Oleh:
Vika Wisnu
FISIP Untag SURABAYA
Minggu pagi dua hari lalu aku
melihatnya di pertengahan Jalan Veteran. Dari jarak lima puluh meteran dan
terhalang kaca jendela taksi, aku dapat mengenalinya dengan baik, Yoko berjalan
sangat pelahan, seperti mau berhenti tapi urung. Menoleh ke kiri dengan gerakan
luar biasa lambat –seperti sengaja diperlambat, matanya terkunci pada sebuah
bangunan megah dari sebuah jaman, gedung yang pernah tersohor dengan nama
Societeit Concordia.
Selamat pagi, kataku –entah apakah
ia bahkan menyadari kehadiranku. Suhu udara 25 derajat Celcius. Yoko tak
membalas dengan membungkuk dalam-dalam, ia sudah lama bukan lagi orang
Jepang, punggungnya tetap tegak, ujung
dagunya saja yang menyentak sekilas. Kedua tangannya tersembunyi di balik jaket
corduroy tebal seakan-akan sedang berada di tengah dingin yang tak
tertanggungkan.
“Saya harap, Anda tidak mengira gedung itu
adalah Indica Gallery,” kusebut nama tempat bersejarah dalam hidupnya, saksi
pertemuan pertamanya dengan John di tahun 1966, basement sebuah toko buku di
Mason’s Yard London yang disulap pemiliknya jadi galeri seni di mana Yoko
memamerkan karya avant guard-nya yang
segera menarik banyak perhatian: Unfinished
Painting.
Minggu pagi delapan tahun lalu
aku berpisah darinya di pertengahan musim panas yang nyelekit.
Aku masih mengenalinya sebagai Julia meski cahaya matanya telah berbeda, ia berkata
dengan sangat lembut dan hati-hati, “Aku harus pergi.” Belum sempat ada
perayaan second anniversary sejak kami
memutuskan untuk tinggal bersama di apartemenku di Silicon Valley, sejak dia bulat
tekad pindah dari rumah ibunya di sebuah distrik kecil di luar San Fransisco. “Apa
yang terjadi?” itu saja pertanyaan yang sanggup kupikirkan. Julia menggeleng,
mengemasi barang-barangnya, meninggalkan aku, membawa Stephan yang baru saja mengawali
masa toilet training dan sudah mulai bicara, setidaknya sudah cukup fasih
memanggilku Daddy dan menyebut Julia Mommy. Kekasih lamanya, ayah biologis
Stephan menghubunginya lagi, menyesal telah membiarkannya dalam ketidakpastian,
mengaku masih sangat mencintainya, lalu berjanji menikahinya dan mereka akan
hidup bahagia sampai maut memisahkan.
“I am
sorry, Ken.” Sebuah pelukan, satu ciuman sekilas dan seucap
terimakasih karena telah membantunya melewati masa sulit, itu yang kudapat. Tak
ada amarah, malah ketika Julia kembali di depan pintuku beberapa hari kemudian,
aku sungguh berharap ia berubah pikiran dan meralat kata-katanya. Ternyata, ia
cuma mengambil hair straightener yang
tertinggal di laci lemari, dan mengabarkan pernikahannya akan dilaksanakan
paling lambat tiga minggu lagi.
”Sudah lama sekali...,” Yoko
tersenyum takjub mendengar kembali perjalanan cintanya dari mulutku. Ya, hampir
limapuluh tahun lalu, potongku sok tahu. Kalau John masih hidup, pasti kalian
akan menggelar ulang tahun pernikahan emas, mungkin pesta berdua di atas ranjang
disaksikan oleh seluruh penduduk bumi, bed-in
for peace.
“Setidaknya kami pernah bermimpi untuk mengubah
dunia,” tawa Yoko memecah, riang.
“Kalau begitu Anda setuju ungkapan ini, untuk
dapat mengubah dunia ubahlah lebih dulu dirimu?”
“Bodoh,” Yoko menopang dagunya dengan salah
satu jari,”Tidak satupun manusia yang bisa mengubah dirinya. Yang terjadi
hanyalah orang-orang bergerak mendekati keaslian mereka. Masing-masing hanya
sanggup kembali kepada keadaan asal.”
“Maksud Anda, kita semua sedang berjalan
mundur?”
“Kau pikir kita sedang membuat kemajuan? Sedang
melakukan perbaikan?”
Yoko menyembunyikan tangannya lagi, menutup
rapat bibirnya hingga setipis lembaran crepes
tanpa isi. Dinding putih Societeit Concordia, gedung bekas kamar bola di jaman kompeni
berkuasa mulai memantulkan sinar matahari. Bayang-bayang keangkuhannya sedikit
demi sedikit jatuh di atas trotoar berkeramik.
Palo Alto bukan Surabaya, di
sana orang kaya bukan cuma satu dua, setiap keluarga hidup makmur dan –meskipun
ada, orang miskin terlalu sedikit
jumlahnya. Gaji terakhirku sebagai spesialis cyborg tiga miliar setahun jika dirupiahkan, pekerjaanku pekerjaan impian,
walau aku mengawalinya dari sebuah keterlanjuran yang naif. Ketika kupamerkan kemeja
seragam SMA yang penuh coreng moreng tanda tangan, Papa menyindir,”Apa
hebatnya? Anak Shu’ Alim ndak perlu
gitu-gitu, lulus, langsung berangkat ke Amerika.” Apa yang lebih penting dari
membuat kebanggaan Papa kepadaku sebesar kekagumanku kepadanya?
Begitu Universitas Stanford
membuka gerbang, kumulai hidup baru sebagai mahasiswa imigran dengan uang saku pas-terbatas,
cerita klasik yang kelak menarik untuk diceritakan sebagai kisah motivasi. Pada
tahun-tahun berat mendekati kelulusan, otakku memadat, rindu Papa, Mama dan
rumah toko kami di Jalan Kembang Jepun. Tidak bisa pulang karena kedutaan
memberlakukan travel warning ke
Surabaya setelah ada laporan ancaman keamanan di hotel dan bank yang berafiliasi
dengan negeri Obama. Kucoba melelehkan lelah dengan berjalan-jalan, mendatangi kelas
jurusan humaniora, di situ Julia ada. Kearifan Asia menjadi pusat perhatiannya,
jauh dari ketertarikanku kepada semikonduktor. Tapi aku lantas begitu saja tersesat
pada mimpi-mimpinya yang serumit sirkuit dan rambutnya yang tembaga. Julia
bertahan denganku untuk beberapa waktu. Barangkali karena aku informan yang
baik, menjawab semua keingintahuannya tentang kehidupan orang-orang Tionghoa di
Indonesia. Tepukan sebelah tangan yang tak kusangka lama pupusnya.
Yoko berjalan maju, mendekat
ke bangunan paling ikonik di sepanjang jalan ini, dulunya adalah clubhouse tempat sinyo-noni Belanda
totok di Surabaya berkumpul dan berdansa-dansi. Hampir seratus tahun silam,
arsitek G.C Citroen merombaknya menjadi kantor perusahaan minyak, mengganti
ornamen klasiknya dengan elemen art deco,
mengubah arah pintu masuk jadi membelakangi Kalimas dan merubuhkan balkon di
lantai dua tempat meneer-mevrouw duduk-duduk bercanda ria. Tak ada lagi pesta,
orang datang ke sana untuk bekerja. Societeit Straat bukan lagi sebuah kawasan
pergaulan, mereka yang berdandan dan datang untuk menarik perhatian bergeser ke
Tunjungan, atau ke Simpangsche Straat beberapa waktu kemudian. Jalan ini,
hingga namanya diganti jadi Jalan
Veteran adalah jalan bagi orang-orang kantoran.
“Anda salah,”
sangkalku,”Manusia berubah.” Yoko tak tampak tersinggung, tetap tenang, air
mukanya datar,”Dulu kukira juga begitu.” Lalu kenangan-kenangannya tentang John
meluncur acak, betapa ia tak tahu menahu secuilpun tentang lelaki ceking
berkacamata bulat yang datang sehari sebelum eksebisi perdananya resmi dibuka. Pemilik galeri hanya mengenalkan
pemuda itu sebagai miliarder –siapa tahu
berminat membeli salah satu karya yang dipajang. “John begitu ceriwis,”
cerocosnya. Bertanya macam-macam dan kentara sekali berusaha menarik hatiku. Aku
tak peduli sekalipun ia seorang front man
band terkenal se-Inggris Raya, simbol kejayaan generasi bunga, pujaan
pemuda-pemudi sedunia....
“Jujur saja,” kusergah,”Sejak semula Anda telah
menginginkannya.”
Yoko terdiam, tulang pipinya yang tinggi tak menopengi
terawang tatapannya,
”Ya. Tapi kami sering berselisih....”
“Bagaimana Anda dapat terus mencintainya?”
Senyum Yoko
memuai sekejap, kulit wajahnya seputih susu murni, kental tanpa kerutan,
“Tak adakah sesuatu yang tetap dalam hidupmu?” Di hadapanku berdiri seorang
perempuan berumur lewat sewindu dengan binar kasmaran perawan kencur.
Aku tak punya tujuan hidup. Seingatku,
sampai sejauh ini aku selalu selamat hanya karena kebetulan pintar dan bernasib
baik. Murid terbaik di sekolah terbaik, tidak berkelebihan tapi juga tak sampai
kekurangan uang, jarang sakit, banyak koneksi, belum sekalipun mengalami patah
hati. Pada salah satu kencan di cafetaria kampus, Julia pernah
menginterograsiku panjang lebar, apakah masa kecilmu bahagia, pernahkah
dilecehkan, tertarikkah kau kepada sesama jenis, bagaimana pendapatmu tentang
pernikahan, apakah kau membaca karya-karya sastra Yu Hua, apa rencanamu setelah
ini –pulang ke negaramu –menikahi pacar SMA-mu atau tetap di sini dan jatuh
cinta kepada sembarang gadis yang kau temui?
“Kau benar-benar pewawancara yang buruk,”
kucium bibir tebal Amerikanya tanpa bernafas, ”Apakah jatuh cinta dapat
direncanakan?”
Sungguhpun demikian, menikahinya bukan
tujuanku. Tak pernah terpikir membawa Julia ke hadapan Mama, Papa, Engkong,
apalagi mengenalkannya kepada Mak Co. Membeli apartemen dua lantai untuknya,
mengambil alih semua beban finansialnya, menyayangi bayinya jiwa raga, jelas
bukan pencapaian. Pengorbanan mungkin, atau sekedar dorongan impulsif, entahlah.
Setiap mengingatnya aku menyesal, bertanya-tanya bisakah waktu diputar, bukan demi
uang yang terbuang percuma, melainkan agar dapat kupinang ia dalam sebuah makan
malam romantis di restoran Flea Street.
“Jadi, mengapa kau pulang?”
Yoko mengambil dari balik jaketnya block notes
dan sebatang pensil charcoal, mulai membuat sketsa Societeit Concordia dari
arah utara. Ia telah menduga aku akan butuh waktu untuk menjawabnya. Mama
menelepon, Papa terserang stroke ringan, adik bungsuku akan melangsungkan
pernikahan, sepupuku akan melahirkan, teman-teman seangkatanku di sekolah
Frateran merancang sebuah reuni besar-besaran. Untuk semua itukah aku kembali
ke Surabaya? Oh ya, sebenarnya bos memintaku menjajaki pasar robot di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia tentu saja. Jadi tidak ada salahnya aku mampir ke rumah
orang tua barang sepekan. Terdengar durhaka? Bagaimana dengan surel Julia yang datang
tiba-tiba? Ia berkabar sedang memerlukan bantuan, setidaknya butuh pendapatku
tentang rencananya mengembangkan aplikasi pohon keluarga, sebuah program
komputer yang memungkinkan penggunanya merunut silsilah sampai ratusan turunan
ke belakang. Dengan begitu kita dapat mengenali asal-usul kita, jika perlu
menelusuri kita ini reinkarnasi siapa. Julia menutup suratnya dengan retoris,
“Tidakkah kau pikir kita perlu sebuah alternatif mekanisme ziarah, Ken? Bukan
dengan mendatangi kuburan-kuburan dan membongkar situs-situs kuno, tapi dengan
teknologi paling sekarang.”
Juliakah yang mendorongku pulang? Sebab setelah
sekian lama sejak kepergiannya, kalimat terakhir dari emailnya itu bagai spora
beterbangan dan menempel di dinding-dinding otakku, tumbuh bersulur-sulur
seperti tanaman rambat liar, hingga kurasa tidak ada pilihan yang lebih baik kecuali
menghindar.
“Kau tahu apa yang akan lewat
sebentar lagi di depanmu?” Yoko terus asyik dengan gambarnya yang tidak taat
skala,”Sebuah trem listrik.”
“Trem listrik....” Aku sudah mendengar kabar
itu sejak lama, kataku. Pemerintah Surabaya berencana menghidupkan lagi jalur
trem dalam kota, aspal dan jalur hijau akan dikeduk, rel perlintasan
peninggalan Oost Java Stoomtram Maatschappij
yang terpendam di bawahnya akan difungsikan kembali. “Wajah kota ini akan kembali
seperti pertengahan abad sembilan belas....”
Yoko mengerling jenaka,”Masih tak percaya,
manusia tidak pernah mampu berubah?”
“Anda lupa satu hal, manusia menciptakan
teknologi,” aku membela diri, “Itu cara manusia mengubah dirinya sendiri.”
Yoko membuang muka. Angin
menerpa dingin. Sebuah kereta dengan lokomotif menyerupai moncong buaya
melintas dari arah Jembatan Merah menuju selatan kota Surabaya, berlogokan
BoyoRail, berpenumpang anak sekolah, lelaki-lelaki berdasi, perempuan-perempuan
ber-rok mini, ibu-ibu menggendong bayi. Sejenak aku merasa seperti melihat film
dokumenter tua yang diperbarui warnanya. Tak ada asap, kereta ini bukan kereta
uap seperti yang pernah berjaya di era kolonial, melainkan sebuah transporter
massal yang konon ramah lingkungan karena dioperasikan dengan baterai tanpa
emisi, memihak rakyat kecil karena harga karcisnya tidak lebih mahal dari harga
setengah liter bensin, berkat subsidi. Wisatawan memotret dengan kamera ponsel
mereka yang berpiksel tinggi, sementara anggota Dewan yang melintas dengan
mobil dinasnya melirik sinis, di atas kepalanya tertiup gelembung
kata,”Bagaimana bisa kota ini membangun sebuah moda angkutan yang telah banyak
ditinggalkan oleh kota-kota besar dunia?”
Yoko tak mengucapkan apa-apa
lagi, hanya dengan cepat meringkus hasil sketnya menjadi seonggok bola kertas
kecil dan melemparnya sembarangan. Kupungut dari ujung kakiku, kubuka
hati-hati. Hasilnya bukan gambar konstruksi yang presisi, hanya
persegi-persegi, bentuk-bentuk menyerupai jendela-jendela panjang yang rancu
apakah itu detil arsitektur bekas Societeit Concordia yang kini jadi gedung
Pertamina, ataukah eksterior Indica Gallery yang kini bahkan sudah tak ada
bekasnya. Yoko membuat banyak goresan, garis-garis yang kekanak-kanakan tapi
begitu hidup, seakan memanggil-manggil untuk diperbaiki di sana-sini,
dimatangkan, diindahkan, diwujudkan.
“Aku pulang untuk sesuatu yang belum
kuciptakan!” jawabku akhirnya. Mantap. Tegas. Pasti. Ketika kuangkat kepala,
Yoko sudah tak lagi di sana. Societeit Straat telah kembali sepi. Trem listrik belum
ada.
Ó
Cerita pendek ini pernah dimuat di Jawa Pos, Minggu 6 Maret 2016
0 wicara:
Posting Komentar