data-ad-format="auto"

DIALEKTIKA HUMANISME (Madzab SEMOLOWARU) 20





Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya




Contoh kongkrit dan detailnya seperti apa?
           Dari proses sana tadi, akan membawa konsekuensi, yakni ketika alam menyediakan segala kebutuhan hidup manusia dengan melimpah ruah, maka manusia hanya berlaku menerima saja. Upaya-upaya yang dilakukan terhadap perjuangan mempertahankan hidup masih sangat kecil. Karena persediaan alam masih berlimpah sementara populasi manusia masih sedikit jumlahnya.
         Dengan situasi semacam itu, maka yang tercipta adalah masyarakat berbentuk komunal. Pada bentuk masyarakat semacam itu nilai–nilai yang lahir dan berkembang adalah kebersamaan, sama rata, sama rasa, gotong royong, saling memberi dan saling menerima. Konflik atas masyarakat dengan dasar kebutuhan hidup masih belum ada, atau kalau ada masih relatif sangat kecil.
        Konflik antar kelas dalam masyarakat baru ada ketika jumlah populasi menusia sudah mulai membesar, sementara alam tidak mampu menyediakan semua kebutuhan manusia.
            Kesimpulan dari semua paparan saya di atas adalah bahwa selain manusia berdialektika dengan alam, berdialektika dengan dirinya sendiri, juga berdialektika dengan masyarakatnya, proses ini berlangsung tak putus–putusnya bergerak maju saling mempengaruhi saling tergantung dan saling melengkapi.

Ya, saya paham sekarang, dari semua dialektika itulah lahir gerak sejarah dan berbagai kebudayaan manusia.
      Dalam proses kehidupan manusia setiap waktu selalu melakukan hubungan dengan alam lingkungannya. Hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan alamnya ini melahirkan pertentangan dalam diri manusia itu sendiri, pertentangan dengan alamnya dan pertentangan dengan manusia yang lain dalam masyarakat. Ketiga unsur yang saling berdialektika tersebut yang menjadi motor penggerak sejarah.
         Dari hubungan yang bertentangan itu kemudian lahir mitos, agama bumi, norma, nilai dan ilmu pengetahuan dan sebagainya. Pada terbentuknya mitos, misalnya. Dalam kemunculannya, mitos di tengah–tengah sejarah manusia ini terbentuk karena hubungan– hubungan yang dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya yang tidak sepenuhnya dipahami.
          Bahwasanya manusia pada jaman ontologi telah mencoba memahami alam lingkungannya. Sebab akibat, fenomena yang sedang terjadi berlangsung di tangah–tengah hidupnya. Seperti peristiwa meletusnya gunung berapi, banjir bandang, gempa bumi, dan sebagainya yang tidak dapat ditanggulangi, terlebih untuk dilawan oleh manusia. Ini membuat manusia paham bahwa ada sesuatu kekuatan di luar dirinya yang maha dahsyat dan tak mampu dikalahkannya. Pada saat itu pula manusia mencari jawaban–jawaban atas pertanyaan–pertanyaan terjadinya fenomena alam. Dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki manusia saat itu, ternyata manusia masih tidak beroleh jawaban atas semua pertanyaan kekuatan di luar dirinya itu.
         Dalam keadaan tidak menemukan jawaban atas semua fenomena alam ini, manusia sadar bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang tidak dapat dimengerti hal ihwalnya, sebab musabab terjadinya, terlebih berusaha menaklukkannya. Manusia pasrah, dan kepasrahan atas ketidakmampuan itu diwujudkan dengan cara mencari sandaran pada sesuatu. Dari sana kemudia tercipta bentuk perlindungan abstrak yang diciptakan sendiri oleh manusia ontologis ini. Penciptaan (konstruksi–konstruksi) manusia atas sesuatu yang abstrak dan berkekuatan “Maha Segalanya” inilah yang memusnahkan mitos. Sang mitos yang dapat dijadikan tempat sandaran, alamat berpaling di mana ketika manusia butuh perlindungan dan pertolongan atas sesuatu yang tidak mampu di kuasainya.
          Manifestasi atas konstruksi–konstruksi ‘Sang Maha’ tersebut ditempatkan pada berbagai wilayah–wilayah berkekuatan, seperti puncak bukit yang dikhawatirkan meletus, sungai–sungai yang ditakuti banjir bandangnya, lembah–lembah yang diyakini pembawa gempa, rimba belantara tempat bersemayamnya berbagai macam malapetaka, dari ganasnya hewan raksasa, racun bisa, belitan tumbuhan hidup, rawa–rawa penyedot dan sebagainya. Tempat–tempat semacam inilah kemudian diberi saji–sajian dengan prosesi upacara ritual dan berbagai simbolnya. Dari generasi ke generasi kebiasaan ini mendapat tempat di para pewaris tradisi. Dengan begitu mitos menjadi agama adalah sesuatu yang wajar. Ajaran–ajaran pada orang muda dan yang tua tentang siapa penunggu hutan ini, siapa Sang Bahureksa telaga itu, siapa penguasa lembah anu, dan sebagainya menjadi sesuatu yang lumrah sebagai ajaran dan dianggap kebenarannya dengan taklid yang membuta. Tidak ada pertanyaan di sana, karena kecerdasan masih kecil.

LANJUTAN


0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE