Achluddin Ibnu Rochim
Sebuah gerakan massif ternyata bisa dimulai dari tempat kost. Atau lebih tepatnya, sebelah kamar kost saya dulu!
Namanya Ferry Panese. Mahasiswa Hukum pindahan dari entah mana. Kabarnya, tak seorangpun mahasiswa tahu dari mana asal usul sebenarnya dia. Mahasiswa ini kocak, konyol, ngocol. pendek kata serba menyenangkan. Sekali tempo, ia juga bisa serius. Bahkan seringkali dia mampu memecahkan persoalan di antara kawan-kawan mahasiswa lain.
Tidak mengherankan jika kemudian, ia begitu cepat populer di kampus. Ia berteman dengan banyak kalangan di kampus. Terutama kelompok-kelompok mahasiswa mahasiswi Jet set, high class. Pada tahun-tahun itu, sekitar 1980-an, kampus masih beraroma hedonisme, snob,nge pop, glamour, dan easy going. Jadi, klop lah semua!
Tapi, di balik kehidupan dan pergaulannya yang serba hingar bingar itu, siapa nyana, bahwa dia ternyata memiliki masa lalu yang heroik dramatis. Bagaimana tidak, sebab belakang hari akhirnya aku tahu dia adalah alumni dari "kekerasan aparat", Hauer Koneng, Rancamaya, Jati Wangi, Kedung Ombo, dan Nipah, untuk sekadar menyebut kasus-kasus yang di dalamnya ia pernah terlibat. Dan lari terbirit-birit hingga Surabaya.
Misteri mengenianya tersibak olehku secara tidak sengaja, sebab ia tinggal di kamar kost sebelahku. Ini bermula dari tugas salah satu mata kuliah yang harus aku selesaikan. Secara iseng aku main ke kamarnya untuk pinjam literatur buat tuntaskan tugas kuliah tadi. Dari sinilah terbuka mataku, bahwa dia ternyata bukan seorang hedonis, tapi justeru seorang kutu buku dengan berbagai judul literatur yang menurut jaman itu "sangat seram".
"Nah, kalau yang di rak sebelah pojok sana itu, Din. Itu semua karangan Tan Malaka. Ambil saja! kapanpun kamu boleh baca baca! Sering-seringlah main di kamarku!" ujarnya ramah. Lanjutnya kemudian "Nah.. kalau yang di dalam kardus itu, buku buku yang dilarang oleh pemerintah. Boleh juga kamu baca. Bawa saja! Baca di kamarmu!"
Aku hanya bisa menganga. Ternyata di kamar kost sebelahku terdapat ekstrim kiri. Waktu itu negara sering membuat stigma ekstrim kiri, ekstrim kanan, anti pembangunan, anti pancasila, dan sebagainya.
Hari berganti, minggu berlalu, bulan berjalan, aku tenggelam dalam referensi yang aku peroleh darinya. Semakin lama semakin timbul pikiran kritis terhadap apa yang sedang terjadi di Indonesia. Hingga, suatu sore, seorang kawan datang menjemputku, sebut saja namanya Indra. Kawan ini jemput aku dalam rangka pembuatan naskah drama rakyat untuk SCTV yang kami namai Low Drug Campus!
Pucuk dicinta ulampun tiba, pada saat Indra menungguku karena aku harus mandi terlebih dahulu, Indra ditemani oleh dia. Aku tidak tahu selama kutinggalkan itu apa yang mereka bicarakan, atau berdiskusi tentang apa saja, yang jelas setelah pertemuan itu, Indra sering berdialog dengannya.
Dan tak perlu waktu setahun, terjadi perubahan yang sangat drastis pada diri Indra. Seorang mahasiswa yang tadinya biasa-biasa saja, normal-normal saja, sekarang tiba-tiba menjadi begitu kritis.
Sebentar-sebentar diskusi, ke sana kemari diskusi, "pencerahan kawan. kesadaran ini harus kita transformasikan kepada rakyat yang belum tersadarkan!" ujarnya suatu ketika dengan semangat. "karenanya diskusi menjadi sarana yang penting!".
Jaman itu belum ada orang berani 'ngrasani' negara sebab resikonya akan dianggap makar. Tapi mahasiswa kritis di kampus-kampus sudah mulai berani membicarakan kerusakan sistem pemerintahan, sistem politik, dan tata negara yang ada.
Diskusi, juga penerbitan ilegal inilah yang dikemudian hari berhasil mengkader banyak aktivis yang militan, progresif, radikal, dan revolusioner.
Sehingga pada tahun-tahun berikutnya kita tidak pernah kekurangan massa aktif yang telah tersadarkan sebagai manusia merdeka untuk bersuara kritis dan turun ke jalan menyingsing lengan seraya mengepalkan tangan kuat-kuat.
Sebuah gerakan massif yang dimulai dari sebelah kamar kot ku!
0 wicara:
Posting Komentar