data-ad-format="auto"

Alis



Oleh Rizky Angga N
FISIP Untag Surabaya




Tahukah kalian, berapa harga sebuah pertolongan yang pernah kau dapatkan? Ya... kira-kira seharga dengan sesuatu yang sangat berharga yang kau miliki saat ini dan suatu saat kau harus memberikan yang berharga itu untuk menebusnya.
Tak ada yang menarik di galeri koleksi lukisan milik Tomo. Lukisan hanyalah gambar-gambar yang terbuat dari cat minyak yang di sapukan di atas kanvas putih. Sama sekali tak ada yang membuatku tertarik, mungkin itu di sebabkan selera seni ku yang rendah. Diantara puluhan lukisan yang terpajang rapi akirnya aku menemukan satu yang sangat memikat. Aku tertarik pada sebuah lukisan seorang kakek tua tanpa bola mata dengan tangan merba-raba tanah hingga ia terlihat sedang mencari bola matanya. Menurut Tomo itu lukisan yang biasa-biasa saja, ya sedikit lumayan lah. Alasan Tomo membelinya hanya karena ia pernah berhuatang sesuatu pada ayah si pelukis. Entahlah, mungkin semacam balas budi. Aku sama sekali tak tahu alasan Tomo meberikan nilai ‘biasa saja’ pada lukisan itu. Yang pasti ada sesuatu yang menarik menurutku. Seoalah-olah ada sesuatu yang memikatku untuk memilikinya. Bukan karena eloknya lukisan itu, atau betapa menyedihkan tokoh dalam lukisan itu yang membuatku ibah. Setidaknya lukisan berjudul ‘‘Senja Tanpa Warna’’ itulah paling memikat diantara lukisan lainya, setelah 30 menit lebih melihat-lihat koleksi lukisan milik Tomo.
            “Siapa yang melukis itu?”
            “I Made Santika ... kalau kamu suka kamu boleh memilikinya,”
            “Emm... Apa kamu serius?”
            “Ya. Kamu boleh jika kamu mau,”
            “Oke, Terima kasih,”
            Tomo hanya tersenyum dan meletakan gelas anggurnya lalu mencopot lukisan itu dari dinding, “Rawatlah dengan baik lukisan itu, meskipun selerahmu payah.” ia menyalamiku dan memberikan lukisan itu kepadaku, seolah-olah aku ini seorang Marlon Brando yang baru saja menang oscar dan ia bertindak sebagai si pemberi piala.
            Kupajang lukisan itu di dalam kamarku. Letaknya persis berhadapan dengan ranjang tidurku supaya aku bisa memandangnya dengan leluasa setiap kali aku ingin memandangnya. Namun setiap kali memandang lukisan itu lama-lama aku merasa iba juga pada kakek tua tanpa bola mata itu. Seburuk-buruknya kelakuanku aku juga punya sedikit rasa iba meski kepada lukisan. Aku tidak bercanda.
 “Kakek tua yang malang, tak bisa kubayangkan kalau kau hidup di dunia nyata tanpa bola matamu.” Aku berujar sendiri.
            Angin sepoi-sepoi berhembus masuk melewati jendela kamar yang sengaja aku biarkan terbuka. Aku suka membiarkan jendela kamarku terbuka karena aku dapat melihat bulan yang menggantung di langit hitam. Namun malam ini hawa di dalam kamar terasa begitu aneh. Sejuk memang; tetapi sedikit ada kengerian dalam setiap kesejukan yang menusuk kedalam pori-pori. Sampai-sampai aku merasakan ngilu di sekujur tulangku. Serasa berada di dalam castil Count si Dracula. Aku bisa merasakan betapa ketakutanya Jonatan Heker saat tertawan di castil Count.
Tak ada yang ganjil dan tak ada yang kucurigai. Namun sedikit ada yang aneh dengan lukisan itu. entahlah apa? Saat ini aku tak dapat menjeleskanya dengan baik. Maksudku, setiap orang yang melihatnya, mereka akan merasa sama kasihanya juga denganku. Tapi, semakin lama kau pandangi, sepertinya kakek tua itu benar-benar hidup dan merengek seperti meminta suatu pertolongan. Mungkin saat ini hanya perasaanku yang berlebihan. Terkadang aku suka melebih-lebihkan hal yang tak masuk akal.

            Aku tak bisa mendefinisikanya dengan baik apakah ini malam atau siang. Aku berada di suatu tempat yang tak asing namun ruanganya serasa jauh lebih panjang tak berujung di penuhi lukisan. Sepertinya aku sedang berada di galeri milik Tomo. Ada seseorang yang mendekat dari kejahuan. Orang itu semakin mendekat. Sekarang sangat dekat, jarak kami berdua hanya sekitar setengah meter. Aku begitu ketakutan, mencoba berteriak sekeras-kerasnya, namun suaraku terasa berat untuk keluar. Dia menatapku, tatapanya mengerihkan. Entah dari mana tiba-tiba saja ia memberiku sepasang bola mata. Lantas di berkata dengan suara terdengar berat dan berwibawa, “Berikan sepasang bola mata ini untuknya dan mintalah tanganya sebagai ganti -”
            Aku kaget dan terbangun oleh Suara ringtone panggian masuk dari ponsel yang berada persis di sebalah telingaku. Oh tuhan, ternyata tadi mimpi buruk! Tak ada nama yang menelfon hanya nomernya yang terlihat di layar ponselku. Saat kuangkat telfon, suara seorang perempuan yang tak ku kenali. Ia mengatakan ibuku sedang berada di rumah sakit dan ia adalah orang yang menolongnya. Katanya, karna kurang berhati-hati saat menyebrang ibuku tertabrak mobil yang melintas kencang. Kondisinya lumayan parah dan butuh segera di operasi. Karena keadaanya sangat darurat dan iya tak bayak uang untuk menolong ibuku; maka ia memintaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening yang ia sebutkan agar Dokter segera bisa melakukan tidakan operasi pada ibuku.
            “Ya tuhan! Lelucon apa lagi ini.” Rasanya aku ingin tertawa. Bagaimana bisa ibuku sudah meninggal 5 tahun yang lalu dan sekarang berada dirumah sakit setelah tertabrak mobil. Setelah ku katakan bahwa ibuku sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena Diabetes ia langsung menutup telfonya.
sepanjang malam mimpi aneh dan sekarang mendapati pagi yang tak kalah aneh. Kupandang lukisan itu. Tak ada yang berubah masih tetap tanpa bola mata.
 “kakek tua, sebenarnya aku ingin melukis bola mata untukmu. Tapi aku tak pandai melukis. Kau tahu sewaktu sekolah aku mendapat niai 6 untuk pelajaran kesenian. Aku takut membuatkan bola mata yang jelek,” aku bicara pada lukisan itu.
***
            Aku menunggu Tom di salah satu kafe, di jalan Pemuda sebelah kanan gedung tua peninggalan Belanda yang sekarang difungsikan sebagai Kantor Pos. Sembari menunggunya aku membaca koran yang kubeli tadi sewaktu di lampu merah. Yang diberitakan koran hari ini hanyalah berita-berita basi macam makanan yang sudah membusuk dan dimasak lagi oleh koki amatiran. mulai dari istri Tentara yang kecopetan saat berbelanja dipasar, demo disana sini tuntut ini - itu, pejabat tertangkap karena korupsi import daging babi. Sungguh berita-berita payah. Sepayah pagi ku.
            “Mau pesan apa pak?” tanya seorang pelayan yang sudah berdiri di sampingku.
            “secangkir capucino,”
            “Baiklah, segera datang secangkir capucino.”
            Kulihat Tom melambaikan tangan ke arahku tak lama setelah pelayan itu pergi. Saat bertemu denganku yang pertamakali ia tanyakan adalah, di mana ku pajang lukisan itu? Yang aku katakan padanyan justru hal-hal yang tak masuk akal. Mulai dari lukisan itu seperti meminta tolong padaku untuk melukis bola matanya, hingga mimpi buruk bertemu seorang aneh dengan wajah pucat bercahaya, namun tak ku ceritakan tentang telfon pagi tadi. Aku tak mau membuat tom sakit perut gara-gara cerita itu.
            Tom tertawa lebar saat mendengar ceritaku, “Imajinasimu terlalu tinggi kawan. Kau beruntung, tampaknya kau telah bertemu dengan seorang Nabi dalam mimpimu,” dengan ekspresi sedikit meledek, “hahh... hahh... hahh....” ia tertawa seperti kuda yang ingin kawin. “Lagian, siapa yang peduli dengan lukisan tanpa bola mata itu?”
            Tom memesan minuman, “Jefri buatkan aku ekspreso ... yang pahit.”
            “coba pikirkan dan lihat baik-baik lukisan itu nanti,” kataku serius dengan menatap tajam matanya. “Kakek itu sepertinya hidup Tom. Dia bukan Cuma sekedar lukisan,”
            Tom menyalahkan sebatang rokok dan menghebuskan asapnya ke udara. “Kau terlihat begitu kacau.  Ayolah! Itu Cuma lukisan biasa. Jangan terlalu liar padanya.”
            “Ya kau benar Tom.” Aku mengalah.
            Sekeras apapun aku memberikan penjelasan pada Tom ia tak akan percaya. Orang seperti Tom hanya percaya pada hal-hal yang masuk akal saja.
            Sepulang bertemu Tomo, aku memacu mobilku; Toyota Corola keluaran tahun 1980, menuju arah jalan Jendral Sudirman. Biasanya di sana banyak sekali berjajar pelukis yang menjual lukisanya sepanjang jalan itu. Kupacu santai mobilku. Aku mengamati banyak lukisan. Sudah kukatakan sejak awal dan akan tetap sama. Aku tak tahu bagaimana menilai estetika sebuah lukisan. Yang aku tahu, aku merasa senang bila lukisan itu melukiskan sebuah kebahagian dan aku merasa sedih bila lukisan itu melukiskan sebuah penderitaan. Terlalu naif bila mengatakan lukisan itu dilukis dengan imajinasi sang pelukis. Maksudku, mereka pasti punya gambaran nyata yang pernah mereka lihat sebelumya sebelum kuas digoreskan di atas kanvas. Ambilah contoh begini, mereka tak akan bisa melukis sebuah air terjun bila mereka hanya mengandalkan imajinasinya saja tanpa pernah melihat air terjun secara langsung bukan?
***
            Aku kembali bermimpi. Kali ini giliran kakek tua di lukisan itu yang masuk kedalam mimpiku. Mendengar teriakanya bukan main kasihanya aku, “Tolong bola mataku ... tolong bola mataku ... tolong bola mataku...,” berkali kali ia berteriak seperti itu.
            Kalau mimpi hanyalah bunga tidur, kenapa belakangan ini tuhan selalu memberiku bunga kamboja saat aku tidur. Padahal sebelum tidur aku tak pernah lupa berdoa.  Pahit.

            Akhir-akhir ini menurut Tom aku semakin aneh. Mungkin itu hanya pesrasaan Tomo saja. Yang aneh dalam diriku hanyala, sekarang aku belajar melukis bola mata. Itu saja. Sudah puluhan lembar kertas gambar yang aku habiskan untuk belajar. Tapi tak ada satupun lukisan bola mata yang benar-benar bagus. Yang aku buat seperti bukan bola mata saja, bentuknya lebih mirip telor mata sapi yang sudah membusuk. Sampai-sampai aku ngeri sendiri melihatnya.
            “Ah, aku memang tak pandai melukis, habis ribuan lembar kertas gambar pun hasilnya tetap akan sama.”
            Setiap hal yang kukerjakan hasilnya selalu saja berantakan. Setiap pertolongan yang coba kuberikan pada orang lain selalu membuat orang beranggapan aku selalu mengacau. Sumpah aku sering tulus dalam hal tolong-menolong. Bahkan sangat tulus. Tapi kecerobohanku sering kali menghancurkan sisi ketulusan itu. Mungkin aku terlahir bukan sebagai malikat penolong. Atau mungkin, aku adalah malaikat penolong dengan jiwa serupa setan. Presepsiku selalu liar dalam bermungkin-mungkin. Harusnya aku tak seliar itu berprespsi terhadap diriku sendiri.
Tanganku gemetar hebat saat menyapukan kuas berlumur cat minyak hitam pada wajah kakek tua saat aku ingin melukis dua buah pupil berwara hitam. Sungguh hebat, aku membuat dua buah pupil tak terlalu buruk. Meski tak bisa dikatakan itu adalah dua pupil mata terindah. Bentuk pupilnya sama sekali tak presisi antara yang kanan dan kiri.
            “Kakek, sekarang kau punya dua buah pupil yang bentuknya lumayan bagus.”
            Rasa gemetarku sedikit berkurang saat aku melukis lingkar matanya. Aku membuatnya sedikit oval tapi tak terlalu buruk juga. Masih terlihat seperti mata manusia.
Akhirnya satu demi satu semua bagian sudah selesai, mulai dari pupil mata berwarna hitam, lingkar mata yang menujukan senja tak berwarna tak belaku lagi baginya, bulu mata semrawut namun tak terlihat ada kesinisan di dalamya, dan segala tetek bengeknya telah selesai. Kini ia sudah bermata. Mungkin di dunianya ia bisa melihat segalanya. Segalanya yang ingin ia lihat. Bukankah bisa melihat adalah hal yang paling kakek itu inginkan!
            “Sempurna,” aku menghembuskan nafas sekali. “kakek tua sekarang kau sudah punya dua bola mata, meski tak terlalu bagus bentuknya. Itu sudah cukup untukmu bukan? Sekarang sesuai syarat kau harus memberikan kedua tanganmu. Maaf aku harus menghapus tanganmu.”
             Kucampur beberapa cat hingga sewarna dengan tanah dalam lukisan itu di atas palet. Tak pelu berlama-lama dengan waktu, untuk menghapus dua tanggan renta milik kakek tua. Aku telah selesai. Kuletakan kembali lukisan itu pada tempatnya, “Selesai sudah.”
            “Aku sudah menolongmu sebisaku. Kalau kakek ingin bertrima kasih datanglah ke mimpiku nanti malam.”
***
            “Kakek kau benar-benar datang?” kataku, “kau bisa melihat sekarang. aku turut senang untuk itu.”
            Aku yakin sekali, aku berada di dalam mimpi. Bersana kakek tua yang sudah punya bola mata, namun ia sekarang tak lagi punya tangan. Menurutku kondisinya tampak lebih baik dari sebelumya.
            “Maaf untuk Tanganmu!” sebenarnya aku ingin sekali berjabat tangan denganya namun ia sudah tak memiliki tangan. “Kata orang berwajah pucat itu, aku harus mengambil tanganmu sebagai ganti bola mata. Kau juga setuju untuk itu. Tapi, sumpah, kau tampak lebih keren dengan bola mata itu dari pada kau punya tanggan tapi tak punya bola mata,” aku mencoba sedikit menghiburnya.
            Kakek tua hanya diam, mulutnya masih tak bergerak. Aku kembali mengambil inisiatif berbicara.
            “Ayolah jangan diam saja kek. Aku tahu kau kesini untuk berterima kasih kan?”
            Aku menantinya berbicara. Sunggu kakek ini lama-lama menyebalkan juga. Rasanya ingin juga menghapus mulutnya kalau sampai ia tak mau bicara juga.
            “Ayo bicaralah kek?”
            “Nak aku datang bukan untuk bertrima kasih padamu. Apa kau tak sadar? Kau lupa sesuatu!”
            “Maksudmu?” Aku terheran heran, mencoba memikirkan apa yang kulupakan? “Mata tukar dengan tangan. Kau setuju. Apa yang aku lupakan?”
            “Kau lupa alisku.”
            “Astaga!”



0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE