Achluddin Ibnu Rochim
Tahukah anda dengan guyonan 4B?
4 B terdiri dari huruf BBBB. Istilah ini sering dipakai oleh para aktivis di seputar Tahun 80 an.
Sebuah terminologi yang dipungut dari neraka 'Orde Baru' oleh para pemberani
Dan para pemberani itu adalah mereka.
Para demonstran yang menyadari resiko gerakan.
Ya resiko sekaligus kengerian 4B: Buru, Bui, Buang, Bunuh!
Anehnya, meski hanya dengan nyawa yang selembar itu, nampaknya 'takut' tak pernah menjenguk mereka, juga rasa was-was seolah memusuhi mereka. Di kamus mereka tak ditemukan istilah mundur, yang ada hanyalah maju dan maju, terus dan terus. Sebagaimana juga kawan muda yang satu ini.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan kawan kita ini. Bahkan dia teramat biasa untuk ukuran mahasiswa.
Perawakannya biasa saja dengan kaca mata mungil, khas seorang pemikir. Orang tidak bakal menyangka bahwa di balik tubuhnya yang kurus kerempeng itu tersimpan energi besar. Nyala juang super tinggi, juga nyali yang berlipat ganda.
Sebut saja namanya Herman Hendrawan. Salah seorang aktivis yang bermental baja dan tak kenal lelah.
Masih segar dalam ingatan ini, bagaimana dia mendebat saya sepanjang siang hingga petang, dalam sebuah diskusi rutin "Hidoep Baroe" 1996. Berjam-jam ia bertahan pendapat ketika saya utarakan logika pembangunan Orde Baru yang berangkat dari formula Trilogi: Stabilitas Nasional, Pertumbuhan ekonomi, dan Pemerataan.
Dengan garang ia patahkan ke tiga argumen saya di sore yang capek itu.
Setelahnya kamipun pulang. Kemudian kami berpisah lama. Hingga pada suatu malam di sebuah pentas baca puisi di Dewan Kesenian Surabaya kami berjumpa lagi. Tapi nampaknya malam itu merupakan pertemuan terakhir kami. Sebab usai pertunjukan itu saya tak pernah lagi bersua dengannya hingga sebuah surat kabar mewartakan hilangnya sebelas aktivis. Salah satunya adalah dia!
Hingga kini kawan diskusi itu tak pernah kembali.
Barangkali itulah ongkos yang harus dibayar untuk sebuah perubahan Indonesia menuju pada sebuah negeri yang lebih baik. Negeri yang tidak dikendalikan tirani. Sebuah cita-cita memang mahal tebusannya. Dan revolusi, biasanya, selalu memakan anak kandungnya sendiri. Tapi layakkah seorang pemberani mati di tangan ibu pertiwi sendiri? Atau barangkali bukan itu yang sebenarnya terjadi, tapi hanya segelintir oligarki yang tak sudi direcoki.
Di masa ketika bertanya dianggap tabu dan berbeda pendapat dikategorikan dosa. Maka melawan berarti makar, anti negeri. Anak bangsa bisa juga binasa, karena suara tak sama dengan penguasa. Pada saat begini sebait sajak harus berubah menjadi semacam pekik "merdeka!" kendati harus menghadap moncong senjata.
Sebut saja namanya Herman Hendrawan. Dan kami menyadari resiko gerakan kami 4B: Buru, Bui, Buang, Bunuh!
Tapi kami tak pernah sendiri. Bagi mereka yang pergi tak kembali, ingatlah kami selalu peduli. Kendati dalam Tahlil sunyi..
0 wicara:
Posting Komentar