data-ad-format="auto"

ROBOHNYA KUANTITATIF



Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya


Knowledge is Power?

     Ilmu pengetahuan tidaklah jatuh begitu saja dari ruang hampa sejarah. Kelahiran ilmu pengetahuan merupakan hasil transaksirelasi dan interrelasiaksi dari berbagai lini pengetahuan yang saling bersitegang, tergantung basis filosofisnya masing-masing.
     Plato, filsuf Yunani, mengajarkan “segala muasal dari pencerapan inderawi itu tidak ada yang pantas disebut ‘pengetahuan’”, oleh karena “satu-satunya pengetahuan sejati hanyalah berkaitan dengan konsep-konsep”. Yang dilakukan Plato adalah pendekatan bersifat Rasional-Deduktif.
     Menariknya, murid Plato sendiri, Aristoteles, membantah konsep pemikiran sang Guru ini. Aristoteles menyangkal bahwa konsep atau idea itu ada justeru setelah manusia mengobservasi dengan penginderaannya. Pengamatan inderawi merupakan basis dalam memperoleh pengetahuan sempurna.
     Sangkalan Aristoteles ini kelak bakal menginspirasi madzab Empirisme yang dipelopori David Hume, cikal bakal aliran positivisme yang diusung oleh tokoh berikutnya, Francis Bacon. Di kemudian hari aliran ini dideklarasikan oleh sebuah geng ‘Lingkaran Wina’ lantas menjadi aliran Neo-Positivisme.
     Aliran yang sering disebut Positivisme Logis ini menolak keras pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diverifikasi secara empiris. Mereka menganggap itu sebagai nonsense atau meaningless, ungkapan yang sama sekali tidak bermakna. Geng ini menyingkirkan Metafisika, Etika, Agama, Estetika dari ranah ilmu pengetahuan karena nonsense atau meaningless.
     Garis demarkasi pun mereka tancapkan sebagai batas pemisah antara pernyataan penuh makna, meaningfull, pada kubu mereka dan pernyataan yang tidak bermakna, meaningless, pada kubu seberang.
     Dengan sewenang-wenang geng wina ini menganggap sesuatu bisa disebut bermakna apabila dapat dibuktikan secara empiris-positif dengan metode induktif-verifikatif, kelak ini akan menurunkan metodologi kuantitatif.
     Kecongkakan ini pada akhirnya bermuara pada kesombongan klaim, secara sepihak geng ini menyatakan bahwa sesuatu dikatakan ilmiah jika bermakna, dan jika tidak bermakna maka itu tidak ilmiah. Geng ini telah memonopoli kebenaran hanya karena telah memiliki kacamata warna tunggal.
     Tentu saja ini menyingkirkan kebenaran metode keilmuan dari orang-orang rumpun ilmu sosial, sebab pandangan tersebut hanya berpihak pada epistemologi ilmu pengetahuan alam. Sehingga dalam perkembangan berikutnya nanti hadir tiga positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner dan positivisme kritis. Lebih jauh, dan celakanya lagi, orang-orang dari rumpun ilmu sosial akhirnya bertekuk lutut, lantas tokoh-tokoh seperti Saint Simon, Thomss Maltus, David Ricardo, August Comte, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, mengekor beriman pada metode ilmiah tersebut. Sehingga ilmu sosial pun dikuantifikasikan.
     Beruntungnya, sejarah pernah melahirkan seorang bernama Karl Popper. Dialah seorang yang pernah menghabisi pandangan picik geng wina. Popper menyodorkan antithesis pada geng wina mengenai Pemberlakuan Hukum Umum, Induksi, sebagai teori ilmiah yang mereka anut. Bagi Popper, perubahan dari partikular kepada universal, - praktik generalisasi gegabah yang disembah kaum kuantitatif - itu secara logis tidak sah.
     Popper pula yang mencibir pada cara-cara orang kuantitatif yang menyamakan meaningfull dengan ilmiah. Bagi Popper, ungkapan yang tidak ilmiah mungkin sekali sangat bermakna, meaningfull. Pun juga sebaliknya. Seolah Popper ingin mengolok-olok kaum kuantitatif, bahwa Induktivisme dan Falsifikanisme sebagai pandangan yang juling, oleh karena kaum kuantitatif hanya memusatkan perhatian pada relasi antara teori dan observasi, kaum kuantitatif telah gagal memperhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam teori ilmiah yang urgen. Baik itu pada penekanan kaum induktifis naif yang menarik teori secara induktif dari hasil observasi, maupun kaum falsifikasi yang menarik dari hasil reduksinya.
     Dengan Teori General dan Koheren, konsep akan dapat memperoleh makna yang tepat dan selalu terbuka ruang dalam memenuhi kebutuhan untuk berkembang lebih efisien. Sebab di dalamnya terdapat petunjuk dan keterangan mengenai bagaimana seharusnya teori - ilmu - itu dikembangkan secara luas. Manusia memiliki kemampuan menangkap dan menyimpan kebenaran obyek dengan rasio dan pengalamannya.
     Model rasionalis dan empiris menemukan landasan pijak di sini. Namun, kebenaran yang dimiliki manusia tadi selalu bersifat sementara, tentatif. Semua teori, ilmu, atau hipotesa harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian yang ketat dan gawat, crucial-test melalui "trial and error" yakni proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan, sehingga kebenaran selalu dibuktikan melalui jalur konjektur -dugaan- dan refutasi -bantahan- dengan tetap konsisten berdiri pada landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisisme-kritis dengan metodologi Deduktif-Falsifikatif.
     Karena sifat kesementaraan inilah, maka ilmu tidak pernah mencapai kebenaran. Paling jauh ilmu hanya berusaha mendekati kebenaran, verisimilitude. Teori-teori lama yang telah diganti merupakan teori yang salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang, atau mungkin kedua-duanya salah, dan ilmuwan tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu yang benar. Yang ada hanyalah teori sekarang lebih superior ketimbang teori yang telah digantinya.
     Namun verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan konsep tentang mendekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati kebenaran yang komprehensif. Versimilitude adalah metode pendekatan dengan kebenaran-kebenaran dan teori. Di antara dua teori ada salah satu teori yang mendekati kebenaran. Teori itu dibangun dengan mengandalkan hipotesis dan intuitif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan kekurangan isi.
     Atas dasar kesementaraan ini, Popper lebih suka menggunakan istilah hipotesa. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of refutability, suatu ungkapan atau hipotesa bersifat ilmiah jika secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Perlu adanya kemungkinan untuk menjalankan kritik. Sebab hanya melalui kritik ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan.
     Syarat pertumbuhan pengetahuan dimulai dengan merumuskan hipotesis melalui pemikiran deduktif dan imajinasi kreatif. Kemudian hipotesis itu diuji dengan keras dan disanggah. Penyanggahan itu digunakan untuk merumuskan hipotesis baru dan teori baru. Jadi pengamatan empiris ditujukan untuk membuktikan kesalahan teori dan gagasan, bukannya untuk membenarkan teori dan gagasan tersebut. Pandangan ini menunjukan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah dengan jalan akumulasi, pengumpulan bukti-bukti positif atau bukti-bukti yang mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Sebab ada suatu kejanggalan dengan model kerja neo-positivisme itu. Karena proses akumulasi itu hanya akan menambah kebohongan jika hasil inferensi induksinya salah. Model kerja ini tidak pernah mengembangkan apa-apa, dan hanya ketidaktahuanlah yang dikembangkan oleh kalangan neo-positivisme.
     Proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara definitive, ia hanya mendekati kebenaran. Seorang ilmuwan harus rela meniggalkan suatu teori, jika muncul teori yang ternyata lebih memuaskan untuk menjelaskan fakta-fakta. 
     Banyak bukti sejarah ilmu telah memperlihatkan bagaimana proses pertumbuhan ilmu pengetahuan, dan yang paling jelas adalah ketika Einsten berhasil menggulingkan teori Isaac Newton, seorang fisikawan legendaries yang telah membuat garis besar system of the world -langkah awal untuk memasuki dunia industri. Kemajuan ilmiah ini dicapai lewat dugaan dan penyanggahan, dan semangat kritik diri sungguh-sungguh merupakan esensi ilmu.
     Model logika induksi yang diperagakan oleh aliran neo-positivisme memiliki banyak cacat -kelemahan. Digunakan kaum empiris yang percaya bahwa justifikasi pengetahuan dibangun melalui pengalaman dan pengamatan. Hanya pengalaman dan pengamatan yang boleh memutuskan diterima atau ditolaknya pernyataan ilmiah. Proses inferensi induksi ini sebenarnya dapat menjerumuskan seorang peneliti yang telah meyakini kebenaran prinsip umum sambil mengabaikan kemungkinan-kemungkinan premis lainnya.
     Bagaimana bila beberapa penelitian -kasus- menemukan bahwa angsa berwarna putih, lalu secara serampangan disimpulkan bahwa seluruh angsa berwarna putih? Bagaimana bila matahari terbit setiap hari alasannya karena gerakan rotasi bumi, lantas secara sembrono disimpulkan bahwa matahari pasti akan terbit esok hari? Ketika kebenaran prinsip umum ini diyakini maka seorang ilmuwan akan terkejut, ketika menemukan ternyata ada angsa berwarna coklat atau matahari tidak terbit esok hari karena bumi bertabrakan dengan benda angkasa lainnya. 
     Cendekiawan dari rumpun ilmu sosial dituntut bangkit untuk mengembangkan sikap kritisnya terhadap aliran neo-positivisme yang dipelopori oleh geng wina ini. Karena logika induktif tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Kelemahan bisa terjadi pada kesalahan dalam penarikan kesimpulan, di mana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada.
     Perlawanan atas metode ilmiah tidak hanya Popper saja, sebab sebelumnya ada Edmund Husserl yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan itu natural dan lebih manusiawi. Kesadaran berilmu pengetahuan itu mulanya berasal dari kesadaran manusia tentang objek-objek intensional.
     Dua arti objek intensional di sana ada semantik dan ontologik. Makna semantik intensional, bila tidak dapat ditampilkan rumusan equivalennya -satu makna. Ontologik, berarti sesuatu dikatakan intensional bila kesamaan identitas tidak menjamin untuk dikatakan equivalen atau identik eksternal. Keduanya akan saling berbagi -sharing- dalam membangun dunia, budaya, dan nilai (ilmu).
     Dalam Intensionalitas, pengembangan konstruk teori harus mengarah, aktif, dan rasional yang subjektif, paralel dengan penamaan manusia selaku pencari pengetahuan. Inilah logika transendental-pengalaman intersubjektivitas, di mana seseorang merupakan subjek pengalaman sendiri, tetapi orang lain juga menyadari adanya perilaku eksternal. Kedua akan saling berbagi -sharing- dalam membangun dunia, budaya, dan nilai (ilmu). Istilah untuk menyebut metode ilmiah kaum ini adalah aliran Fenomenologi yakni cara berpikir yang subyektif asumtif terhadap realitas yang bersifat jamak, bahwa kebenaran bisa subjektif dan tergantung pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan.
     Dalam barisan yang sama ada Bertrand Russell di sana, yang dengan tegas menyatakan, pengumpulan data-data partikular dengan harapan mengetahui masa depan dari keseragaman masa lalu dapat dianggap sebagai sebuah penyesatan.
     Bukankah Thomas Khun, telah berseru? Bahwa ilmu dapat berkembang maju dalam pengertian tertentu, jika ia tidak dapat mencapai kesempurnaan absolut dalam konotasi dapat dirumuskan dengan definisi teori. Oleh karena itu ia memandang bahwa ilmu itu berkembang secara open-ended atau sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan. Dengan demikian, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa dunia ilmu pengetahuan - di luar exact - selalu berkembang sesuai dengan konteksnya baik itu konteks historis, sosiologis, psikologis, antropologis.
     Ditilik dari situ, metode kuantitatif bagi ilmu sosial telah tercerabut dari akar filosofisnya dan telah tumbang sejak semula. Mengapa kita harus 'beriman' padanya ??

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE