data-ad-format="auto"

DIALEKTIKA HUMANISME (MADZAB SEMOLOWARU) 37






Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya



Meskipun sampai hari ini ia tetap bertahan?
        Memang banyak pendapat para ahli yang mengatakan bahwa Kapitalisme tidak pernah mati. Oleh karena ia luwes mengikuti perkembangan jaman. Apa yang diramalkan Karl Marx bahwa pada suatu ketika masyarakat kapitalisme akan tumbang oleh perlawanan dari kaum proletar tidak pernah menjadi kenyataan, sebab kaum borjuis ternyata tidak selamanya berwatak menindas secara terang–terangan. Ini dibuktikan dengan kesejahteraan buruh yang diperhatikan, keselamatan kerja, dan tunjangan diberikan, bahkan buruh boleh ikut serta memiliki saham usaha.

Wah, benar juga dan masuk akal, cara mereka bertahan.
         Pendapat semacam itu kelihatannya benar dan masuk akal, yang sebenarnya di dalamnya mengandung kelemahan, karena pikiran semacam itu hanya melihat penindasan kapitalisme dengan cara parsial atau perbagian saja.
           Cara pandang yang benar sebaiknya menyeluruh, holistik. Bahwa memang benar kapitalisme di negara–negara maju tidak begitu menindas pada buruhnya. Dan perlu diingat, bahwa penindasan dan penjajahan tersebut sifatnya hanya beralih dimensi saja dan transfer atau ekspor penindasan dan penjajahan dari negara asal kepada negara–negara berkembang.
      Dewasa ini, disadari atau tidak, telah banyak terjadi pengkeranjang sampahan terhadap negara–negara ketiga (berkembang) yang dilakukan oleh negara–negara maju (asal kapitalisme itu datang). Di mana negara maju tersebut bersikap manis terhadap buruh negaranya, sementara penghisapan dialihkan pada buruh di negara keranjang sampah.
           Mereka cukup menanam modalnya saja kepada negara berkembang, dengan mendirikan industri di tempat negara ketiga itu, setelah mendapat untung atau laba, baru dibawa ke negara maju. Sebagai contoh nyata dari ini adalah bagaimana negara maju mengekspor dan menanamkan modalnya melalui program Revolusi Hijau. Revolusi Hijau ini awalnya diniatkan sebagai peningkatan produksi pangan bagi petani, sungguh niat yang mulia. Nyatanya dalam proses perkembangannya, program melalui Revolusi Hijau ini melahirkan problem yang saling terkait antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Konsep pembangunan pangan melalui Revolusi Hijau ini tidak dilihat dari segala aspek yang saling kait mengkait satu sama lain, yang melingkupi proses kelas yang berkolerasi dengan proses hegemoni kultural. Bagaimana ideologi patriarki dan paradigma positivistik yang menjadi dasar bagi tradisi liberal pembangunan membuat segala aspek hubungan ekonomi dan politik mempengaruhi kondisi perempuan, akibat upaya negatif dalam mempertahankan eksploitasi dan penindasan atas mereka. Program ini menguntungkan bagi pemodal yang menginginkan industri pertanian tergantung pada mereka, justru proses pemiskinan yang dependenlah yang dialami oleh petani. Hanya out put dari usaha yang dibawa pulang kembali ke negara maju. Sedangkan masalah polusi lingkungan, ongkos tenaga murah, trade off, serta eksternalitas yang ditimbulkan oleh pabrik, meliputi ongkos lingkungan, ongkos sosial, ongkos kebudayaan, ongkos psikologi masyarakat, dan sebagainya, dibebankan pada negara ketiga. Jadi posisi negara ketiga ibaratnya hanya dijadikan keranjang sampah saja. Ini belum berbicara industri sektor lain yang lebih parah, sebab masih banyak jenis industri lain yang daya rusaknya lebih tinggi dan lebih kejam.


Jadi, dari paparan anda, saya mengintepretasikan bahwa ada pengoperan perang antar kelas masyarakat.
       Anda bisa lihat bahwa pertentangan kelas ataupun penghisapan borjuis terhadap proletar tidak dapat diperdamaikan, malahan ditransfer ke negara yang terbelakang yang sedang haus pertumbuhan ekonomi dengan cara mengorbankan diri negara brekembang tersebut. Upaya pendamaian pertentangan kelas adalah upaya omong kosong belaka. 

LANJUTAN

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE