Oleh Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
Mengapa manusia perlu dibebaskan dari penjajahan yang mengungkung dirinya?
Kata manusia bebas di sini berkaitan dengan perbuatan atau pilihan. Kedua hal itu tidaklah sepenuhnya sama, kecuali apabila setiap pilihan menyangkut suatu perbuatan.
Bebas tidak berarti berbuat atau mengadakan pilihan tanpa alasan–alasan atau keadaan–keadaan yang mendahuluinya, melainkan berdasarkan atas hal–hal tersebut.
Alasan–alasan atau keadaan–keadaan yang mendahului manusia dalam mengambil pilihan dan melakukan perbuatan berada pada lingkungan di luar dirinya. Lebih jelasnya adalah karena manusia pada dasarnya sebagai makhluk yang dilengkapi akal pikiran dan inderawi yang dapat melakukan pencerapan fenomena lingkungannya. Dan pada hakekatnya akal manusia itu bersih atau suci, maka adanya segala kebutuhan manusia adalah merupakan tuntutan referenasi yang didapatkan oleh akal setelah memperoleh informasi tentang keadaan dunia. Dari kondisi dunia inilah akhirnya akal memperoleh pengetahuan bahwa ada banyak hal yang dapat dijadikan sebagai tuntutan.
Jadi tuntutan timbul bukan karena kebutuhan hidup yang masuk akal, melainkan tuntutan muncul karena pengetahuan akan dunia yang beragam?
Tetapi sesuatu yang seharusnya tidak terlalu dituntut oleh manusia akhirnya menjadi sesuatu tuntutan, yang sifatnya pokok. Inilah keanehan kebutuhan manusia di tengah hidupnya. Dan pangkal dari penjajahan atas manusia adalah berangkat dari tuntutan diri setiap manusia sendiri yang ingin selalu dipuaskan. Celakanya tuntutan manusia itu ada yang sengaja diciptakan oleh orang–orang yang tidak berperikemanusiaan. Ekonomi bebas memupuk semangat menumpuk kapital. Kejayaan materi ini mensyaratkan industri, dengan memompa produksi sebesar– besarnya. Produk primer, sekunder, tersier, lux, hingga yang paling tidak dibutuhkan manusia diadakan. Over produksi meniscayakan adanya pasar. Mulai dari pasar kongkrit hingga pasar abstrak diciptakan. Upaya selalu dilakukan agar pasar selalu merasa tergantung oleh kebutuhan – kebutuhan yang notabene itu menipu, karena bukan merupakan kebutuhan yang sejatinya. Dengan demikian lahirlah konflik, sistem distribusi, pengisapan antar kelas, keterasingan dan sebagainya yang merupakan penyakit masyarakat manusia. Padahal akal dan jiwa manusia itu pada dasarnya bersih dan suci.
Jadi manusia terjajah akibat oleh dirinya sendiri!
Dengan mendasarkan pada pendapat David Hume, ya! Sebab pendapatnya pengertian manusia adalah aku sebagai kemampuan yang melakukan pencerapan. Kemudian yang pada akhirnya Hume menyimpulkan, bahwa apa yang dapat ditemukan hanyalah berkas–berkas hasil pencerapan dan sama sekali bukan aku. Mungkin sulit bagi orang untuk memahami bagaimana suatu berkas hasil pencerapan dapat dikatakan merupakan suatu aku yang melakukan pencerapan atau berpikir, dan sebagainya.
Sedangkan ‘diri’ tidak hanya mengandung makna suatu kemampuan yang melakukan pencerapan, berpikir, dan sebagainya, melainkan sesuatu atau satuan yang mempunyai kualitas yang khas. Pengertian tentang diri semacam ini dapat diterapi kualitas–kualitas seperti kejujuran, martabat, kejantanan dan sebagainya. Barangkali sinonim yang terdekat dengan pengertian tentang diri tersebut sebagai satuan yang didalamnya ialah sifat yang khas ini bertahan terhadap perubahan atau hanya berubah sedemikian rupa sehingga terdapat unsur kesinambungan yang memberikan makna kepada perubahan ini.
Baik Katsoff ataupun Hume pada prinsipnya berpendapat sama, yakni sama–sama hasil sejarah melalui serapan, juga sama– sama memiliki kualitas tertentu, ialah sisi kemanusiaan yang selalu dicoba pertahankan. Dari semua pernyataan tadi, jelaslah bahwa perlengkapan hakiki manusialah yang menjadikan manusia terkungkung keadaannya. Juga seperti yang saya katakan di atas, bahwa akal dan jiwa pada dasarnya bersih dan suci, sedangkan di luar itu manusia juga dilengkapi dengan raga dan inderawi yang kemampuannya tidak sebanding dengan akal dan jiwa. Ketidak seimbangan antara kemampuan akal dan inderawi inilah yang membuat manusia dalam kondisi tidak seimbang.
Inderawi atau perlengkapan ragawi dengan ketidakmampuannya mengimbangi kemampuan akal menjadikan inderawi dalam posisi yang ‘suka menipu akal’. Karena yang sebenarnya ditangkap inderawi itu tidaklah yang sejatinya. Yang tidak sebenarnya (sejati) inilah yang kemudian dikirim pada akal untuk dijadikan suatu kebenaran. Padahal itu kebenaran yang menipu. Sebagai contoh kecil, gambar yang bergerak di gedung bioskop pada faktanya tidaklah bergerak, sebab ia merupakan pergantian secara cepat atas gambar–gambar mandiri yang tidak bergerak. Oleh sebab kemampuan inderawi mata terbatas dan tidak dapat menyamai kecepatan pergantian gambar, maka fenomena semacam ini ditangkap sebagai suatu gambar utuh yang bergerak dan hidup. Fenomena yang sejatinya menipu ini lantas dikirim ke akal dan dikatakan sebagai gambar yang bergerak. Akal menerima informasi ini apa adanya. Kemudian tuntutan dan kebutuhan manusia akan bioskop timbul di sana.
Jadi kesimpulan dari pembahasan di atas adalah, bahwa informasi dunia sebagai pemimpin atas kebutuhan dan tuntutan manusia bagi dirinya. Ini yang disebut dalam kondisi terjajah, yakni terjajah oleh nafsu tuntutannya sendiri. Padahal ketidak terjajahan adalah tuntutan yang didasarkan pada kebutuhan hidup manusia yang masuk akal. Artinya tuntutan yang tidak didasarkan atas informasi dunia yang diberikan oleh inderawi dan bersifat menipu akal.
Dengan demikian, wajar jika pembebasan atas manusia dari keterjajahan ini perlu dilaksanakan oleh setiap insan yang ingin menjadi manusia tidak terjajah alias manusia bebas merdeka.
0 wicara:
Posting Komentar