasus amoral itu tidak terulang. Sayangnya lembaga-lembaga agama telah gagal menciptakan peribadi yang memlilki kendali atas diri serta perilaku welas asih dan cinta kasih pada penganut agama masyarakat indonesia. Bagaimana mitigasi maupun pendidikan agama yang menjunjung tinggi moral yang cinta kasih belum tercermin dalam perilaku pengikutnya. Meskipun hipotesis ini dapat disangkat dengan kalimat yang berperilaku amoral kan hanya sebagian, mayoritas masyarakat yang beragama mnjunjung tinggi welas asih dan pengendalian ego. Memang perlu penelitian lebih lanjut kaitan antara perilaku amoral dan agama itu sendiri. 

Agama di indonesia memiliki peranan yang sangat luas, mereka ada di setiap sudut masyarakat dengan perwakilan setiap tokoh pada seluruh lapisan masyarakat. Bila agama memang agen moral, seperi yang di gembor gemborkan (cinta dan welas asih), harusnya mereka dapat membuat lingkungan yang mendukung perilaku-perilaku tersebut dapat tumbuh dan, sehingga angka amoral di negara ini dapat turun. Apakah hal ini telah di jalankan oleh lembaga-lembaga agama di negeri ini? Saya rasa masih belum. Ini dapat menjdi tantangan titik balik bagi agama dalam menngahdapi kasus amoral, namun juga sebagai blunder, runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, dimana hanya menjadi legitimasi oleh segelintir petinggi lembaga tersebut dalam meraup keuntungan. Terutama saat pemilu saja. Jadi agama hadir hanya untuk pengumpulan suara politik, tanpa bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan yang penuh dengan cinta dan welas asih.

Tulisan ini sekedar menjawab sebuah pernyataan teman saya, yang mengusulkan perubahan tujuan dalam beragama. Saat ini bergama terkesan dlam perebutan kemuasaan, sehingga cara-cara primitif masih saja digunakan. Memang tidak memungkiri pergerakan politik dunia telah memgarah kepada politik identitas, karena jalan yang mudah dalam meraih kekuasaan. Sebaiknya kita kembalikan lagi tujuan beragama sepeti filosofi universalnya “compassione” dan pengendalian diri. Butuh keberanian untuk menggugat dogma agama saat ini, dimana telah melenceng dari tujuan luhur agama dalam menjaga moral manusia. 

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE