Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
TAWARAN
BAGIAN TERAKHIR
Dengan pesimisme semacam itu apakah anda punya jalan
lain sebagai pembanding jalan yang sudah–sudah?
Saya tidak membuat sesuatu yang
baru, sesuatu yang tiba–tiba datang dari ruang hampa, tanpa proses
pendahuluan. Adanya sesuatu pasti didahului oleh proses sebelumnya. Apa yang
saya tawarkan ini hanyalah kelanjutan dari apa yang telah ditemukan pemikir–pemikir sebelumnya. Penolakan, pertimbangan, penyampuran, penolakan dan
pengembangan seluruh pemikir merupakan akibat lanjut dari pemikiran yang sudah
ada sebelumnya.
Demikian pula apa yang sedang
saya pikir sekarang ini, adalah akibat lanjut dari pikiran pendahulu saya. Saya
belum pernah menemukan manusia yang bebas memori dalam berpikir. Manusia,
ibaratnya adalah sebuah mesin photo copy kelampauan yang lain dan kelampauannya
sendiri. Saya juga, saya ini adalah photo copy sejarah, yang juga menjadi
sebuah titik penghubung dari ‘yang lalu’ kepada ‘yang akan datang’ dalam sebuah
estafet gerak waktu beserta segala isinya. Sebagai pemegang tongkat estafet,
saya tidak berani menolak, bahwa thesis–thesis yang saya tawarkan adalah
kelanjutan dari yang sudah ada.
Ya, ya. Saya paham tidak usah dibolak–balik. Kemukakan
saja tawaran anda!
Seperti yang saya katakan
sebelumnya, bahwa manusia hidup ini menderita oleh kreasinya sendiri. Oleh
karena itu, ke depan, manusia harus mengupayakan kebahagiaannya. Dalam
perjuangannya itu manusia butuh formula. Kebetulan, jika anda belum menemukan
formula, sementara ini anda bisa memakai formula saya. Jika suatu saat formula
saya ini ternyata gugur dari sebagai ‘sebuah kebenaran’, anda bisa membuangnya
jauh–jauh dan memakai formula yang lain yang lebih tepat serta benar. Formula
saya ini terdiri dari beberapa thesis, yakni sebagai berikut:
Thesis
pertama; sikap manusia yang terlalu fanatik memegang
lima pengetahuan dan membatasi atau menghalangi diri dari pengetahuan–pengetahuan
lain, sama dengan totaliterisme. Banyak bentuk totaliterisme, yang lazim
dituding adalah militer, institusi–institusi formal, semisal birokrasi,
malahan ada totaliterisme yang lebih kejam lagi, yakni totaliterisme pikiran.
Di mana logika manusia dipaksa satu frame, dilokuskan, di rambu–rambu dan
sebagainya agar menolak hal–hal di luar empirisme. Penjara semacam ini
mengekang adanya kemungkinan potensi–potensi yang belum diketahui. Padahal
seharusnya akal manusia itu potensi pengetahuannya seluas alam semesta. Akal
tidak pernah tahu potensi pengetahuan dirinya sebesar apa selama ia tidak
distimuli terlebih dahulu agar menjadi pengetahuan. Sebelum mengetahui apa itu
rasa manis, sebenarnya akal sudah memiliki potensi pengetahuan tentang rasa
manis. Akal, baru mengetahui ini setelah perangkat lidahnya mendapat stimuli
gula. Karena pada hakekatnya pengetahuan itu adalah pertautan antar potensi
pengetahuan si subyek dengan stimulus obyek pengetahuan. Demikian pula dengan
pengetahuan–pengetahuan yang lain.
Dengan penjara empirisme, maka
logika diberangus kebesaran potensinya, dengan totaliterisme empirisme, padahal
selalu ada terbuka ruang ‘kemungkinan–kemungkinan baru’ yang tidak mungkin
bisa diketahui oleh kelima alat serap pengetahuan kita. Oleh sebab manis tidak
bisa diketahui dengan jalan mencium dan harum–haruman tidak bisa diketahui
dengan jalan menjilat, maka ‘kemungkinan–kemungkinan baru’ tidak bisa
diketahui dengan jalan menginderakan dengan lima alat serap pengetahuan yang
kita miliki. Secara material, logika kita selama ini hukum–hukumnya dibentuk
oleh empirisme, sehingga rumus–rumus, pola–pola, mekanisme–mekanisme,
hukum–hukumnya yang muncul adalah rumus, pola, mekanisme, hukum empiris.
Begitu diberi data di luar empirisme, maka rumus ini tidak match atau
menolaknya.
Kalau materialisme mendasarkan
dirinya pada materi, maka ini akan berakibat dua, yang pertama, materialisme
asasi, yang ini melahirkan nilai positif di mana manusia akan dapat melahirkan
agama non transsenden baru yang disebut pantheisme kosmis yang menganggap bahwa
Tuhan adalah materi itu sendiri, sebuah kepercayaan yang imanen. Yang kedua,
materialisme pragmatis, di mana ini akan melahirkan orientasi manusia hanya
pada hal–hal yang bersifat kebutuhan dan tuntutan jasmaniah dengan menafikkan
kebutuhan dan tuntutan yang bersifat non lahiriyah. Orientasi yang terakhir
inilah yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan semua ini. Paradigma
empirisme tidak mampu menjawab persoalan manusia. Sebab yang terjadi adalah
kemandekan emosi atau keringnya perasaan. Jika yang terjadi kemandekan emosi
sosial, ini berarti pertanda akan sebuah akhir evolusi manusia itu sendiri. Ia
telah berhenti pada sebuah terminal yang di dalamnya penuh dengan kerusakan alam
dan kekerasan antar sesama. Proses pentahapan menuju puncak perkembangan diri
telah berakhir. Berlangsung kiamat manusia sebelum waktunya.
Thesis kedua; bahwa setiap sejarah ditentukan oleh pertautan
keempat dialektika di antara manusia, alam, dan masyarakat yang berlangsungan
terus–menerus. Keempat dialektika kehidupan ini adalah: pertama, dialektika alam yang sesuai hukum alam; kedua, dialektika individu manusia yang
berkisar antara tuntutan, kebutuhan, dan pilihan, sehingga ia berdialektika
dengan dirinya sendiri; ketiga, pada
sisi lain ia berdialektika dengan alam dan manusia lain; dan keempat adalah dialektika kolektif
masyarkat manusia. Dialektika semacam inilah yang menciptakan gerak sosial.
Thesis ketiga, nilai melakukan perjalanan atau berevolusi, dari
waktu ke waktu. Ada nilai yang gugur di tengah perjalanan sejarah dan ada pula
nilai yang tetap bertahan sampai kapan saja. Nilai–nilai yang bertahan inilah
yang disebut dengan nilai final kemudian memetamorphose menjadi nilai universal.
Dengan demikian sifat universal manusia adalah tetap, pun hukum alam juga
tetap.
Thesis
keempat, saya ialah: berdasarkan hukum kausalitas
alias sebab akibat, suatu peristiwa tunggal adalah hasil dari sejumlah
serangkaian penyebab, yang faktor–faktornya berjalan serempak dengan urutan
sesuai hukum–hukum yang mengungkungnya. Di samping itu pula, sejumlah
serangkaian peristiwa tunggal juga dapat menjadi penyebab peristiwa tunggal
lain di depannya setelah peristiwa tunggal yang pertama berlangsung. Begitulah,
peristiwa adalah aksi yang bagi peristiwa lain akan menimbulkan reaksi. Bisa
aksi tunggal reaksi massal, bisa aksi massal reaksi tunggal. Berlandaskan
thesis ini, berarti ‘akibat’ bisa direncanakan dengan menyiapkan faktor–faktor ‘penyebab’. Tatanan sosial hari ini adalah ‘akibat’, sedangkan kehidupan
dahulu adalah ‘penyebab’. Tatanan sosial hari depan manusia adalah ‘akibat’
dari faktor–faktor ‘penyebab’ kehidupan hari ini. Dari pemikiran semacam ini,
maka bisa dikatakan bahwa masa depan umat manusia yang berbahagia bisa direncanakan
hari ini. Takdir sejarah bisa digiring.
LANJUTAN
LANJUTAN
0 wicara:
Posting Komentar