Achluddin Ibnu Rochim
Pada sebuah sore, di hari sabtu. Ya, sabtu. Aku masih ingat, karena malamnya, setelah pertemuan mencekam itu, kami nonton midnite di Mitra 21 cineplex.
Hampir seluruh durasi film yang diputar, tak mampu kupahami, apa isinya. Pada layar bioskup bukan gambar menurut jalan cerita yang aku saksikan, tapi justeru bayangan wajah seorang jenderal yang kami temui petang tadinya.
Wajah yang letih. Capek dengan Surabaya yang koyak oleh unjuk rasa, tak segera reda.
"Selamat sore adik-adik!" Sambutnya lelah masih ditutup tutupi dengan optimisme yang pura-pura.
Ada satu kelebihan Jenderal ini yang tak kujumpai pada pejabat militer lain.
Ia ahli diplomasi. Lawan bicara akan sulit berkata tidak pada perwira satu ini. Bahkan ia lebih layak disebut Negosiator ulung.
Masih terngiang ucapanya sore itu, kata-kata yang sangat menggoda idealisme. Tawaran agar kami punya kejelasan nasib. Tawaran agar kami tak lagi menggelandang atau setidaknya, menjadi seseorang yang tidak ia kehendaki: menjadi demonstran.
Siapa tak tergiur jika terbuka kesempatan peroleh pendidikan. Peningkatan jenjang adalah impian setiap mahasiswa. Kami juga tidak suka dengan ilmu yang pas pasan.
Tapi bukan itu tujuan kami bicara. Sebab ada yang lebih penting daripada nasib kami. Kelangsungan bangsa adalah prioritas. Tapi kepentingan nasional ini akan sulit terwujud jika Dwi Fungsi ABRI tak dicabut! Ke sanalah sesungguhnya tema sentral kami petang itu.
"Jadi dwi fungsi ABRI yang adik tuntut agar dicabut itu tidak seperti yang adik-adik mahasiswa pikirkan." Jenderal itu berargumen berusaha meyakinkan kami.
Kami diam menanti kelanjutan jalan pikiran jenderal ini. Dan benarlah dugaanku dia akhirnya ngomong panjang lebar petang itu. Waktupun berjalan merangkak mencapai malam. Kami bicara banyak hal mengenai nasib bangsa ke depan dalam suasana serius. Seluruh materi percakapan kami dicatat dengan cermat oleh seorang perwira yang selalu mendampinginya. Belakang hari aku tahu wajahnya ada di TV, orang ini menjadi Kapuspen ABRI. "Negara ini masih butuh dikawal oleh ABRI termasuk dari sisi sospol" Jenderal itu menandaskan pada kami.
Nampaknya tentara tak mau kompromi untuk yang satu ini. Tapi di luar yang satu itu, terdapat banyak kesepakatan yang kami capai. Di antaranya: kami bebas demonstrasi dengan syarat, tetap digelar dalam kampus; dan kami sepakat mau unjuk rasa tidak keluar pagar kampus tapi dengan syarat, tidak ada lagi yang kena kekerasan, penahanan, dan penculikan; Kemudian selama masa krisis, keamanan dari infiltran, provokasi, kerusuhan merupakan tanggung jawab mahasiswa dan tentara.
Jujur saja, aku lega dengan hasil pembicaraan sepanjang petang hingga tengah malam itu, meski tentara tak bergeming dari posisi peran sospolnya. Mengapa? Karena kami tak kan tahan bicara berlama-lama dengan negosiator itu. Kami takut akan menjadi seorang yang bukan kami. Syukur kami tidak sampai menggadaikan idealisme diri, kendati sebelumnya sempat diiming-iming dengan perbaikan nasib. Aku dengan beasiswa bisa lanjutkan ke S3, sedang Indra, kawanku (karena kami memang hanya berdua, kawan yang lain pada bezuk di Rumah Sakit, beberapa terluka terkena gebuk tentara) juga dengan beasiswa bisa lanjutkan ke S2. Begitu selesai study bisa masuk menjadi Milsuk, dan diperkerjakan menjadi staff ahli di ABRI. Hemm, sungguh tawaran yang sangat menggiurkan, sulit ditolak. Tapi, kami masih miliki idealisme. Masih ingat dengan kawan kawan di belakang yang kami wakili. Perjuangan masih panjang. Dan Janji pada negeri terlanjur kita patri. Maka kalimat jawaban untuk semua tawaran sang negosiator itu adalah: Tidak Jenderal!
Dan saya kira kami masih miliki harga diri yang akan kami bawa sampai mati. Toh memang hanya itu yang kami miliki buat bangsa ini, setidaknya kami masih duduk dengan bangga di kursi bioskup hingga pertunjukan usai!
0 wicara:
Posting Komentar