oleh : Hafina fina
Malam itu ketika semua nafas sedang larut dalam
tatanan rapi di dalam mimpi, terdengar suara alunan doa seorang gadis di sebuah
kamar. Samar-samar terlihat mata merah dan sembab menghiasi wajah cantiknya
yang tak begitu jelas terlihat di sudut kamar yang terkena pantulan sinar bulan
dari celah jendela kamarnya. Pantulan sinar bulan membuat wajahnya bercahaya di
tengah kegelapan malam. Ia menangis dalam sujud panjangnya. Setiap malam tak
pernah terlewatkan untuk bermunajat dan menceritakan seluruh keluh kesahnya
kepada sang Khalik. Itupun akan disertai tetesan air mata kekhusyukan.
Tetapi malam itu terasa berbeda baginya. Di
akhir sholatnya ia merasakan kantuk yang menguasai dirinya. Biasanya ia menyibukkan
diri dengan melantunkan ayat suci Al-Qur`an sampai suara adzan shubuh
berkumandang. Tetapi kali ini mata indah itu tak bisa memancarkan sinar
indahnya, ia terlelap setelah menyelesaikan sholat tahajudnya. Ia terbangun
setelah suara adzan shubuh menggema membangunkan tiap-tiap insan yang tertidur
pulas, itupun dengan raut wajah terlihat bingung. Segera ia bangkit mengambil wudhu dan mendirikan sholat shubuh.
Setelah selesai ia kembali dengan raut
wajah bingung dan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi pada dirinya? Apa ada
yang salah? Untuk pertama
kalinya ia memimpikan seorang pemuda yang tidak sama sekali ia kenal. Pemuda
dengan postur tubuh yang gagah, berpakaian layaknya seorang ustad sedang
menatapnya lekat-lekat dengan sinar mata biru musafir nan indah dan senyuman
yang disertai lesung pipi yang manis sehingga membuat ketampananya bertambah. Wajah
itu terlihat sangat jelas dalam mimpinya.
***
Pagi harinya, mentari terlihat tersenyum
indah menemani hari-hari yang akan sangat sibuk untuk menjalankan aktivitas di
kampus hari ini. Tapi, mengapa saat ini Naura merasa tidak semangat seperti
biasanya. Entah apa yang ada di pikirannya. Ia merasa tak bisa menerima apa
yang seharusnya ia terima di kampus. Ia pun terbayang tentang mimpi yang
semalam menghampirinya. Mimpi itu membuatnya bingung dan bertanya-tanya,
sehingga tanpa sadar sahabatnya Aisyah memanggilnya untuk menemaninya ke toko
buku sepulang dari kampus. Naura menerima permintaan sahabatnya itu, sekalian ia
juga ingin membeli beberapa buku novel terbitan terbaru untuk dibaca dirumah
karena ia termasuk seorang yang suka mengoleksi buku-buku novel terutama yang
bernuansa islami.
Sesampainya di toko buku Naura bersama
sahabatnya berpencar untuk mencari buku yang meraka butuhkan masing-masing. Susunan
buku tertata rapi dalam rak yang yang bertuliskan “Novel” menandakan bahwa
dalam rak tersebut kumpulan novel yang mungkin salah satunya ada yang dia
inginkan. Jari tangan yang lentik dan lembut menelusuri tiap-tiap buku yang
berjejer rapi dalam rak tersebut. Naura sekilas membaca beberapa sinopsis novel
yang ada dibelakang cover buku, sampai akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah
novel yang berjudul “Aku Mencintaiku Hanya Karena Allah” karangan Amie
Al-Banzary.
Ia bergegas ke tempat kasir tanpa ia
sadari ia bertabrakan dengan seseorang. Dia terjatuh begitu juga dengan buku
yang dibawanya. Dia segera mengambil bukunya dibantu oleh seseorang yang
ditabraknya tadi, diliat dari sepatunya Naura dapat menyimpulkan bahwa orang
tersebut laki-laki. Ketika Naura melihat ternyata memang benar bahwa yang ia tabrak tadi seorang laki-laki. Tapi tunggu
dulu ! hatinya kaget sekaligus bergetar seperti tersengat listrik karena pemuda
ini sama persis dengan lelaki yang hadir dalam mimpinya.
“Afwan, ana tidak sengaja,” Suara
laki-laki itu menyadarkan lamunannya.
“Oh, gak apa-apa kok, ana yang
salah, soalnya tadi buru-buru jadi gak memperhatikan kalau ada orang.”
“Umm... Nama ana Muhammad Akbar,
biasa dipanggil Akbar. Kalau nama antum siapa?” sambil mengulurkan tangannya.
“Nama ana Naura Dewi Salsabila,
biasa dipanggil Naura,” Dengan menyusun jari di dadanya.
Naura
tidak menyambut uluran tangannya, ternyata dia mengerti dan langsung menyusun jarinya
di dada seraya mengikuti. Naura tersenyum dan langsung bergegas ke tempat kasir
karena sahabatnya sudah menunggunya disana.
Selesai mengurus pembayaran di
tempat kasir, Naura dan sahabatnya berlalu menuju rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah Naura tidak bisa lepas memikirkan kejadian di toko buku
tadi. Pikirannya melayang membayangkan sosok pemuda tadi dengan pemuda yang
hadir di dalam mimpinya. Keduanya sangat mirip, bahkan tidak ada perbedaan dari
keduanya. Apakah Akbar memang orang yang sama yang ada dalam mimpinya? Atau
hanya kebetulan saja? Kalau memang iya, kenapa dia hadir dalam mimpinya? Apa
maksud dari semua ini? Pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Tak ada yang
menjawab hanya suara jangkrik di halaman terdengar begitu mengalun-alun seolah
mereka sedang menyanyikan sebuah tembang yang mampu menyihir orang-orang yang
mendengarnya sehingga mereka tertidur dengan pulasnya dan hidup dalam mimpinya
masing-masing. Angin yang bertiup juga tak mau kalah dengan suara Jangkrik,
begitu mendukung untuk menggulungkan tubuh dalam balutan selimut hangat.
Sementara orang-orang sedang terbuai
dengan mimpi malam mereka tapi tidak untuk seorang perempuan cantik bernama
Naura Dewi Salsabila, ia tidak bisa tidur. Ia sudah berusaha untuk memejamkan
matanya lagi-lagi bayangan wajah itu muncul dan hadir seakan-akan bayangan itu
menari dengan indah dalam pikirannya dan terus saja berulang seperti itu hingga
terlihat layaknya tayangan ulang sebuah cerita dalam sinetron yang menampilkan
adegan-adegan para tokohnya. Siapa lagi kalau bukan pemuda yang hadir dalam
mimpinya beberapa waktu lalu.
Perlahan ia bangkit dari pembaringan
dan memutuskan untuk pergi ke kamar mandi serta mengambil wudhu, “Mungkin lebih
baik aku sholat dan meminta petunjuk dari Allah.” pikir Naura. Sesaat kemudian
ia sudah berdiri di atas sajadahnya dengan menggunakan mukena putih polos, ia
berniat ingin melaksanakan sholat Tahajjud dan meminta petunjuk kepada Allah
atas semua ini. Sebelum melaksanakan sholat ia sempat melirik jam dinding yang
bergantung di samping tempat tidurnya, “Sudah pukul 03:00” ucapnya perlahan.
Naura semakin terbuai dalam
shalatnya, ayat demi ayat yang ia baca begitu indah terdengar ditelinga. Ba`da
shalat Naura menadahkan tangannya keatas dan membacakan doa yang biasa di baca
sesudah shalat Tahajjud, kemudian di ikuti dengan curahan hatinya kepada sang
kekasih tercinta yaitu Allah Swt.
“Ya Allah, ya rabb...
Terimakasih
atas segala kenikmatan yang telah engkau berikan kepada hamba...
Ampunilah
hamba jika hamba selalu merasa kurang atas kenikmatan yang telah
engkau berikan...
Ampunilah
semua dosa-dosa dan kesalahan kedua orang tua hamba...
Ampunilah
dosa-dosa hamba, baik yang disengaja
maupun yang tidak di
sengaja...
Hamba
memohon kepada engkau...
Berikanlah
hamba petunjuk, atas apa yang terjadi kepada hamba...
Hanya
kepadamulah hamba memohon dan meminta pertolongan ya Allah...
Kabulkanlah
doa-doa hamba yang berlumur dosa ini...
Aamiin...Aamiin...Ya
Robbal Alamin....” pinta Naura lirih dalam tangisnya.
Perlahan ia rasakan setetes air
hangat telah mengalir lembut di kedua pipinya. Ia
berharap bisa mendapatkan petunjuk dan bisa dipertemukan kembali dengan pemuda
yang telah hadir dimimpinya tempo hari.
Pagi
menjelma, menyingkap kegelapan malam yang menyelimuti para setiap insan.
Matahari terbit dari ufuk timur. Bintang-bintang berlarian menyapa hari untuk
mengais rizki ilahi. Segenap manusia kembali beraktifitas. Begitu juga dengan
Naura hari ini ia harus segera kekampus karena sedang ada acara silaturahmi
dengan kampus dari Universitas yang berbeda. Ia tiba di kampus dengan suasana kampus
yang ramai tidak seperti biasanya. Banyak mahasiswa berlalu lalang di depan
masjid dekat kampus, karena kebetulan acaranya dilaksanakan di masjid tersebut.
Naura
menyambut setiap tamu yang hadir dari Universitas yang berbeda bersama kedua
rekannya sesama panitia. Tiba-tiba seseorang pemuda melintas ditengah
aktifitasnya, sekejap Naura mati kata. Atmosfer seperti tak bersahabat
dengannya. Ia tidak percaya, sungguh ia tidak percaya. Ia
dipertemukan lagi dengan Akbar, seseorang yang menabraknya ditoko buku
sekaligus orang yang hadir dalam mimpinya. Ia memperhatikan pemuda itu dari
ujung kaki sampai ujung kepala tanpa berkedip. Dalam hati ia yakin bahwa pemuda
itu adalah orang yang sama dengan orang yang hadir dalam mimpinya. “Astagfirullahal
adzim…” Naura langsung mengucap istigfar, tidak seharusnya ia memperhatikan
seseorang yang belum halal untuknya.
“Assalamualaikum ukhti...” suara pemuda itu menyadarkan
lamunannya.
“Waalaikumsalam...” Naura menjawabnya disertai senyuman manis
dibibirnya.
“Antum Naura kan? Yang kemarin ada di toko
buku,?”
“Iya benar,” jawabku dengan menganggukkan
kepala.
“Senang bertemu lagi denganmu, Antum diundang
juga ke acara ini?,”
“Bukan, tapi ana kuliah disini sekaligus
menjadi panitia dalam acara ini,”
“Ohh...gitu. Ana pergi dulu ya, semoga Allah
mempertemukan kita kembali, wassalamualaikum ukhti...” jawabnya lalu bergegas
pergi dengan meninggalkan sebuah senyuman indah yang membuat hati Naura
bergetar dengan tanpa sadar ia membalas dengan senyuman juga,
“Waalaikumsalam...” katanya pelan.
Naura
tiba dirumah setelah ba`da sholat maghrib. Ia sengaja tidak menunggu sampai
acaranya selesai, karena memang ia tidak diperbolehkan pulang terlalu malam. Ia
disambut oleh keluarganya dengan senyum kehangatan, ini yang membuat Naura
selalu betah dirumah. Keluarga adalah segalanya bagi Naura, ia ingat betul
tentang hadist yang berbunyi “Baiti Jannati, Rumahku adalah Surgaku”.
Selesai
membersihkan diri, Naura bergegas menuju perbaringan. Hari ini sangat
melelahkan baginya. Ia ingin segera memejamkan mata, dan berharap besok
matahari bersinar menyambutnya dengan kehangatan. Tapi tidak semudah itu,
bayangan sosok pemuda tadi tiba-tiba muncul dan menari-nari dalam pikirannya.
Ia ingin mendapatkan jawaban sehingga membuatnya tenang, hingga saat ini setiap
pertanyaan dalam benaknya tidak ada yang mampu menjawabnya. “Astagfirullahal
adzim…” Naura langsung mengucap istigfar, tidak seharusnya ia memikirkan
seseorang yang belum halal untuknya.
Diraihnya
ponsel yang tengah rebahan diatas meja belajarnya. Diputarnya musik untuk
menenangkan sejenak kemelut yang tengah menggelayut sehingga membuat
perasaannya tak tenang. Alunan musik menemani malam indahnya itu hingga
perlahan ia terpejam, menari bersama mimpi-mimpi dalam dunia yang tak dapat
didefinisikannya. Malam semakin larut selarut ia bersama mimpi indahnya.
Matahari
mulai memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru alam memberikan kehangatan pada
setiap insan di muka bumi ini. Minggu pagi yang cerah, sama seperti pagi-pagi
sebelumnya, orang-orang ramai dijalanan. Bedanya hari ini Naura akan
memnghabiskan waktunya dirumah, karena ia sedang tidak ada mata kuliah hari
ini.
“Naura sudah bangun nak?,” suara
bundanya memanggilnya dari luar
“Sudah kok bun, ini sudah selesai
mandi juga,” sejenak Naura terlihat bingung, tidak biasanya seperti ini,
biasanya bundannya hanya menuggunya dibawah untuk sarapan pagi.
Bundanya masuk lalu duduk ditepi
ranjangnya, “Nak hari ini akan ada tamu yang datang, kamu dandan yang cantik ya,
supaya tamunya tidak kecewa nanti,”
“Emang siapa bun? Kerabat kita?,”
“Bukan mereka adalah sahabat bunda
dan ayah dulu,”
Ting Tong.....
Bunyi bel mengagetkan mereka
berdua, “Itu mungkin tamunya sudah datang, bunda tunggu dibawah ya. Jangan lupa
tampil yang cantik,” sambil mengelus kepala Naura bundanya lalu keluar menemui
tamu yang sudah ditunggu-tunggunya.
Beberapa menit kemudian, Naura turun dengan
begitu anggun nan cantik menggunakan baju terusan berwarna biru, dengan rok
panjang berwarna abu-abu dan mengenakan kerudung biru muda. Serasi dengan
bajunya. Semua mata tertuju kepadanya, orang tuanya, dua orang laki-laki dan
perempuan paruh baya serta yang membuat Naura kaget dan merasa tubuhnya
bergetar bagai tersengat listrik adalah sosok pemuda yang berada disamping
orang tuanya.
Pemuda
tampan dengan mata biru musafir disertai senyuman dengan lesung pipi yang manis
sedang menatapnya lekat-lekat didepannya. Iya, dia pemuda yang sama, Muhammad
Akbar sekaligus sosok pemuda yang hadir dalam mimpinya. Naura tersipu malu
dibuatnya.
“Ini toh yang namanya Naura? Cantik
dan sholehah pula ya,” kata perempuan paruh baya yang tidak lain adalah ibunya
Akbar, tersenyum ke arah Naura. Naura hanya tersenyum, dan mencium tangan kedua orang tuanya Akbar.
Keempat orang
dewasa itu bersenda gurau melepas kangen yang sudah tak terbendung lagi sejak
lama. Sedangkan Naura dan Akbar hanya mendengarkan dan saling melirik satu sama
lain. Terkadang kedua mata mereka bertemu hingga membuat keduanya salah tingkah
dan hanya tersenyum tersipu malu.
Pembicaraan
kedua keluarga itu semakin lama kian serius. Tiba pada sebuah percakapan
tentang perjodohan, yang tak lain adalah mereka berdua. Naura dan Akbar saling
pandang. Sejenak Naura membantin “Apakah ini adalah jawaban dari setiap
pertanyaanku? Bahwa mimpi itu sebuah jembatan untuk mempertemukan aku dengan
jodohku? Kalau memang iya, aku harus bagaimana? Apakah dia mampu menjadi iman
yang baik dan bisa membimbingku menuju surga-Nya?” lagi-lagi pertanyaan
menari-nari indah dipikirannya.
“Bagaimana nak Naura, kamu maukan
jadi menantu ibu?,” suara ibunya Akbar menyadarkan lamunannya.
Ternyata tanpa sadar tadi Akbar telah
menyetujui perjodohan itu, sekarang mereka semua menatap Naura dengan penuh
harap dapat menerimanya. Dengan diawali bismillah dan penuh keyakinan akhirnya
Naura menerima perjodohan itu. Semua yang berada disana tersenyum bahagia,
Termasuk Naura dan Akbar yang masih malu-malu.
Beberapa
hari kemudian acara ta`aruf itu berlangsung dengan nuansa islami sesuai dengan
keinginan Naura. Naura tampil sangat cantik dengan gaun panjang berwarna putih
dan hiasan make up yang natural membuatnya bagaikan bidadari dunia. Begitu pun
dengan Akbar ia terlihat gagah dan sangat tampan dengan baju yang senada dengan
Naura. Keduanya terlihat sangat serasi.
“Ya Allah...
Jika dia memang jodohku....
Persatukanlah kami berdua dalam bahtera rumah tangga
yang Sakinah, Mawaddah
dan Warahmah...
Tuntunlah kami berdua kejalan yang benar, kejalan
yang lurus menuju Surgamu...
Aamiin...Aamiin... Ya robbal Alamin...”
THE END
0 wicara:
Posting Komentar