Oleh Achluddin Ibnu Rochim
"Hari ini Tanggal 22 Pebruari. Di tahun 1632, Buku Dialogo karya Galileo Galilei, dipublikasikan. Sebuah karya yang membandingkan heliosentrisme nya Copernicus dan geosentrisme nya Ptolemaeus, Setelah hampir seratus tahun sebelumnya heliosentris pernah menggemparkan Eropa"
Pada Tahun 1543, sebuah buku kecil diterbitkan. Judulnya On the Revolutions of the Celestial Spheres, Tentang Pergerakan Lingkaran Langit. Buku itu ditulis oleh seorang ahli astronomi Polandia, Nicolaus Copernicus.
Sejak itu Gereja meradang. Panas oleh amarah besar. Otoritas kebenaran yang diyakininya selama berratus tahun tercungkil dari tempatnya. Di dalam buku haram itu tertulis, “Bukan matahari yang bergerak mengelilingi bumi, melainkan sebaliknya.” Tentu saja ini sangat berlawanan dengan keyakinan gereja yang menganut Geo Centris, bahwa bumilah pusat alam raya.
Siapakah yang begitu berani melawan kebenaran gereja? Di abad pertengahan, di zaman ketika hampir seluruh Monarchie Eropa masih berada di bawah pengaruhnya?
Beruntung, Copernicus meninggal di hari ketika buku itu diterbitkan, sebab kalau tidak, hukuman bakar hidup-hidup pasti bakal menunggunya.
Sayangnya, setengah abad setelah itu, Giordano Bruno tak seberuntung Copernicus. Bruno diseret oleh Gereja karena mengajarkan faham baru: bahwa “Tuhan hadir dalam ciptaannya. Ada dalam segala sesuatu. Tuhan adalah alam itu sendiri”. Ajaran panteisme imanensi semacam ini tentu saja bertentangan dengan ajaran gereja kala itu. Tahta Suci tidak akan membiarkan berkembangnya ungkapan: “Alam itu Illahi, bahkan ia merupakan jelmaan Tuhan”. Ini akan mengganggu establishme keyakinan gereja yang didukung oleh para filosof abad pertengahan, bahwa ada tirai yang tidak dapat ditembus antara Tuhan dan ciptaannya.
Dalam rangka itu kemudian, pada tahun 1600, di sebuah pasar bunga di kota Roma, Giordano Bruno dipajang pada tiang pancang. Untuk jalani hukuman panggang. Tubuhnya disulut dengan api bersama kayu-kayu. Ia dibakar hidup-hidup hingga tewas. Tanpa ampun.
Tapi masa berkabung tak boleh terlalu lama, segera setelah kegelapan itu, bangkitlah sebuah gerakan baru yang bernama Renaissance.
Eropa begitu cepat menyadari kekilafan akan jalan takdir sejarahnya. Apa yang pernah dirintis oleh Seneca, bapak Humanisme dari Yunani , bahwa “Bagi manusia, manusia itu suci’ sebagai slogan kemanusiaan, segera dilanjutkan lagi dalam kelahirannya yang baru. Meskipun belakangan nanti, akan ada banyak pandangan bentrok dengan pendapat Gereja, tapi apa boleh buat, ilmu pengetahuan harus tetap dibangun-kembangkan. Merekapun jalan terus.
Renaissance menempatkan Humanisme di atas segalanya. Betapa tidak! Pandangan baru tentang manusia, bahwa manusia itu mulia dan berharga, menjadi spirit penggalian pengetahuan yang tidak mengenal lelah. Bagi kaum Renaissance ujaran “kenalilah dirimu sendiri wahai keturunan illahi dalam samaran manusia” benar-benar telah menjadi titik tolak.
Cara pandang yang berangkat dari diri manusia itu sendiri, dan bukan cara pandang yang bertolak dari Tuhan. Karenanya, manusia boleh berbahagia dalam kehidupan ini, sekarang ini: bebas berkembang tanpa batas. Hidup adalah di sini, dan di dunia ini. Hidup tidaklah semata mata untuk mempersiapkan akhirat. Manusia ada bukan semata-mata demi Tuhan. Pendek kata, Tuhan masuk kotak!
Berangkat dari sana, renaissance memaknai alam sebagai hal yang positif, sehingga tujuan renaissance adalah melanggar semua batasan. Gereja juga negara bukan otoritas satu satunya yang harus ditaati batasan batasannya. Di sini Humanisme sungguh-sungguh berjaya.
Pada zaman renaissance ini dipakailah Teleskup, Kompas, Senjata api, dan Alat Cetak. Kelak dengan teknologi ini revolusi peradaban dirintis: perjalanan antar benua, penyebaran ide dengan media, juga penaklukan. Methode ilmiah, empirisme juga lahir di sini: Pengamatan, pengalaman, dan percobaan. Seperti yang diteriakkan oleh Galileo Galilei: “ukurlah apa yang dapat diukur, dan buatlah agar dapat diukur apa yang tidak dapat diukur”.
Tapi nampaknya setiap jaman punya sudut gelapnya sendiri. Juga Renaissance, ia pun punya sisi gelap dan kemuraman. Pada masa ini juga, ternyata masih dibarengi dengan semangat barbarian yang meruyak! Getol mengadili para wanita penyihir, membakar para penganut bid’ah, sihir dan takhayul. Dengan renaissance pula terjadi perang besar berkobar. Penaklukan kejam atas Amerika dan benua-benua Timur oleh bangsa kulit putih Eropa.
Di atas semua cacat dan borok yang ada, tapi, paling tidak, Eropa segera cepat-cepat melakukan koreksi diri. Tidak seperti kita, begitu menikmati kubangan fanatisme puritan. Suka merawat dendam, juga kebencian. Barangkali karena kita tak punya Seneca, humanisme, dan renaissance.
Masih segar dalam ingatan, betapa sengketa antar sekte dan apa yang terjadi antara syiah dengan suni di Sampang juga pembakaran sarana prasarana milik Ahmadiyah, juga perusakan kantor mendagri, menunjjukkan bahwa kita ternyata belum bisa memetik pengalaman dari orang lain, termasuk jalan getir Barat.
Di Eropa sana, tiap kali mereka terjatuh dalam kegelapan, maka generasi berikutnya buru-buru membenahi diri. Dengan begitu, peradaban mampu digiring ke jalan lurusnya kembali, sehingga hari ini, kita pun dapat ikut nikmati warisan mereka, dengan apa yang disebut Demokrasi, HAM, dan Rule of Law. Teristimewa lagi, karena mereka pula kita bisa BBM-an.
2 wicara:
Terimakasih buat author saya jadi dapat materi kuliah buat mendebat dosen saya (hehehe) di matabkuliah filsafat ilmu
Lho.. Lho.. Lhooo... Tulisan itu tidak saya maksudkan untuk mendebat dosen mata kuliah filsafat ilmu.. Weladalahhh cilaka, salah aksiologi penulisan ini... Haduh biyunggg...
Posting Komentar