data-ad-format="auto"

DIALEKTIKA HUMANISME (Madzab SEMOLOWARU) 21





Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya




Apakah ini yang melanjut menjadi agama–agama bumi nantinya?
      Kurang lebih begitu, sebab mitologi–mitologi yang berkembang pada masyarakat di atas adalah hasil dari gerak manusia, alam dan masyarakat dalam merubah sejarah. Gerak–gerak kesemuanya itu tidak hanya berhenti sampai di situ, melainkan terus-menerus berproses, bergerak, bergesek, dari waktu ke waktu, sehingga dalam wujud baru akibat pertentangan ketiganya tersebut menghasilkan sesuatu wujud dalam bentuk baru. Ini tidak terkecuali mitos yang berkembang tadi.
        Mitos–mitos tentang adanya Sang Penunggu, Yang Bahureksa, Sang Penguasa, Sang Penjaga dan sebagainya ini mendapat perlakuan yang berlebihan dari manusia yang masih belum mampu mengatasi lingkungannya. Perlakuan tersebut dapat saja berupa upacara ritual sebagai wujud sakralisasi atasnya dengan harapan perlakuan tersebut akan mendapat imbalan–imbalan yang dikendaki mereka yang berupacara ritual itu. Imbalan yang dimaksud misalnya adalah dijauhkan dari mara bahaya, selalu mendapat kesehatan dan keselamatan hidup, umur panjang, cepat memperoleh jodoh dan yang terpenting agar panen tahun ini melimpah tidak dimakan hama seperti tahun–tahun kemarinnya.
          Demikianlah harapan dibangun dari upacara ke upacara, dari sesaji ke sesaji, dari larung ke larung secara terus-menerus oleh manusia yang mau memberikan perlakuan baik menurut nilai mitologi mereka. Sebaliknya bagi mereka manusia yang tidak memberikan perlakuan yang tidak baik menurut nilai mitologinya maka mereka akan menerima laknat, celaka, merabahnya dan yang terpenting di mata masyarakat namanya cacat tercela, bahkan mungkin dibuang dari kaumnya.
          Dari proses mitologi yang memetamorphose semacam itu terbangun harapan dan pahala pada kutub yang satu, serta terbangun di kutub yang lain yakni ketakutan dan dosa.
           Harapan, pahala di satu sisi dan ketakutan, dosa di sisi lain menjadi perangkat atau institusi nilai yang melembaga di tengah masyarakat. Apabila sikap seseorang sesuai dengan nilai–nilai yang membawa pada harapan dan pahala, maka ia akan hidup berbahagia di dunia dan masuk syurga setelah meninggal kelak. Demikian pula sebaliknya, bagi seseorang dengan sikap tidak sesuai dengan nilai–nilai yang membawa pada ketakutan dan dosa, maka sepanjang hidupnya akan menderita dan setelah meninggal mendapat siksa yang pedih di neraka.
        Sikap–sikap maupun perilaku–perilaku anggota masyarakat kemudian harus selalu disesuaikan dengan ajaran tentang kebaikan dan keburukan. Hidup manusia sehari–harinya wajib didasarkan pada pandangan hidup baru ini. Dalam cakupan luas, sikap perilaku dan cara berpikir yang didasarkan pada nilai–nilai yang sesuai dengan pandangan hidup baru mereka ini, membawa pada tata sosial baru. Terbentuklah Order atau tatanan harmoni pada masyarakat manusia ini.

Jadi kekuatan alam, yakni idea dan matter tidak terjawab oleh manusia. Kekuatan alam menjadikan manusia sebagai masyarakat yang bermitos, berkepercayaan?
        Mitos membawa pada harapan dan ketakutan. Harapan dan ketakutan melahirkan bentuk–bentuk ritualisasi dan sakralisasi oleh manusia. Perlakuan ritualisasi dan sakralisasi mewujudkan nilai. Nilai yang menginstitusi dan menginternalisasi pada setiap individu manusia ini akan menjadi harmoni yang dalam kelanjutannya dinamakan agama bumi.

LANJUTAN



0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE