Sebagai Mahasiswa tentunya saya harus mengerti apa tanggung jawab, tugas, serta peran yang di bidemban sebagai anak muda.
Peran mahasiswa di di bidang politik Yang demokratis tentunya harus berlandaskan UUD 1945 dan pancasila, negeri ini di bangun tidak lepas dari peran pemuda-pemudi nusantara hingga munculah sumpah pemuda pada tahun 1928 dan penculikan soekarno ke rengasdengklok untuk mempercepat proklamasi Indonesia.
Dalam bidang ekonomi, tentunya mahasiswa tidak hanya sekedar menjadi buruh di perusahan swasta, BUMN dan sebagainya. Mahasiswa harus menjadi pelaku bisnis dan wirausah guna menciptakan lapangan kerja sehingga mampu menanggurangi pengangguran di negeri ini serta mampu meingkatkan taraf hidup rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Di bidang hubungan internasional Indonesia diharapkan mampu memiliki peran signifikan entah menentukan kebijakan ekonomi, militer, dan politik global.
Dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, Indonesia melalui mahasiswanya dapat mendapatkan peran yang strategis dalam perkembangan science dan teknologi dunia. Tidak hanya menjadi konsumtif prodak science dan teknologi dunia.
Dalam bidang kebudayaan, mahasiswa dapat menjadi pelopor dalam memperkukuh identitas bangsa dan tombak untuk memerangi pergeseran budaya yang semakin melenakan negeri ini.
Untuk menjalankan enam peran tersebut mahsiswa atau pemuda perlu suatu Negara yang bersatu berlandaskan UUD 1945 dan falsafah pancasila sehingga terhindar dari ancaman-ancaman yang dapat menghambat perjalanan menuju enam pilar tersebut. Persatuan dan kesatuan Negara merupakan syarat mutlak agar terciptanya pemuda-pemuda yang kreatif untuk menjalankan keenam fungsi mereka di masa yang akan dating. tantangan-tantangan luas dan berat yang harus dihadapi kaum muda Indonesia dewasa ini dengan berani, cerdas, ulet, tekun, penuh komitmen dan bermoral.
Kesatuan dan persatuan bangsa telah di bentuk oleh bapak pendiri bangsa sampai saat ini. Di awal abad ke-21 muncul ancaman-ancaman oleh berbagai bentuk primordialisme yang menolak kesatuan dan persatuan sosial-politis, ideologis dan kultural. Dari sekian banyak bentuk primordialisme, yang paling potensial menghancurkan kesatuan dan persatuan Indonesia adalah primordialisme kesukuan, kedaerahan, kebudayaan dan keagamaan, dengan masing-masing menimbulkan ancaman bagi kesatuan dan persatuan bangsa dalam peringkat dan skala yang berbeda. Kita semua tahu, minimal dalam dekade pertama abad ke-21 primordialisme keagamaan dengan tajam yang mencul dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia, dan banyak kalangan telah mengalami berbagai bentuk kesusahan karena primordialisme keagamaan yang mencuat tajam dalam aneka ragam bentuk.
Diantara sekian banyak kalanga keagamaan di Indonesia, golongan islamm dan golongan Kristen yang paling terang-terangan mengkampanyekan keyakinan dan ajaranya paling benar kepada masyarakat. Sudah banyak pemerintahan daerah di indonesia mulai tingkat provinsi dan kabupaten memberlakukan syariah Islam sebagai landasan pemerintahan, dengan akibatnya hukum positif yang berlaku secara nasional dan mengikat bangsa dan negara ini diabaikan atau disingkirkan, sementara pemerintah pusat di Jakarta mendiamkan saja. Ada kalangan yang dengan ringan menyatakan bahwa hal ini terjadi akibat logis dari pelaksanaan otonomi daerah. Para bupati yang dipilih langsung oleh rakyat, kata mereka, berhak menentukan sendiri ke arah mana pemerintahan daerah harus dijalankan sejalan dengan keinginan masyarakat pemilih mereka. Kalangan ini tampaknya mengabaikan satu hal yang sudah jelas, yakni setiap kepala daerah memiliki kekuasaan eksekutif untuk mempertahankan NKRI, bukan untuk membubarkan NKRI. Mempertahankan NKRI tak bisa dilepaskan dari mempertahankan Pancasila dan UUD 45. Ada juga minimal satu provinsi di Indonesia yang berkeras ikut-ikutan mau memberlakukan injil Kristen sebagai “UUD” tingkat provinsi. Masing-masing umat kedua agama ini menyatakan bahwa mereka hanya melakukan tugas dan panggilan keagamaan mereka, yang tertulis antara lain dalam kitab suci masing-masing dan diajarkan (atau diindoktrinasikan) di dalam kegiatan-kegiatan pendidikan keagamaan masing-masing serta dikhotbahkan kepada banyak orang dalam komunitas masing-masing.
Kegiatan-kegiatan dakwah di kalangan Muslim, dan kegiatan-kegiatan pekabaran injil (atau evangelisasi) di kalangan Kristen, yang keduanya bertujuan untuk mempertahankan, membuktikan, mengargumentasikan dan memberitakan keunggulan masing-masing agama, telah banyak kali menimbulkan konflik sosial horisontal di dalam masyarakat. Konflik ini mengambil bentuk adu wacana yang sengit dan bentuk tindak kekerasan fisik, yang tidak sedikit di antaranya mendatangkan korban nyawa dan korban harta benda, yang meninggalkan luka-luka batin yang dalam dan sukar disembuhkan pada kedua belah pihak. Siapa yang bersedia menjadi dokter-dokter penyembuh mereka sementara Tuhan masing-masing agama ini berdiam diri saja!?
Primordialisme keagamaan telah merusak kerukunan kehidupan beragama di Indonesia, sementara dipercaya oleh banyak pihak di dalam maupun di luar negeri bahwa Indonesia adalah suatu contoh negara multiagama yang telah berhasil mengelola kehidupan yang rukun antar umat-umat beragama.
Keyakinan ini ternyata hanya ada dalam alam konsep (ide), tidak ada dalam realitas. Sebagai bagian dari generasi muda Indonesia, mhasiswa dihadapkan suatu tantangan besar untuk bisa berperan aktif dalam pengelolaan kemajemukan keagamaan di Indonesia sedemikian rupa sehingga kemajemukan keagamaan bukan menjadi suatu ancaman yang bisa mendisintegrasi bangsa dan negara, melainkan suatu kekayaan sosio-kultural yang berfungsi integratif dan inspiratif bagi kemajuan bangsa di masa depan. Untuk dapat berperan aktif semacam ini, kaum muda Indonesia perlu pertama-tama mengedepankan nasionalisme keindonesiaan mereka sebagai warga negara Indonesia dan patriot bangsa. Nasionalisme keindonesiaan harus berada di atas primordialisme keagamaan apapun, bahkan harus menjadi pengendali dan rem bagi dorongan-dorongan primordial keagamaan dan dorongan-dorongan primordial lainnya (kesukuan, kedaerahan, dan kebudayaan).
Harus diingat terus bahwa nasionalisme keindonesiaan bukanlah hal yang asing bagi generasi muda Indonesia yang lahir dan hidup di bagian manapun dari negara kepulauan Indonesia yang luas, mengingat kaum muda Indonesia telah pernah mengikrarkan nasionalisme keindonesiaan ini dalam suatu sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda.
Mengingat peran historis kaum muda Indonesia dalam membangun nasionalisme keindonesiaan ini, sudah seharusnya kaum muda kususnya mahasiswa Indonesia pada masa kini dapat membantu pemerintah pusat untuk menjalankan pemerintahan di seluruh Indonesia dengan berlandaskan hanya UUD 45 dan Pancasila. Mereka harus ikut mempertahankan Indonesia sebagai negara Pancasila, bukan negara agama apapun. Bentuk NKRI sebagai negara berideologi Pancasila dan ber-UUD 45 adalah satu-satunya bentuk yang paling masuk akal dan paling setia pada sejarah bagi setiap usaha membangun kerukunan antar umat-umat beragama.
Untuk dapat membuat kemajemukan keagamaan sebagai sebuah unsur pemersatu dan penginspirasi bangsa, setiap orang beragama di Indonesia, apapun agama (atau kepercayaan) dan aliran keagamaannya (atau aliran kepercayaannya), perlu memandang agamanya sebagai komplemen atau unsur pelengkap bagi agama lainnya, unsur yang potensial dapat saling memperkaya, baik dalam doktrin keagamaan maupun dalam praktek kehidupan beragama. Untuk dapat memandang setiap agama sebagai sebuah pelengkap bagi agama lainnya yang berbeda, dan untuk dapat saling memperkaya antara agama yang satu dan agama yang lainnya, orang beragama apapun harus sudah terbebas dari dogma triumfalisme dan superiorisme, yakni dogma atau akidah yang memandang agama sendiri sebagai agama pemenang yang menggungguli semua agama lainnya dalam segala segi.
Orang muda yang berjiwa dinamis dan yang menjalani suatu pergaulan yang ramah dan terbuka dengan banyak orang lain yang berbeda di dalam dunia ini adalah kalangan yang umumnya lebih mungkin terbebas dari dogma triumfalisme dan superiorisme ini, ketimbang orang-orang yang sudah lanjut usia yang umumnya mempertahankan suatu mindset atau pola pikir dan keyakinan yang sudah tertutup rapat. Usia muda adalah sebuah peluang atau kesempatan yang diberikan alam untuk dipakai bagi pencapaian kesatuan dan persatuan serta persaudaraan universal antar semua orang dalam dunia ini. The sisterhood of humankind jauh lebih mudah terwujud di kalangan kaum muda sebagai warga dunia yang paling dinamis. Layaknya prabu airlangga mempersatukan sebagian nusantara ketika beliau menjadi raja di usia 19 tahun.
Peluang lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh kaum muda Indonesia dalam memajukan kerukunan antar umat-umat beragama adalah tersedianya energi psikis-neurologis yang besar dalam diri mereka untuk mempelajari dengan kritis teks-teks keagamaan mereka (baik dalam bentuk kitab-kitab suci maupun dalam bentuk tradisi-tradisi keagamaan ekstra-skriptural) sehingga mereka dapat dengan bertanggung jawab memilah-milah mana teks-teks suci yang potensial mendisintegrasi bangsa dan mana teks-teks suci yang potensial menyatukan semua komponen bangsa yang berlainan agama.
Dapat dikatakan bahwa dalam setiap teks suci umat-umat beragama termuat baik ajaran-ajaran yang dengan kuat menolak pluralisme keagamaan maupun ajaran-ajaran yang dengan kuat pula mendukung pluralisme keagamaan. Pluralisme adalah sebuah model sosio-teologis yang berupaya menjelaskan realitas kemajemukan agama-agama sekaligus mengusulkan suatu skema atau suatu desain bagaimana membangun suatu hubungan yang sehat antar agama-agama yang berlainan, yang dilandasi oleh suatu pengakuan akan adanya baik keunikan setiap agama maupun kesamaan atau kesejajaran antar agama-agama. Dalam pluralisme diakui bahwa setiap agama adalah khas atau unik, tetapi sekaligus juga umum. Model pluralisme adalah suatu model yang paling mungkin membangun suatu kerukunan antar umat beragama tanpa menyangkali baik keunikan masing-masing agama maupun kesejajaran atau titik-temu antara agama-agama yang berlainan. Harus diingat bahwa bangsa dan negara Indonesia memiliki sebuah semboyan sosio-ideologis kultural bhinneka tunggal ika, bermacam-macam jenis tetapi satu adanya. Di luar bidang keagamaan, kaum muda Indonesia sudah terbiasa hidup dalam iklim pluralis ketika mereka studi, bekerja, bergaul dan berbudaya.
Kalau kita bisa memahami semua hal yang baru saja dikemukakan dalam poin di atas, maka sudah sepatutnya kita heran pada sikap MUI yang mengharamkan model pluralisme dalam konteks kemajemukan keagamaan di Indonesia. Kalau MUI konon bisa menerima pluralitas keagamaan (fakta bahwa ada banyak agama di Indonesia yang berlainan), mestinya lembaga non-pemerintah yang mewadahi kalangan cerdik pandai Muslim Indonesia ini bisa juga menerima pluralisme sebagai sebuah model sosio-teologis yang paling masuk akal, paling ramah, paling adil dan paling indah dalam mendesain hubungan antar umat-umat beragama yang berbeda-beda demi terciptanya kerukunan yang jujur, tulus dan bermartabat antar umat-umat beragama di Indonesia. Jika model pluralisme ditolak, maka minimal ada dua alternatif lainnya, yakni eksklusivisme dan inklusivisme.
Kedua model alternatif ini tidak bisa menerima kesetaraan yang jujur, tulus dan bermartabat antar semua agama dan kebersatuan semua umat beragama dalam keanekaragaman. Dalam model eksklusivisme, setiap orang beragama mengklaim agamanya sendiri sebagai agama terbenar satu-satunya. Dalam model inklusivisme, agama anda akan menjadi penuh dan sempurna jika mau berintegrasi dengan agama saya sebagai agama puncak atau agama raja yang sudah mencapai kesempurnaan, yang menyerap dan menaklukkan semua agama lainnya. Bagi kalangan Kristen inklusif, hanya Yesus-lah sang Matahari kebenaran, dan jika bulan sabit Islami mau mendapatkan terang maksimal, bulan sabit ini perlu diserap ke dalam terang cahaya Matahari kebenaran Yesus. Itulah inklusivisme Kristen!
Dalam masyarakat Indonesia, dapat ditemukan anekaragam lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga yang dibangun negara, yang bertujuan untuk membangun suatu kehidupan yang rukun antar umat-umat beragama di Indonesia, yang bertahan lenggeng dan untuk jangka panjang ke depan. Tersedianya lembaga-lembaga semacam ini adalah juga peluang berharga yang dapat diraih oleh kaum muda Indonesia untuk memperjuangkan dan menegakkan kerukunan antar umat beragama. Biasanya, dengan didukung dana dari berbagai pihak di dalam maupun di luar negeri, lembaga-lembaga ini mengadakan acara-acara seminar, pelatihan dan lokakarya yang berhubungan dengan banyak usaha membangun suatu kerukunan umat beragama di Indonesia. Dalam kegiatan-kegiatan seminar, pelatihan dan lokakarya ini sebaiknya pemerintah Indonesia jangan terlalu banyak mengendalikan dan mendikte masyarakat untuk sejalan dengan gagasan-gagasan pemerintah tentang ihwal apa dan bagaimana membangun kehidupan yang rukun antar umat beragama di Indonesia.
Sebaiknya pemerintah bertindak selaku fasilitator saja dan penyandang dana, sehingga masyarakat dapat makin dewasa dan mandiri menangani berbagai soal sekitar hubungan antar umat-umat beragama di Indonesia. Usul tentang kebijakan non-intervensi pemerintah ini hanya efektif jika umat-umat beragama di Indonesia sudah betul-betul dewasa dan tidak mempraktekkan proselitisme. Tetapi jika umat-umat beragama yang berbeda-beda terus saja berkelahi satu sama lain, atau jika segmen-segmen tertentu dalam satu agama terus saja berlaku keras terhadap segmen-segmen lain yang berbeda aliran dalam agama yang sama, maka intervensi pemerintah sebagai suatu lembaga pendamai sudah sepatutnya dilakukan, apalagi jika perselisihan antar umat-umat beragama atau antar aliran-aliran dalam satu agama berakhir dengan tindak kekerasan fisik yang menelan korban nyawa manusia dan harta benda, serta menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM.
Tentu saja kaum muda Indonesia perlu mengetahui bahwa ada banyak hambatan yang telah dan akan menghadang mereka ketika mereka berupaya untuk ikut membangun kerukunan antar umat beragama. Hambatan-hambatan itu antara lain adalah:
Fundamentalisme keagamaan, skripturalisme dan literalisme yang menguat dan tampil dengan garang, militan dan takabur di mana-mana dalam dunia dewasa ini di dalam hampir setiap agama, yang merongrong setiap upaya membangun kehidupan yang rukun antar umat-umat beragama;
Pandangan dan sikap pro-Barat dan anti-Arab versus pandangan dan sikap pro-Arab dan anti-Barat, banyak ditemukan di Indonesia, khususnya di dalam komunitas-komunitas Kristen dan Islam, yang membuat persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia menjadi persoalan yang berimplikasi politik global, bukan hanya nasional atau lokal;
Kemiskinan yang masih mencirikan kehidupan bagian terbesar rakyat Indonesia kerap menjadi akar-akar terdalam dari setiap konflik antar umat-umat beragama yang dapat berakhir dengan korban nyawa manusia;
Politik oportunis devide et impera kalangan politikus dan kalangan militer di Indonesia saat ini, yang suka mengadu domba umat-umat beragama di Indonesia sehingga muncul konflik horisontal berdarah antar rakyat, untuk menghindari atau mengalihkan konflik vertikal antara rakyat dan penguasa politik dan militer;
Keberpihakan pemerintah (pusat maupun daerah) seringkali malah nyata ditujukan kepada umat beragama mayoritas di suatu kawasan sehingga menimbulkan banyak penindasan dan perlakuan tak adil terhadap umat beragama minoritas di kawasan yang sama;
Keberagamaan yang irasional mitologis masih sangat kuat dihayati oleh penduduk Indonesia, mengalahkan pola kehidupan yang bertumpu kokoh pada rasionalitas dan sains sebagai dua pemandu utama dalam pencarian dan penemuan berbagai kebenaran saintifik dan kebenaran moral.
0 wicara:
Posting Komentar