oleh Husni
Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Untag Surabaya
Manusia sebgau tuan dari ciptaannya
telah di bekali dengan kemampuan untuk berpikir hal ini senada dengan
pernyataan salah satu filsuf yunani Aristoteles “cogito ergo sum” yang artinya
saya berpikir maka saya ada. Kemampuan berpikir manusia dalam proses bersosial
telah membuat mereka dipandang sebagai pencipta dari realitas sosial.
Manusia telah menciptakan realitas
sosial dan sebagai penentu dalam mengkontruksi realitas sosial berdasarkan
kehendaknya. Hal ini terjadi kerena manusia di berikan kebebasan untuk
bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosial individu melalui
respon-respon terhadap stimulus terhadap dunia kognitifnya.
Di masa kini anugerah yang telah di
berikan pada manusia telah mengkontruksi ralitas sosial yang ada pada
lingkungannya sehingga menjadi common-sense knowlidge di tengah masyarakat.
Pengkontruksian sosial yang telah terpola tidak semuanya mengandung unsur
positif, manusia terkadang menciptakan sesuatu yang akan menjadi bom waktu pada
dirinya sendiri. Salah satu yang terjadi dewasa ini cara pandang masyarakat
tentang kesuksesan dalam hidup adalah ketika mereka bergelimangan denngan
materi ( punya mobil, rumah, harta dll) sehingga
dalam realitas sosialnya mereka kurang menghargai rasa cinta akan sesuatu
(passion) akibatnya bidang – bidang kreativitas telah kalah bersaing dengan
pekerjaan yang monoton dokter , guru , polisi dll.
Tidak hanya itu
pola pandang masyarakta juga tentang keberhasilan sangatlah aneh mereka
memandang sesuatu keberhasilan tanpa melihat bagaimana proses di capainya
sehingga banyak dari masyarkat yang berangan- angan suskses secara mendadak
dengan mereka berharap akan menjadi tuan putri,menikah dengan orang kaya atau
menemukan harta karun yang bisa menghdupi mereka tujuh turunan. Akibatnya
banyak dari pada kita memandang sebuah perilaku seperti koruptif , pesugihan
dan lain-lain sebagi perilaku yang wajar.
Kontruksi yang terjadi di masyarakat
bukan tanpa sebab , anggapan itu bisa terjadi kerena banyak hal bisa jadi jadi
faktor lingkungan dan pendidikan yang telah membuat mereka terpola dengan
sistematis menjadi manusia yang hanya melihat suatu relaitas tanpa mendalami
proses terjadinya. Pendidikan mislanya tidak bisa menjadi tempat manusia untuk
mendalami alat analisisnya kerena pendidikan yang di gunaka adalah sistem
menghafal tanpa paham apa yang mereka hafal dan bagaimana cara mendapatkannya.
Mereka juga di jejali banyak hal tapi hanya tidak pernah menguasai apapun.
Pendidikan di masyarakat tidak memberika ruang bagi mereka yang penasaran dan
gurupun tak mau mengakui kalau dia juga tak paham akan sesuatu hal.
Hal –hal yang seperti ini harus di
rubah ,sebagai manusia yang memilki kemapuan yang lebih dari makhluk lainnya
jangan sampai terbodohi oleh sistem yang telah lama kusang yang tidak pernah
memberikan kebebasan bagi mereka untuk keluar dari dunia imajinansinya. Oleh
kerena itu kita harus berpikir lebih luas untuk memandang sebuah fenomenologi
dengan tepat sehingga kita bisa membangun pola untuk mengkontruksi realitas
sosial yang baik dari pada sebelumnya.
0 wicara:
Posting Komentar