Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
FILSAFAT
APA LAGI
BAGIAN III
Tawaran anda begitu menarik dan maafkan saya, kalau belum menilai itu sebagai kebenaran. Ok... tak apa, itu tetap boleh. Katakan apa sebenarnya dasar teori anda?
Seperti yang anda lihat pada
komentar saya yang paling awal tadi, bahwa saya membuat hipothesis sebagai
termaksud, tidak terlepas dari dasar teori dan filsafat. Keberanian saya
membuat hipothesis yang barangkali dinilai oleh sebagian kalangan terlalu
gegabah tersebut bukan lahir tanpa dasar. Dalam hal hipothesis ini, saya sudah
lama melakukan perenungan tentang gerak masyarakat dengan hasil–hasilnya yang
sangat mengerikan bagi kemanusiaan tersebut. Dan hasil dari perenungan itu
adalah hipothesis yang anda dengarkan di awal tadi.
Di luar perenungan dan
pengamatan, saya juga melakukan pencerapan melalui referensi yang saya baca
dari berbagai macam teori kefilsafatan pada para pemikir pendahulu kita. Dan
nampaknya, saya merasakan ada hubungan ada hubungan yang cukup berarti antara
temuan para pemikir pendahulu tersebut dengan pengamatan dan permenungan saya
atas sejarah yang dibuat oleh gerak semesta beserta isinya ini.
Untuk mendukung permenungan saya
itulah, saya mendasarkan pada teori yang berangkat dari kefilsafatan. Seperti
filsafat “Pembebasan Manusia”. Filsafat dimaksudlah yang menjadi kerangka berpikir Madzab Surabaya itu.
Perlu anda tahu, bahwa pemikir
memiliki andil yang luar biasa besar terhadap apa yang sekarang terjadi dan
menimpa planet beserta isinya ini. Revolusi pemikiran baik itu fisika maupun
sosial, paradigma, filsafat dan berbagai penemuan tekonologi telah menjadi mega
variabel dalam rusaknya dunia.
Menurut anda apa pembebasan manusia itu?
Saya silap, pada awal
pembicaraan ini tadi, saya masih belum memaparkan tentang makna pembebasan
manusia yang dilihat dari dasar teorinya. Sekarang saya ingat, dan kebetulan,
teori–teori itu sengaja saya ambil dari induknya berbagai aliran filsafat yang pernah
ada sebagai pijakan berpikir.
Berbicara tentang pembebasan
manusia, maka kita juga harus berbicara tentang arti apa yang dimaksud dengan
pembebasan manusia tersebut. Kata yang lebih ditekankan di sana adalah
‘pembebasan’ yang dalam bahasa latin adalah emancipatus. Konsep emansipasi ini
jika dirunut sejarahnya teramat panjang. Yang pertama dapat diawali dari sejarah
romawi. Dalam sejarah Romawi kuno “Emansipasi” berarti perjuangan sosial kaum
budak dalam rangka mendapat kebebasan dari sang Tuan. Kemudian istilah ini
mengembara hingga di Perancis pada abad 17 dengan mengalami pergeseran makna,
yakni pengalihan kepemilikan. Pada abad ke 19 konsep emansipasi ini menjadi
mode di antara para pejuang yang menentang perbudakan ataupun penghisapan dari
satu kaum terhadap kaum yang lain.
Di Amerika sendiri pernah
terjadi perang saudara, yakni Amerika Utara melawan Amerika Selatan dalam
kaitan dengan masalah emansipasi perbudakan tersebut. Di kalangan Marxian kata
emansiapasi juga berkembang subur dengan tujuan pembebasan kelas proletar dari
ketertindasan kelas borjuasi.
Dalam hal ini, kata emansipasi
lebih saya artikan sebagai pembebasan. Pembebasan terhadap siapa? Terhadap
seluruh manusia. Dari siapa? Dari produk kreasi manusia atas alam lingkungannya
juga. Kalau dalam bahasa Inggris Gerakan Pembebasan Manusia bisa diistilahkan
dengan Human Liberation. Maksudnya
berarti adalah suatu upaya yang berkeinginan membebaskan manusia. Upaya
tersebut dapat kita namai dengan gerakan. Inilah gerakan dari hasil Madzab Surabaya.
Apa maksud gerakan pembebasan manusia itu dan mengapa
perlu gerakan?
Akan saya jelaskan satu persatu, gerakan
adalah suatu upaya yang membuat kondisi tidak tetap dan selalu mengalami
mobilitas, yaitu upaya merubah dari suatu keadaan tetap atau Status-Quo menuju
pada perubahan. Gerak bisa maju, bisa pula mundur. Gerak dapat perlahan–lahan
dapat pula kencang. Dengan demikian, dalam Gerakan Pembebasan Manusia ini dapat
dilakukan secara Evolusioner maupun Revolusioner. Tergantung sifat kebutuhan
waktu dan tempatnya.
Pembebasan ialah suatu upaya atau perjuangan yang membuat kondisi
tidak lagi terbelenggu atau terjajah. Dengan demikian, membuat kondisi dari
terjajah menjadi tidak terjajah, dan dari terbelenggu menjadi tidak
terbelenggu, disebut pembebasan.
Sedangkan kata Manusia, dilihat dari konteks Gerakan
Pembebasan Manusia, maksudnya adalah menunjuk pada individu setiap orang yang
bersifat pribadi dengan perlengkapan jiwa dan raganya, jasmani dan rohaninya,
fisik dan psikisnya. Manusia dengan segala tingkat kesadaran dan semua
keinginannya. Jadi, seperti yang pernah dikemukakan seorang pemikir yang saya
lupa siapa namanya, ia mengatakan, bukan manusia sebagai kumpulan orang yang
lepas dari subyek masing–masing dirinya. Sebab dalam manusia yang terdiri
dari kumpulan orang tersebut sifatnya hanya menunjuk pada obyek yang disamakan
dengan benda atau makhluk lain.
Dengan demikian, kalau kita
tarik dari paparan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa yang disebut
aktivitas, upaya, atau perjuangan baik secara evolusioner maupun secara
revolusioner yang bertujuan merubah kondisi manusia dari keterjajahan, baik
disadari, ataupun tidak disadari, untuk dibebaskan atau dimerdekakan, sehingga
manusia kembali pada harkat dan derajatnya sebagai manusia yang sesungguhnya.
Jadi, inti dari pikiran saya ini adalah manusia dan keterjajahanlah sebagai
obyek bahasan utama.
Seperti halnya pendapat para
filosof yang pernah saya baca dari novel filsafatnya Jostein Gaarder yang terkenal itu, dan
nantinya saya akan banyak mengutip panjang lebar buku itu, misalnya adalah
pendapat filosof Perancis Rene Descartes yang mendefinisikan aku sebagai suatu
‘substansi yang berfikir’.
Selain kelengkapan manusia tadi,
akan lebih baik kalau di sini di bahas pula manusia sebagai makhluk yang
mempunyai sejarah.
0 wicara:
Posting Komentar