data-ad-format="auto"

MENGAPA SANG JENDERAL TURUN?

Achluddin Ibnu Rochim
“Ekonomi Indonesia bisa diremote”. Kesimpulan ini aku peroleh pada tahun 1997 menjelang akhir. Awalnya aku tak percaya. Mana mungkin ekonomi suatu bangsa dapat dibalik begitu saja. Tapi kemudian, aku salah. Tahun 1998 Ekonomi Indonesia kolaps! Dan symbol Orde Baru turun dari tahta. Presiden tumbang. 

Soeharto mungkin tidak pernah mengira, bahwa dia yang terpilih secara mutlak di senayan itu bakal lengser dari kekuasaan. Di siang 20 Mei yang pengab itu. 
Sebagian besar menyangka: ini keberhasilan perjuangan mahasiswa. Tapi, menurutku itu salah besar. Sebab factor penyebab kejatuhan Rezim monolitik itu tidaklah tunggal. 
Faktor paling dominan adalah krisis yang berjalan merangkak. Mulai dari krisis sembako, krisis moneter, krisis ekonomi, dan berpuncak ke krisis politik. 

Bagaimana menjelaskan semua ini? Kronologi apa yang sesungguhnya terjadi? 
Jauh sebelum itu, pada suatu petang, seorang tokoh militer di Surabaya mengajak saya dan beberapa kawan untuk bertemu dengan Panglima Daerah. Sebelum bertemu, tokoh ini bicara ngalor ngidul tentang bagaimana menyelamatkan Republik ini dari kekuasaan yang tidak demokratis. Tapi apa daya kekuasaan ini begitu kuatnya bercokol. Satu-satunya jalan untuk mengurangi kekuasaan itu hanya dengan menciptakan keguncangan ekonomi. 
“Kita tunggu saja, Dik! Sebentar lagi akan terjadi kelangkaan sembako.” Ujarnya datar tanpa ekspresi. 

Beberapa minggu setelah ucapannya itu pada kami, terjadilah krisis sembako. 
Sejak itu eskalasi kebangkrutan ekonomi Indonesia pun dimulai. Merangkak pelan, menggilas struktur ekonomi nasional yang konon sudah konglomerasi itu. 

Nampaknya setiap rezim miliki Brutusnya sendiri. Jika bisa bicara, Orde Baru akan berteriak, “Apa dosa besar kami? Hingga ini berakhir?” tapi suara itu sia-sia, tak seorangpun menjawab. Sebab bagi sebagian besar orang kritis atau mereka yang pernah kehilangan hidup sebagai manusia, menganggap sang despot ini sudah terlampau banyak dosa untuk disebutkan satu persatu. 

Jawaban enggan diberikan. Hanya analisis yang ada. Dan kita masih ingat bagaimana George Soros menendang mata uang Bath di Thailand sehingga ber efek domino sampai pada terbabatnya mata uang rupiah. 

Bagi Barat, Orde Baru kelewat mbangkang dengan kebijakannya yang berani membubarkan IGGI dan menggantinya dengan CGI. Setelah itu Embargo pesawat F-16 yang tak dihiraukan dan dengan gaya mengejek menggantinya dengan pesawat Shukoi. 

Bisa dimengerti jika setelah itu Barat lebih meradang lagi, ketika posisi investasinya di Indonesia terancam oleh pengusaha nasional berupa konglomerat yang dengan sengaja dibangun oleh kekuasaan dengan berbagai prevelese. Ini sama saja dengan rencana menggusur investasi asing dari Indonesia dan menggantinya dengan konglomerat local. Tentu saja ini tidak bisa dibiarkan. Dan semua tahu, akhirnya Barat bertindak! 
Mahasiswa bergerak. Tentara menunggu aba aba suara mayoritas. Pengusaha berandil, Politisi berkonsolidasi jejaring. Rakyat menunggu dengan harap harap cemas: apa yang bakal berlangsung saat itu? 
Kemudian inilah yang terjadi: Ekonomi Indonesia ambruk. Diikuti Kekuasaan yang tergelentang! 
Semua bertepuk tangan riang, hanya seorang mantan Jenderal Besar yang duduk termangu dikursi tuanya. Di luar Cendana, malam semakin jauh!

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE