Oleh : Rizky Angga N
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
Suatu
hari saat di sekolah, teman sebangkuku menunjukan sebuah mantra ajaib. Ia
mengatakan mantra itu benar-benar bisa digunakan untuk memenuhi semua keinginan
kita lebih cepat dari doa-doa yang di ajarkan ibu Sofi, guru kita. Dia meminta
aku untuk merahasiakan mantra itu. Tidak ada yang boleh mengetahui mantra itu
kecuali kita berdua.
“Hey,
Ela mau tahu sebuah mantera tidak? mantera Ini sungguh ajaib. Tapi kau hanya
bisa menggunakanya sekali dalam seumur hidupmu,” Bintang berkata dengan suara berbisik
karena ini masih jam pelajaran.
“Boleh...
mantra apa itu?” aku pun turut berbisik-bisik juga.
“dekatkan
telingamu sini,” Bintang membisikan kata itu di telingaku. “Abracadabra,”
“Abracadabra?”
ulangku “Aku sudah sering mendengarnya, tidak ada yang ajaib dalam mantra itu,
Bintang,”
“iya...
ucapkan abracadabra setelah itu sebut keinginanmu dalam hati. Tapi ingat! Kau
harus benar-benar yakin, agar matera itu berhasil,” Bintang berhenti sejenak.
“Harus benar-benar yakin itu kuncinya,” ia mengulangi dengan intonasi yang
lebih panjang.
“Siapa
yang mengajarimu?”
“Ibu
ku yang memberitahu. Waktu ia mengajaku jalan-jalan kemarin, aku melihat orang
berjualan boneka. Ada satu boneka Panda lucu yang sangat aku inginkan. Ketika
aku minta dibelikan boneka itu, ibu tidak membelikanya. Dia menyuruhku membaca
mantra itu sebelum aku tidur tadi malam dan paginya boneka panda itu-”
“Binntang...
Ela... kalian berdua jangan berisik sayang. Ini masih jam pelajaran. Catat yang
ada di papan tulis.” Bu Sofi menegur kita berdua.
“boneka
panda itu ada di sampingku saat aku terbangun. Ajaib kan? benar-benar mantera
ajaib.” Bintang tidak melanjutkan pembicaraan.
Pulang
sekolah sungguh melelahkan. Saat aku pulang sekolah, Mama terdidur pulas
dikamarnya, Papa tidak di rumah ia sedang bekerja, entah dimana! Waktu siang Mama
selalu tidur sampai sore hari. Ia baru akan bangun menjelang petang untuk
bersiap-siap kerja. Saat subuh ia akan pulang. Terkadang mama pulang dalam
keadaan masuk angin, sampai sampai ia muntah di depan rumah. Setiap kali pulang
mama selalu diantar mobil berganti-ganti jenisnya. Pernah ia di antar pulang
dengan sebuah mobil berwarna merah yang sangat bagus, pernah juga ia pulang di
antar sebuah mobil lucu berbentuk mirip seekor kodok. Aku tahu semua mobil yang
mengantarnya pulang, karena aku yang membukakan pintu. Setelah aku membukakan
pintu ia akan mengelus-elus rambutku lalu masuk kekamarnya.
Tidak
ada orang di dunia ini yang bisa menandingi Papaku dalam urusan pekerjaan. Saking
kerasnya papa berkerja, sampai ia lupa dimana rumahnya, sebesar apa anaknya
sekarang, bagaimana keadaan Mama yang sering masuk angin. Sudah sangat lama Papa
tak pulang. Aku berfikir; mungkin papaku kerja di atas bulan sana. Ia membangun
gedung-gedung tinggi yang kelak akan dihuni manusia saat mereka bisa tinggal di
bulan. Atau menjadi seorang prajurit yang di tugaskan pak presiden untuk
melindungi bulan dari serangan Alien-alien jahat yang ingin merebut bulan dari
tangan manusia.
Abracadbra.
Aku
belum tahu ingin apa dari mantra itu. ingin boneka panda seperti punya Bintang?
Ah, tidak perlu. Bintang adalah teman kelasku yang paling baik. Suatu saat ia
akan meminjamiku boneka itu. Binatang sering berbagi bekalnya. Kue pelangi, nasi
goreng dengan lauk telur mata sapi, roti bakar, resoles, dan beberapa makan
yang tak kutahu namanya. Semuanya makan yang ia bawah rasanya enak. Bintang
bilang itu semua buatan ibunya, ibunya pintar sekali memasak.
Berbeda
sekali dengan mama. Mama tak pernah memberiku bekal seperti yang di lakukan ibu
bintang. Hu... jangankan bekal, sarapan pagi saja mama tak pernah membuatkan
untuku. Tapi setidaknya mama tak pernah telat menyiapkan makan siang. Sepulang
aku sekolah, di meja makan sudah tersaji makanan meskipun rasanya tidak terlalu
enak. Setidaknya mama masih memberiku makan.
Saat
hari minggu sekolah libur. Mama juga libur,
mama tetap akan bangun siang meski sorenya tak bekerja. Papa? Masalahnya
aku belum pernah pergi ke bulan, jadi aku tidak tahu apakah di bulan hari
liburnya juga hari minggu, sama seperti di sini.
Hari
minggu aku menonton televisi sampai puas. Menonton filem sponsbob squerpents
dan filem-filem kartun lainya. Terkadang menonton acara siaran musik di
televisi juga. Aku suka acara musik itu karena mereka punya goyangan yang lucu.
Mereka sering rame-rame melakukan goyangan itu di iringi sebuah musik dance dan
penyanyi wanita wang berdandan seperti badut. Sesekali saat istirahat di
sekolah aku dan Bintang sering menirukan goyangan itu. tapi kami berdua harus
melakukan dengan hati-hati, kalau sampai ketahuan ibu Sofi, kami berdua bisa
dimarahi habis-habisan oleh ibu Sofi. Ibu Sofi sangat melarang murid-muridnya
mengikuti goyangan seperti di televisi. Padahal goyangan itu sedang hits-hitsnya.
Kadang di hari minggu Mama menemaniku saat
siang. Mengajaku mengobrol. Bertanya tentang banyak hal. Semisal, bagimana
sekolahku? Mengobrol dengan mama terkadang sangat membosankan. Ia terkadang tak
menjawab dengan jelas apa yang aku tanyakan. Mama bilang. “kamu masih
anak-anak. Anak-anak dilarang bertanya seperti itu sama orang tua.” Padahal
yang aku tanyakan adalah hal-hal yang mudah. Mama kerja apa? Papa kerja dimana?
Kapan papa pulang? Kenapa mama sering masuk angin?
Mamaku
memang orang aneh.
***
“Ela
bagaimana? Apakah sudah kamu gunakan mantera itu?”
“belum.
Karena kata kamu Cuma bisa di gunakan satu kali. Aku jadi bingung sebaiknya aku
gunakan utuk apa?”
“kamu
tukang bingung,”
“jangan
meledeku,”
“aku
tidak meldekmu. Kamu memang benar-benar sering bingung. Saat aku tanya, ayahmu
kerja dimana? Jadi apa? Ibumu kerja sebagai apa? Kamu tak bisa menjawabnya. Itu
namanya binggung,”
“aku
tidak bingung, Bintang. Sulit menjelaskanya,”
“itu
namanya binggung. Mau melakukan goyang seperti biasanya saat istirahat nanti
supaya pikiran kamu tidak bingung,”
“boleh.”
Abracadabra.
Mungkin
benar apa yang dikatakan Bintang. Aku ini seperti anak kecil yang tersesat di
dalam hutan. Seperti dalam dongeng Hansel dan Gretel yang pernah Bintang
ceritakan. Bintang lumayan pandai dalam bercerita. Dongeng dongeng yang ia
ceritakan biasanya menarik. Namun terkadang saat sedang seru-serunya kisah
tersebut bintang berhenti bercerita. Terkang dia melupakan bagian cerita itu
dan ia akan mengatakan.
“Maaf aku lupa kelanjutanya Ela. Akan kuminta
ibuku menceritakanya lagi, nanti sepulang sekolah. Besok kuceritakan untukmu,
aku janji.”
Aku
pernah beberapa kali bertemu denganya saat bermain di rumah Bintang. Ibu
Bintang kalah cantik bila dibandingkan dengan mama ku. Ia wanita yang
biasa-biasa saja menurutku. Tapi sangat baik dan sangat penyayang. Ia bahkan
sering memanggil ku dengan sebutan nak. Sesuatu yang belum pernah aku dengar
keluar dari mulut mama. Aku jadi iri dengan Bintang.
“Apa
kau sudah tahu yang akan kau minta
dangan mantera itu?”
“Sudah...
Sudah ada sedikit gambaran di kepalaku,”
“Beri
tahu aku?”
“Itu
rahasia, aku malu kalau sampai kau tahu,”
“kalau
kamu malu. Aku bisa menebak apa yang kamu inginkan. Kamu pasti menginginkan
seorang pangeran seperti pangeran dalam dongeng Cinderella kan? Hayoo ngaku,”
bintang menarik pipiku dengan kedua tanganya.
“Apa
sih, bukan,”
“Ya
sudahlah, tak masalah tidak mau mengaku.”
Bintang
memang lumayan sok tahu dalam berbagai hal. Dia yang pertama mengacungkan
tangan bila ibu Sofi memberi kami pertanyaan. Meski jawabanya terkadang
melantur sangat jauh dari pertanyaan yang di berikan bu Sofi.
Seperti
biasanya mama sedang bekerja. Entah kenapa aku tak bisa tidur. Sudah kucoba
memejamkan mata sambil menghitung domba, tapi tetap aku tak bisa tidur. Aku
memandangi bulan dari jendela kamar. Sekelilingnya terdapat taburan bintang-bintang.
Lezat seperti kue donat yang ditaburi ceres.
Bintang,
disatu sisi dia adalah satu-satunya teman terdekatku. Di sisi lain ada keirian
terhadapnya. Jika kalian berfikir aku tak boleh punya rasa iri terhadap Bintang,
sebenarnya aku juga tak ingin iri terhadap sesuatu yang dia punya. Namun
semakin aku coba menghilangkan rasa iri ku terhadapnya, semakin menyiksa diriku
sendiri. Ibu Sofi pernah menjelaskan pada kami semua dikelas, sifat iri hati
adalah sifat yang paling di benci tuhan. Namun Bintang selalu memancingku
dengan cerita-ceritanya yang membuat aku tidak tahan lagi. Rasa iriku sudah
memuncak di ubun-ubun. Maafkan aku, aku benar-benar tak tahan lagi.
“Abrakadabra,”
aku mengucapkan mantra itu kali ini. Tanpa rasa ragu seperti yang Bintang
katakan “semoga setelah aku bangun nanti ibu Bintang menjadi mamaku dan mama ku
menjadi ibu Bintang.”
Rasanya
puas. Sekarang aku akan tidur.
0 wicara:
Posting Komentar