data-ad-format="auto"

FENOMENA TIKTOK DAN INTERNET USE



Kusuma Ndaru

Mahasiswa Psikologi UNTAG surabaya



79% pemilik smartphone mengecek telepon genggam mereka 15 menit pertama setelah bangun tidur. Penelitian pada 2011 menyatakan masyarakat mengecek hp sebanyak 34 kali. Namun para pelaku bisnis percaya agnka yang sebenarnya adalah 150 kali perhari.  Akuilah kita ketagihan. Teknologi telah menjadi kebutuhan yang mendesa, kaau bukan candu. Ketika muncul notifikasi berupa lampu LED atau ringtone ponsel, secara otomatis muncul dorongan untuk mengecek Instagram, Whatsap, YouTube, Twitter, dan Facebook selama beberapa menit.

Ketika kita dilanda rasa jenuh dan bosan, secara otomatis kita akan membuka ponsel dan menggulirkan jari keatas dan kebawah untuk mencari sesuatu yang baru dalam sosial media. Dan voila!!! Kita selalu menemukan hal baru dan sesuatu yang menarik di Instagram ataupun tiktok. Di tambah lagi dengan beberapa algoritma dan kecerdasan buatan, kita selalu di suguhi gambar-gambar, informasi yang menarik sesuai dengan hal yang kita sukai. Ketika kita kesepian, tempat seperti Facebook, Twitter, tiktok dan Instagram menyediakan koneksi sosial yang instan.
Bagaiaman bisa kita melakukan semua itu? Semua nampak berjalan secara otomatis, sejak kapan semua itu terjadi?  Apakah semua ini normal?

Semua aktivitas tersebut merupakan kebiasaan kita, "perilaku otomatis yang di picu oleh isyarat situasional". Aktivitas yang kita lakukan dengan sedikit atau tanpa dorongan alam bawah sadar.  Emosi negatif adalah pemicu yang sangat kuat dan sangat berpengaruh dalam rutinitas sehari-hari. Perassan bosan, kesepian, frustasi, kebingungan dan keraguan sering menghasilkan rasa tidak nyaman dalam diri, sehingga mendorong tindakan yang nyaris spontan dan sering kali tanpa pertimbangan untuk meredam sensasi negatif tersebut.

Tingginya penggunaan sosial media menandakan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi. 90% berusia 18-29 tahun. Ciri-ciri lain perilaku depresi di internet termasuk peningkatan frekuensi menonton video (YouTube, tiktok) dan bermain game (Mobile legends).

Orang yang menderita gelajala depresi menggunakan internet lebih sering, salah satu hipotesis mencoba menjawab "bahwa mereka yang depresi mengalamai emosi negatif lebih sering ketimbang kebanyakan orang, dan beralih ke teknologi yang mengangkat suasana hati mereka.

Untuk menghilangkan rasa ketidak pastian, internet telah membentuk kebiasaan kita, solusi bagi banyak keresahan kita, mengecek apakah ada yang membutuhkan kita, sampai menyediakan pelarian dari momen kehidupan yang biasa-biasa saja. Manusia termotivasi untuk mencari kesenangan, menghindari rasa sakit, untuk mencari harapan dan menghindari rasa takut, mencari penerimaan sosial dan menghindari penolakan, dan internet menyediakan semuanya.

Salah satu pendiri blogger dan Twitter Evan Williams, berpendapat "kita sering berfikir bahwa internet memungkinkan kita untuk melakukan hal-hal baru, tapi orang hanya ingin melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan".  Gelombang teknologi pembentuk kebiasaan sebagai “rokok abad ini”, teknologi dapat membut kecanduan dan memiliki efek merusak. Meskipun  presentase pengguna yang membentuk ketergantungan yang merugikan sangat kecil, hanya berkisar 1%. Kecanduan cenderung muncul pada orang dengan profil psikologis tertentu. Para kreator di silicon valley masih belum punya cukup waktu untuk merancang antibody terhadap adiksi internet, tanggung jawab tersebut ada di pundak para pengguna layanan.

Meskipun waktu bukan fungsi langsung dalam mendiagnosis kecanduan internet, pada umumnya pecandu menggunaan internet 40 sampai 80 jam dalam satu minggu. Gejala paling umum adalalah pola tidur terganggu, penggunaan internet akan menjadi masalah ketika aktivitas dengan internet menggamggu aktivitas yang lain, seperti makan, istirahat, bekerja, dan tanggung jawab lainya.
Internet telah mejadi kebutuhan pokok abad 21, apakah benar internet membawah dampak buruk pada kehidupan, atau ini hanya sebuah ketakutan kalangan tertentu atas hadirnya internet di sisi manusia. Kehadiran teknologi ini telah mempermudah aktivitas manusia, dengan kemudahan akses informasi, kita layaknya mejadi prbadi yang lebih baik, belajar lebih banyak, menjadi tuan atas teknologi, bukan menjadi budak teknologi yang terpengaruh oleh efek FOMO (fear missing out) “takut ketinggalan”.






0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE