data-ad-format="auto"

DIALEKTIKA HUMANISME (Madzab SEMOLOWARU) 38





Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya



TAWARAN
BAGIAN TERAKHIR

Dengan pesimisme semacam itu apakah anda punya jalan lain sebagai pembanding jalan yang sudah–sudah?
         Saya tidak membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang tiba–tiba datang dari ruang hampa, tanpa proses pendahuluan. Adanya sesuatu pasti didahului oleh proses sebelumnya. Apa yang saya tawarkan ini hanyalah kelanjutan dari apa yang telah ditemukan pemikir–pemikir sebelumnya. Penolakan, pertimbangan, penyampuran, penolakan dan pengembangan seluruh pemikir merupakan akibat lanjut dari pemikiran yang sudah ada sebelumnya.
         Demikian pula apa yang sedang saya pikir sekarang ini, adalah akibat lanjut dari pikiran pendahulu saya. Saya belum pernah menemukan manusia yang bebas memori dalam berpikir. Manusia, ibaratnya adalah sebuah mesin photo copy kelampauan yang lain dan kelampauannya sendiri. Saya juga, saya ini adalah photo copy sejarah, yang juga menjadi sebuah titik penghubung dari ‘yang lalu’ kepada ‘yang akan datang’ dalam sebuah estafet gerak waktu beserta segala isinya. Sebagai pemegang tongkat estafet, saya tidak berani menolak, bahwa thesis–thesis yang saya tawarkan adalah kelanjutan dari yang sudah ada.

Ya, ya. Saya paham tidak usah dibolak–balik. Kemukakan saja tawaran anda!
          Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa manusia hidup ini menderita oleh kreasinya sendiri. Oleh karena itu, ke depan, manusia harus mengupayakan kebahagiaannya. Dalam perjuangannya itu manusia butuh formula. Kebetulan, jika anda belum menemukan formula, sementara ini anda bisa memakai formula saya. Jika suatu saat formula saya ini ternyata gugur dari sebagai ‘sebuah kebenaran’, anda bisa membuangnya jauh–jauh dan memakai formula yang lain yang lebih tepat serta benar. Formula saya ini terdiri dari beberapa thesis, yakni sebagai berikut:
        Thesis pertama; sikap manusia yang terlalu fanatik memegang lima pengetahuan dan membatasi atau menghalangi diri dari pengetahuan–pengetahuan lain, sama dengan totaliterisme. Banyak bentuk totaliterisme, yang lazim dituding adalah militer, institusi–institusi formal, semisal birokrasi, malahan ada totaliterisme yang lebih kejam lagi, yakni totaliterisme pikiran. Di mana logika manusia dipaksa satu frame, dilokuskan, di rambu–rambu dan sebagainya agar menolak hal–hal di luar empirisme. Penjara semacam ini mengekang adanya kemungkinan potensi–potensi yang belum diketahui. Padahal seharusnya akal manusia itu potensi pengetahuannya seluas alam semesta. Akal tidak pernah tahu potensi pengetahuan dirinya sebesar apa selama ia tidak distimuli terlebih dahulu agar menjadi pengetahuan. Sebelum mengetahui apa itu rasa manis, sebenarnya akal sudah memiliki potensi pengetahuan tentang rasa manis. Akal, baru mengetahui ini setelah perangkat lidahnya mendapat stimuli gula. Karena pada hakekatnya pengetahuan itu adalah pertautan antar potensi pengetahuan si subyek dengan stimulus obyek pengetahuan. Demikian pula dengan pengetahuan–pengetahuan yang lain.
        Dengan penjara empirisme, maka logika diberangus kebesaran potensinya, dengan totaliterisme empirisme, padahal selalu ada terbuka ruang ‘kemungkinan–kemungkinan baru’ yang tidak mungkin bisa diketahui oleh kelima alat serap pengetahuan kita. Oleh sebab manis tidak bisa diketahui dengan jalan mencium dan harum–haruman tidak bisa diketahui dengan jalan menjilat, maka ‘kemungkinan–kemungkinan baru’ tidak bisa diketahui dengan jalan menginderakan dengan lima alat serap pengetahuan yang kita miliki. Secara material, logika kita selama ini hukum–hukumnya dibentuk oleh empirisme, sehingga rumus–rumus, pola–pola, mekanisme–mekanisme, hukum–hukumnya yang muncul adalah rumus, pola, mekanisme, hukum empiris. Begitu diberi data di luar empirisme, maka rumus ini tidak match atau menolaknya.
         Kalau materialisme mendasarkan dirinya pada materi, maka ini akan berakibat dua, yang pertama, materialisme asasi, yang ini melahirkan nilai positif di mana manusia akan dapat melahirkan agama non transsenden baru yang disebut pantheisme kosmis yang menganggap bahwa Tuhan adalah materi itu sendiri, sebuah kepercayaan yang imanen. Yang kedua, materialisme pragmatis, di mana ini akan melahirkan orientasi manusia hanya pada hal–hal yang bersifat kebutuhan dan tuntutan jasmaniah dengan menafikkan kebutuhan dan tuntutan yang bersifat non lahiriyah. Orientasi yang terakhir inilah yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan semua ini. Paradigma empirisme tidak mampu menjawab persoalan manusia. Sebab yang terjadi adalah kemandekan emosi atau keringnya perasaan. Jika yang terjadi kemandekan emosi sosial, ini berarti pertanda akan sebuah akhir evolusi manusia itu sendiri. Ia telah berhenti pada sebuah terminal yang di dalamnya penuh dengan kerusakan alam dan kekerasan antar sesama. Proses pentahapan menuju puncak perkembangan diri telah berakhir. Berlangsung kiamat manusia sebelum waktunya.
         Thesis kedua; bahwa setiap sejarah ditentukan oleh pertautan keempat dialektika di antara manusia, alam, dan masyarakat yang berlangsungan terus–menerus. Keempat dialektika kehidupan ini adalah: pertama, dialektika alam yang sesuai hukum alam; kedua, dialektika individu manusia yang berkisar antara tuntutan, kebutuhan, dan pilihan, sehingga ia berdialektika dengan dirinya sendiri; ketiga, pada sisi lain ia berdialektika dengan alam dan manusia lain; dan keempat adalah dialektika kolektif masyarkat manusia. Dialektika semacam inilah yang menciptakan gerak sosial.
       Thesis ketiga, nilai melakukan perjalanan atau berevolusi, dari waktu ke waktu. Ada nilai yang gugur di tengah perjalanan sejarah dan ada pula nilai yang tetap bertahan sampai kapan saja. Nilai–nilai yang bertahan inilah yang disebut dengan nilai final kemudian memetamorphose menjadi nilai universal. Dengan demikian sifat universal manusia adalah tetap, pun hukum alam juga tetap.
        Thesis keempat, saya ialah: berdasarkan hukum kausalitas alias sebab akibat, suatu peristiwa tunggal adalah hasil dari sejumlah serangkaian penyebab, yang faktor–faktornya berjalan serempak dengan urutan sesuai hukum–hukum yang mengungkungnya. Di samping itu pula, sejumlah serangkaian peristiwa tunggal juga dapat menjadi penyebab peristiwa tunggal lain di depannya setelah peristiwa tunggal yang pertama berlangsung. Begitulah, peristiwa adalah aksi yang bagi peristiwa lain akan menimbulkan reaksi. Bisa aksi tunggal reaksi massal, bisa aksi massal reaksi tunggal. Berlandaskan thesis ini, berarti ‘akibat’ bisa direncanakan dengan menyiapkan faktor–faktor ‘penyebab’. Tatanan sosial hari ini adalah ‘akibat’, sedangkan kehidupan dahulu adalah ‘penyebab’. Tatanan sosial hari depan manusia adalah ‘akibat’ dari faktor–faktor ‘penyebab’ kehidupan hari ini. Dari pemikiran semacam ini, maka bisa dikatakan bahwa masa depan umat manusia yang berbahagia bisa direncanakan hari ini. Takdir sejarah bisa digiring.

LANJUTAN

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE