Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
Meskipun sampai hari ini ia tetap bertahan?
Memang banyak pendapat para ahli
yang mengatakan bahwa Kapitalisme tidak pernah mati. Oleh karena ia luwes
mengikuti perkembangan jaman. Apa yang diramalkan Karl Marx bahwa pada suatu
ketika masyarakat kapitalisme akan tumbang oleh perlawanan dari kaum proletar
tidak pernah menjadi kenyataan, sebab kaum borjuis ternyata tidak selamanya
berwatak menindas secara terang–terangan. Ini dibuktikan dengan kesejahteraan
buruh yang diperhatikan, keselamatan kerja, dan tunjangan diberikan, bahkan buruh
boleh ikut serta memiliki saham usaha.
Wah, benar juga dan masuk akal, cara mereka bertahan.
Pendapat semacam itu
kelihatannya benar dan masuk akal, yang sebenarnya di dalamnya mengandung
kelemahan, karena pikiran semacam itu hanya melihat penindasan kapitalisme
dengan cara parsial atau perbagian saja.
Cara pandang yang benar
sebaiknya menyeluruh, holistik. Bahwa memang benar kapitalisme di negara–negara maju tidak begitu menindas pada buruhnya. Dan perlu diingat, bahwa
penindasan dan penjajahan tersebut sifatnya hanya beralih dimensi saja dan
transfer atau ekspor penindasan dan penjajahan dari negara asal kepada negara–negara berkembang.
Dewasa ini, disadari atau tidak,
telah banyak terjadi pengkeranjang sampahan terhadap negara–negara ketiga
(berkembang) yang dilakukan oleh negara–negara maju (asal kapitalisme itu
datang). Di mana negara maju tersebut bersikap manis terhadap buruh negaranya,
sementara penghisapan dialihkan pada buruh di negara keranjang sampah.
Mereka cukup menanam modalnya
saja kepada negara berkembang, dengan mendirikan industri di tempat negara
ketiga itu, setelah mendapat untung atau laba, baru dibawa ke negara maju. Sebagai
contoh nyata dari ini adalah bagaimana negara maju mengekspor dan menanamkan
modalnya melalui program Revolusi Hijau. Revolusi Hijau ini awalnya diniatkan
sebagai peningkatan produksi pangan bagi petani, sungguh niat yang mulia.
Nyatanya dalam proses perkembangannya, program melalui Revolusi Hijau ini
melahirkan problem yang saling terkait antara persoalan eksploitasi, dominasi
dan penindasan politik. Konsep pembangunan pangan melalui Revolusi Hijau ini
tidak dilihat dari segala aspek yang saling kait mengkait satu sama lain, yang
melingkupi proses kelas yang berkolerasi dengan proses hegemoni kultural.
Bagaimana ideologi patriarki dan paradigma positivistik yang menjadi dasar bagi
tradisi liberal pembangunan membuat segala aspek hubungan ekonomi dan politik
mempengaruhi kondisi perempuan, akibat upaya negatif dalam mempertahankan
eksploitasi dan penindasan atas mereka. Program ini menguntungkan bagi pemodal
yang menginginkan industri pertanian tergantung pada mereka, justru proses
pemiskinan yang dependenlah yang
dialami oleh petani. Hanya out put dari usaha yang dibawa pulang kembali ke
negara maju. Sedangkan masalah polusi lingkungan, ongkos tenaga murah, trade
off, serta eksternalitas yang
ditimbulkan oleh pabrik, meliputi ongkos lingkungan, ongkos sosial, ongkos
kebudayaan, ongkos psikologi masyarakat, dan sebagainya, dibebankan pada negara
ketiga. Jadi posisi negara ketiga ibaratnya hanya dijadikan keranjang sampah
saja. Ini belum berbicara industri sektor lain yang lebih parah, sebab masih
banyak jenis industri lain yang daya rusaknya lebih tinggi dan lebih kejam.
LANJUTAN
Jadi, dari paparan anda, saya mengintepretasikan bahwa
ada pengoperan perang antar kelas masyarakat.
Anda bisa lihat bahwa
pertentangan kelas ataupun penghisapan borjuis terhadap proletar tidak dapat
diperdamaikan, malahan ditransfer ke negara yang terbelakang yang sedang haus
pertumbuhan ekonomi dengan cara mengorbankan diri negara brekembang tersebut.
Upaya pendamaian pertentangan kelas adalah upaya omong kosong belaka. LANJUTAN
0 wicara:
Posting Komentar