data-ad-format="auto"

Batu Akik Menjadi Fenomena Sosial di kalangan Masyarakat

Oleh Fauzi Priyantoro




Fenomena batu akik adalah contoh sebuah euforia di mana kita terbawa arus membeli sesuatu secara berjamaah yang sering kali kadang tidak rasional. Sepertinya selain gemar menonton drama haru biru dalam sinetron, orang Indonesia ternyata juga gemar mengonsumsi mitos atau hal-hal yang berbau tidak rasional. Fenomena yang terjadi hari ini masyarakat mulai dari gemar burung,ayam,bunga sampai ke batu akik atau batu mulia.
Satu setengah tahun terakhir ini, jagat tanah air dikejutkan dengan fenomena batu akik yang melesat cepat. Tahun lalu, salah satu kata kunci yang PALING banyak dicari di Google adalah kata “batu akik”. Hebat bukan? Delapan tahun lalu kita juga pernah menikmati kehebohan yang mirip, dengan judul bunga gelombang cinta. Sepotong gelombang cinta yang amat menggetarkan, sehingga bisa terjual dengan harga Rp 15 juta per pohon.
Para pakar ilmu financial psychology menyebut fenomena itu sebagai “financial mania”. Sekeping fenomena yang bisa membuat kita semua tenggelam dalam “kegoblokan kolekfif”.
Mari kita selami perilaku irasional ini dengan secangkir cappucino hangat. Sejatinya, fenomena financial mania ini sudah berusia ratusan tahun, terjadi di semua negara dunia. Dulu ada kehebohan tulip mania di Belanda (terjadi sekitar 400 tahun silam). Lalu, yang lebih modern ada yang disebut dengan technology stocks mania di berbagai bursa saham dunia pada tahun 2000an. Pernah juga terjadi property mania di USA sebelum mereka crash pada tahun 2008.
Para ahli ilmu financial psychology atau financial behavior menyebut fenomena financial mania itu dengan istilah “irrational exuberance”.
Irrational exuberance adalah saat ribuan atau bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli sesuatu karena dorongan emosi kolektif. Yang acap tidak rasional. Eforia masal kadang membentuk kegilaan. Saat eforia yang bercampur kegilaan ini meledak, maka harga produk yang dibeli – entah saham, bunga gelombang cinta atau batu akik – bisa melesat puluhan atau bahkan ratusan kali lipat.
Kenapa irrational exuberance mudah terjadi? Karena manusia itu pada dasarnya amat mudah untuk latah. Mudah meniru perilaku kerumunan. Herd behavior. Saat demam kebun emas, semua ikut-ikutan. Saat demam batu akik, semua menyerbu. Saat demam saham teknologi, semua latah. Ini semua adalah contoh tipikal perilaku kerumunan, herd behavior. Pelan-pelan, eforia masal itu biasanya menjadi bubble yang kemudian pecah. Gelombang kegilaan kolektif itu mendadak meletus, dan seketika semua harga berjatuhan. Irrational exuberance berubah menjadi tangisan masal yang sudah terlambat.
Fenomena financial mania itu adalah contoh nyata dari premis dasar ilmu financial psychology: bahwa manusia itu sering bersikap tidak rasional. Premis ilmu psikologi keuangan itu mau membantah teori ekonomi klasik yang sangat percaya dengan rasionalitas manusia. Ekonom-ekonom klasik selalu mengandalkan asumsi bahwa manusia itu selalu bersikap rasional dalam financial/economi decision making. Namun para ahli psikologi keuangan (financial behavior) menulis : kepercayaan bahwa manusia itu rasional dalam financial/ecnomic decision making adalah ilusi.
Btw, ilmu financial psychology atau sering disebut juga behavioral economics baru muncul di era tahun 80-an. Pioner ilmu financial psychology adalah Daniel Kahneman, psikolog pertama dan satu-satunya yang pernah memenangkan hadiah nobel ekonomi pada tahun 2002.
Apa pelajaran dari batu akik mania atau financial mania ini? Hati-hati dengan bahaya laten irasionalitas yang mengendap dalam jiwa kita.
Sebegitu konsistennya manusia melakukan hal-hal yang irasional, Daniel Ariely sampai menulis buku berjudul Predictably Irrational (sebuah buku yang amat memukau tentang ilmu psikologi keuangan). Fenomena batu akik atau gelombang cinta atau kebun emas juga memberi pesan : betapa mudahnya kita tergelincir dalam herding behavior, perilaku kerumunan yang suka latah. Emosi dan eforia masal membuat kita semua mudah terjebak dalam “irrational exuberance”. Ramai-ramai menjadi goblok. Kegoblokan kolektif. Saat kita dihadapkan pada fenomena orang yang ramai berbondong-bondong memburu sesuatu, kita mesti sadar mungkin ada benih irasionalitas disana. Sebab perilaku yang dilakukan orang kebanyakan bukan berarti yang paling benar. Jangan-jangan mereka sedang beramai-ramai menuju kegoblokan massal.
Contoh, fenomena batu akik
Virus batu akik kini menyebar bagaikan “flu burung” yang cepat menular kemana saja. Menteri, eksekutif, dosen, supir, bahkan mahasiswa. Desas-desusnya sih batu itu punya daya magis besar.Let’s say, mengundang rezeki, menambah kharisma dan mengubah nasib. Bahkan mereka (re: para pemburu batu akik) rela merogoh kocek cukup dalam untuk mendapatkan corak dan ragam yang langka, seperti corak macan dan api. Coba aja ketikkan “batu akik” di Google, berbagai artikel terkait fenomena ini kebanyakan gak masuk akal. Ada orang yang bisa menawar satu cincin batu akik sampai 5 miliar, hanya karena motifnya mirip Nyi Roro Kidul! Penjualnya sih ngakunya, ini motif asli dari alam, ga dilukis ataupun dipahat oleh si yang punya batu.
Jangan Asal Nurut Orang tua
Kalau kata psikologi keuangan, fenomena batu akik ini biasa disebut dengan “ekonomi gelembung” yang artinya suatu gejala ketika kita semua tenggelam dalam antusiasme yang lebay atau Irrational Exuberance. Analoginya kayak balon yang terisi udara yang makin lama makin membesar kemudian pecah dan tidak berisi apa-apa, kosong.
Irrational exuberance ini menurut Robert Shiller, salah seorang Profesor di Yale University, adalah sebuah euforia di mana kita terbawa arus membeli sesuatu secara berjamaah yang sering kali… tidak rasional.
Semua Kembali ke Pola Pikir
Lalu apa sumber permasalahan dari “ketidakrasionalan” ini? Ya balik lagi, akar masalahnya terletak pada masih kurang kritisnya pola pikir kita terhadap informasi yang kita terima, tanpa menguji kebenarannya.
Kenapa kita harus berpikir kritis? Jawabannya adalah untuk membebaskan kita dari mitos yang mengekang cara berpikir kita. Kenapa kita harus terbebas? Ya biar ga mudah dimanipulasi oleh rumor, ga mudah terpancing emosi, percaya takhayul, terbawa arus dan dogmatik.
Mungkin banyak yang berpikir, ya udah sih, itu kan orang-orang kurang berpendidikan dan ndeso aja yang percaya begituan. Nyatanya, yang termakan kehebatan batu akik ini beraneka ragam mulai dari mahasiswa sampai polisi!
Anak Bangsa Jadi Tukang di Negeri Orang, Kenapa Bangga?
Lalu, apa berpikir kritis itu seperti anugerah yang turun dari Tuhan kepada aktivis, politikus atau tukang debat? Terus buat kita yang bukan aktivis, politikus, atau tukang debat mesti ngebiarin diri terjebak dalam irasionalitas yang berjamaah ini?
Kebanyakan mikir banget, ya. Padahal, yang penting agar bisa berpikir kritis, hanyalah: harus kepo! Dan bukan cuman ngepoin sebatas gejala-gejala yang timbul di permukaan aja, tapi harus mendalam dan luas. Ya contohnya, ga puas hanya dengan penjelasan bahwa batu akik punya kekuatan magis karena datang dari alam, dan lain-lain, tapi menggali lebih dalam dengan terus bertanya kenapaIt’s not about being satisfied, it’s all about “staying hungry, staying foolish”.
Kesimpulannya, kalau kita manut-manut aja sama semua sumber informasi tanpa mengkritisinya, kita semua akan menganggap informasi tersebut itu benar adanya. Ya contohnya kayak batu akik yang bisa bawa bejo. Jangan langsung pikir, kalau kamulah yang menjadi nada sumbang karena nggak mengikuti perspektif (juga perilaku) mainstream, tetapi mereka yang berbondong-bondong menuju kebodohan masal.
Ngomong-ngomong, tetep jadi mau beli batu akik?

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE