data-ad-format="auto"

DIALEKTIKA HUMANISME (MADZAB SEMOLOWARU) 31




Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya




Bagaimana kegagalan Ideologi Sosialisme–Komunisme tersebut terjadi?
       Rasa–rasanya untuk menjawab itu selama ini masih abstrak. Jawaban–jawaban yang sering diberikan untuk menjawab kegagalan Ideologi Sosialisme–Komunisme belum ada yang kongkrit. Padahal dalam prakteknya amat mudah.
       Jawaban ini mengacu pada teorinya Maslow, yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu bertingkat. Dan memanglah hakekat manusia adalah selalu menginginkan kebutuhannya terwujud dan untuk mewujudkan kebutuhannya itu manusia akan cenderung bekerja keras menumpahkan segala macam potensi yang ada dan dimiliki.
    Dari sinilah sebenarnya jiwa kewirausahaan, jiwa kewiraswastaan atau yang lazim disebut dengan Entrepreneurship itu lahir pada diri manusia. Atau kalau mau mengacu pada teorinya David Mc. Cleland yang mengatakan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk berprestasi, yakni yang Lazim sering disebut dengan An-ach.
         Dan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya jiwa kewirausahawan dan jiwa An-ach itu, tidak bisa lahir dari sebuah ideologi yang menuntut keseragaman produksi dan konsumsi secara formal oleh negara. Bahwa kondisi semacam itu baru bisa lahir dan berkembang tumbuh subur di suatu tempat dan waktu yang membebaskan manusia melakukan nafsu keinginan dan segala kebutuhan dengan mengoptimalkan segenap potensi yang ada.

Berikan saya ilustrasi yang mudah, misalnya gagalnya Soviet!
    Untuk memudahkan pemahaman tersebut maka sebuah ilustrasi akan kita ketengahkan di sini. Uni Soviet secara ekonomi mengalami kebangkrutan setelah 70 tahun berada dibawah pemerintahan yang berideologi Sosialisme–Komunisme. Terjadinya kebangkrutan itu dipicu oleh banyak sektor, dan di sini kita pakai satu contoh saja, yaitu sektor pertanian.
       Setiap hari warga negara (petani) di Uni Soviet pergi ke sawah dan ladangnya untuk mengolah tanah demi memproduksi pangan nasional. Dalam mengerjakan sawah ladangnya tersebut ternyata sebagian besar tidak dilakukan dengan sungguh–sungguh.
          Hari belum lagi sore, mereka sudah pada pulang ke rumah masing–masing meninggalkan traktor mereka di sawah ladang yang memberi kesan terbengkalai.

Kenapa demikian?
        Karena mereka semua berpikir, bahwa meskipun kerja secara sungguh–sungguh, toh hasilnya setelah panen nanti disetor secara tersentral atau kepada pusat, kendati setelah itu didistribusikan lagi pada warga negara secara antri.

LANJUTAN

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE