data-ad-format="auto"

Putri Ratu Memaksa Melihat Tuhan (Bag. 9)



Syaiful AH
Alumni F.Psikologi
April 30, 2011

Sudah 3 hari nyai Tumenggung berbaring sakit, keadannya tidak lebih membaik, dukun berusaha menyembuhkan, namun belum ada hasilnya. Tubuhnya tergolek lemas di pembaringan, semakin hari semakin kurus kering. Mahapatih bersama para punggawa menjenguk Nyai Tumenggung di peraduannya dengan membawa serta dukun pengobatan dari istana. Tubuh Nyai Tumenggung sangat lemah, tidak ada tenaga, matanya kosong, dan lebih banyak terpejam. Segera Dukun istana memeriksa keadaan Nyai Tumenggung dan memberinya obat-obatan rempah-rempah yang dicampur air madu dan kelapa. Setelah usai, Tumenggung Kriya segera mengantar Mahapatih dan beberapa tamunya ke pendapa setelah berjumpa istrinya, dan segera menuju kereta untuk kemabli ke istana. Mahapatih bertanya pada dukun istana tentang penyakit yang diderita Nyai Tumenggung. Sang Dukun menjawab, “ampun gusti, dari pemeriksaan yang patik lakukan, Nyai Tumenggung terkena racun warangan (arsenik), racun itu sangat kecil, sangat sedikit, tetapi sepertinya racun ini setiap dua hari masuk dalam tubuhnya. Sehingga tubuh Nyai mengalami sakit dan terus-menurus akan semakin lemah dan mati”. Mahapatih terperanjat, “Bagaimana warangan itu masuk dalam tubuhnya setiap hari?”, jawab sang Dukun, “warangan itu dihaluskan, di campur dengan air kemudian dioleskan dibibir nyai tumenggung. Mahapatih benar-benar sangat terperanjak tidak percaya, namun Sang Dukun istana tidak pernah berdusta, dan sang dukun telah mengambil kulit bibir nyai tumenggung yang mengelupas berwarna kebiru-biruan. Sampainya di istana dan berjuma dengan Maharaja, di Balairung yang sudah ada beberapa perwira, Mahapatih menyampaikan laporan yang diberikan Dukun Istana tentang keadaan Nyai Tumenggung kriya saat menjenguknya. Tentu laporan ini membuat hati Paduka maharaja merasa gundah. Seorang perwira yang dekat dan akrab dengan tumenggung Kriya segera melaporkan isi percakapan di balairung. Dengan perasan geram dan marah, Tumenggung Kriya membanting meja di hadapannya, marah pada Mahapatih yang dianggap mencampuri masalah pribadi dan keluarganya. Beberapa hari kemudian, menjelang senja Mahapatih disamping paseban kepatihan tampak gembira bermain dengan beberapa cucunya. Menantu dan istrinya turut bergembira dihalaman sambil memegang minuman, dan menyuapi makan anak-anak. Sekelabat dua bayangan hitam samhala melintas di atas pagar, dan tebs.. tebs…tebs… satu bambu runcing sebesar kelingking orang dewasa yang ujungnya berwarna hitam diberi racun menancap di leher istri Mahapatih, satu bambu runcing menancap tepat didada menantunya, dan satu bambu runcing menancap dipahanya sendiri. Dan serentak suara gedebuk jatuh bersama-sama diikuti suara jerit perempuan dan dayang yang panik, anak-anak menjerit, menangis ketakutan, dan pengawal berlarian menyelamatkan Mahapatih dan menggotongnya ke dalam rumah, dan sebagian memanggil dukun istana. Bambu kecil yang menancap di leher menantunya, dan dada istrinya telah merubah warna kulit menantu dan istrinya menjadi biru tua di sekitar luka, kulitnya tampak sedikit melepuh tanpa mengeluarkan darah. Istri dan menantu perempuan Mahapatih menemui ajalnya seketika. Putri Hita yang mendengar peristiwa itu segera pergi menuju rumah Mahapatih dengan membawa puluhan pasukan Mahisasura. Mahapatih mengijinkan Putri Hita meninggalkan pasukan Mahisasura untuk menjaga dirinya, Mahisasura adalah pasukan yang diambil dari para pendekar tangguh, pasukan yang dapat menandingi kehebatan pasukan pengawal Maharaja. Kepala pengawal segera ditangkap dan dihukum, seluruh penjagaan di kepatihan segera diganti oleh pasukan pengawal istana. Durjana pembunuh bayangan tidak tertangkap dan tidak diketahui kemana arah kaburnya. Pada saat yang bersamaan, istri Tumenggung Kriya yang telah sebulan terbaring sakit hari itu meninggal dunia. Tentu kanjeng Tumenggung tidak akan berduka selain berpura-pura, karena dalam bayangannya telah ada penggantinya, Putri Hita yang segera menaiki tahta. Setelah lewat 40 hari masa berkabung dan 100 hari setelah melewati upacara Kayika Mahapatih maupun tumenggung Kriya telah hadir kembali di istana, meskipun Mahapatih sudah tidak dapat berjalan normal karena pahanya tertembus bambu beracun. Tumenggung Kriya yang bertemu Putri Hita di istana seperti orang gila, matanya menatap liar, seperti srigala yang sangat lapar hendak menerkam, dan birahinya segera bangkit kembali. Nafsunya yang kuat untuk memiliki dan mengawini Sang Putri telah merusak kesadarannya, telah merubah kebenciannya pada Putri Ratu menjadi birahi yang tidak ada habis-habisnya. Malam harinya, dengan tidak kuat lagi menahan birahinya, Tumenggung Kriya mengunjungi Puri Timur. Putri Hita tidak memintanya menunggu, dan mengijinkan Tumenggung Kriya menjumpai dirinya yang tengkurap telanjang dada di pancuran kaputren samping taman bersama para dayang istana yang melulur kulit tangan, punggung dan kakinya. Bunga-bunga mawar, melati, kenanga dan minyak dari rempah-rempah untuk memijat Sang Putri mengeluarkan aroma, membangkitkan birahi tumenggung Kriya yang semakin menjadi-jadi saat melihatnya. “berita apa yang hendak paman tumenggung sampaikan, sehingga sore-sore seperti ini paman berkenan mengunjungi saya”. Dengan segala daya Tumenggung Kriya berusaha keras untuk menahan birahinya yang telah muncrat kemana-mana agar tidak melakukan perbuatan bodoh dan memalukan, dan bahkan membahayakan hidupnya. Sang Putri memerintahkan semua Dayang untuk pergi, dan dia segera bangkit dari bibir kolam, sambil menutupi dadanya dengan kain, dan sekilas sempat dilihat oleh tumenggung Kriya. Bunga-bunga yang masih menempel di dada, pundak, dan lehernya menebarkan bau wangi. Minyak dari rempah-rempah yang melumuri seluruh kulit Sang Putri dibawah matahari senja membuat kulit Putri HIta tampak semakin indah, berkilat dan berkilauan. Wajahnya tegak, menatap mata sang Tumenggung Kriya yang masih berusaha menahan birahinya. “Paman patih, aku memiliki birahi yang sangat besar yang paman tidak akan mampu memenuhinya”, sejenak Tumenggung Kriya seperti disadarkan, dan segera bertanya, “birahi seperti apakah yang putri harapkan?”. Sambil mendekat perlahan ke arah tumenggung Kriya dan mata yang tetap menatap mata sang tumenggung, membuat tumenggung Kriya mulai merasa ngeri, tetapi mencoba memberanikan diri memegang kedua bahu Putri Hita. Dengan sangat tenang, Putri Hita melepaskan kedua tangan Tumenggung Kriya dari bahunya, dan terus menatap mata sang Tumenggung, “Paman, birahiku adalah melihat wajah Tuhan, meskipun hanya sekejab”. Sang tumenggung terheran-heran, “bagaimana mungkin ananda melihat Tuhan di langit sana?”, dan Putri Hita segera menyela, “Bisa, bila Tuhan sangat marah kepada manusia, maka ia akan turun dan menampakkan wajahnya”. “Aku akan membuat Tuhan marah”. Masih dalam keadaan yang belum mengerti maksud Putri Hita, tumenggung Kriya bertanya, “lalu apa yang mesti paman lakukan agar paman bisa mengawinimu?”, “kawini aku bila paman bisa membuat Tuhan murka dan menunjukkan wajahnya”. Tumenggung Kriya semakin tidak mengerti, Putri Hita melanjutkan perkataanya, “Paman telah membunuh Nyai Tumenggung dengan racun, juga membunuh Nyai Patih dan menantunya, juga mengirim orang untuk membunuhku”, “Sekarang paman ingin mengawini aku, baiklah… aku tidak menolak, itu berarti paman punya keberanian untuk membunuh. Maka sebelum purnama tiba bawalah kepala Resi Bhagawan Dapunta sebagai mas kawinnya dan letakkan di atas menara”, sambil tetap menatap mata Tumenggung Kriya, “Sekarang pergilah paman sebelum Mahisasura mengusirmu sebagai Samhala (pengganggu keamanan)”. Bersambung....

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE