Achluddin Ibnu Rochim
"Pajak adalah ongkos perdaban" kata kata ini sudah tua usianya. Di suarakan oleh seorang Hakim Agung di Amerika serikat sana. Tapi di Indonesia, nampaknya, kalimat tersebut selalu muda, dan tidak pernah mati. Betapa tidak, pajak telah menjadi top news belakangan ini.
Bukan karena ia menarik, bahkan mendengar kata pajak saja, perut kita kontan mual.
etapi negara mana yang bisa gagah berdiri tanpa pajak? untuk bisa miliki jalan, jembatan, sarana prasarana umum, dari mana semua itu biayai? kalau bukan pajak. Siapa juga yang membayari para administratur kita? sementara Negara tak bisa jalan tanpa birokrasi. Dan kesemuanya ada tarifnya.
Jadi Negara harus menjadi tax collector.
Semua harus dipalaki tanpa pandang bulu. Pegawai sekalipun. Dari sini, pajak menjadi aneh! dia dipungut untuk membayar gaji, tapi setelah gaji pegawai dibayarkan ia juga dipungut pajak penghasilan. Dari pajak dipajaki.
Siapa yang menanggung semua pajak itu, tentu saja warga negara. Ia dihimpun, dari berbagai sektor kehidupan. Jika perlu doktrin dikembangkan: "orang bijak, taat pajak". Dan setelah itu rakyat secara massal mengangguk, sebagian dengan mantap, tapi sebagian dengan ragu.
Salahkah yang mengangguk dengan ragu itu? Tidak! mengingat apa yang terjadi selesai uang dimobilisir. Ke mana? untuk apa? pada siapa? Pertanyaan-pertanyaan ini tanpa dikomando nongol begitu saja.
Siapa yang tidak sakit hati, jika dana yang diserahkan itu tiba-tiba tidak sampai pada sasaran? Siapa yang tidak meradang jika sebagian pendapatan kemudian diparkir di Bank-Bank luar negeri, atau menjadi tas kulit Italy, Baju dari Paris, dan bahkan berputar-putar di Pattaya? di tempat-tempat pijat ataupun prostitusi?
Di Indonesia peluang semacam ini sangat besar terjadi mengingat apa yang barusan terungkap akhir-akhir ini.
Makelar pajak! tiba-tiba menjadi trend di mana-mana. Kontribusi rakyat buat negara yang telah membesarkan dan menghidupi ditelikung secara serampangan dan tanpa merasa berdosa.
Kemeriahan kasus Gayus, adalah puncak kecil dari gunung di tengah samudera. Tuduhan ini secara tidak langsung mengarah ke kalimat berikut: “Apa semua orang di Dirjen Pajak adalah sama kelakukannya dengan Gayus?" Ataukah cuma Gayus seorang yang berperilaku seperti itu?”
Oknum! kata halusnya. Tapi ini masih bisa didebat juga: Oknum kok setiap tahun selalu ada, kalau hanya satu di antara sekian pegawai itu oknum, tapi jika sebagian besar adalah oknum, lantas apa itu namanya?
Jika seorang Gayus yang hanya seorang pegawai biasa di Dirjen Pajak dan gajinya “sudah” Rp 12,1 Juta, tetapi masih juga berperilaku memperkecil setoran pajak warga negara maka tidak salah mengapa sebagian rakyat mengangguk dengan ragu atas kalimat "Pajak adalah ongkos peradaban"
Tapi bagaimanapun juga pajak memang harus tetap dibayar sebab: "orang bijak taat pajak" terlanjur mendogma, karena kalau tidak, maka anda disama dengankan: ANTI PEMBANGUNAN dan itu sama dengan Makar secara pasif!
Dan hukumannya lebih berat ketimbang tukang palak pajak!
0 wicara:
Posting Komentar