data-ad-format="auto"

ETIKA PROTESTAN DAN CHINA

Achluddin Ibnu Rochim
"Hati yang jujur, kesungguhan untuk bekerja sebaik mungkin", sebuah nilai yang diwariskan dari Reformed theology.
'Do everything the best, do everything to please God, do everything before His eyes'.
ggunakan otak sesetia mungkin, menggunakan talenta sesetia mungkin, menggunakan bakat, menggunakan sumber alam, menggunakan uang sesetia mungkin. Nilai ini yang dipungut oleh Max Weber, sehingga Protestan memompa pertumbuhan 'bocah' yang bernama ' kapitalisme'.
Memang, Kapitalisme sendiri telah ada jauh sebelum Protestan. Namun, sumbangan besar Protestan yang mengusung Calvinisme merupakan darah segar tentang bagaimana seharusnya menjadi manusia dengan tanggung jawab besar dalam penggunaan 'given' yang Tuhan tanam di hati, pengelolaan atas hadiah yang Tuhan telah letakkan pada alam agar menjadi kebahagiaan manusia itu sendiri. Endingnya, setelah beratus-ratus tahun, lantas dunia terbelah jadi dua kutub besar negara: consumptive nations dan productive nations.
1965, Usai dikoyak perang dunia kedua yang melelahkan, Jenderal George Marshall dititahkan untuk memulihkan ekonomi Eropa.
Dan ia sukses!
Tetapi saat Jenderal ini diutus ke China, dengan lunglai, ia pulang ke Amerika. Ia kecewa dan bergumam: “Negara Tiongkok tidak tertolong. Meskipun Amerika memberikan bantuan 3.000 tahun, RRT tetap tidak mungkin bangkit, karena negara itu hanya bisa melahirkan anak, selain itu tidak dapat buat apa-apa.” Kala itu China terbebani populasi 400 juta penduduk, terpadat di dunia.
Negara miskin dengan sekeranjang masalah, dan beban banyak penduduk, kendati memiliki kebudayaan kuno, kebudayaan yang begitu meriah di dalam sejarah. Tetapi Hegel berpikir lain. Ia menyebut dengan sinis bahwa itu hanya kebudayaan kindergarten. Hegel mencibir, “China berulang kali menyombongkan cara membuat kertas, cara teknik percetakan, cara membuat petasan, meriam, tapi semua yang ditemukan China diekspor dan diperalat banyak negara. China sendiri tetap tidak bisa menghasilkan kapal perang yang berarti.”
Nampaknya Marshal juga Hegel keliru menilai China dengan serampangan dan gegabah.
Buktinya sekarang, Negara yang dihina-hina, yang hanya bisa melahirkan anak, dan tidak bisa bekerja apa-apa, bahkan ditolong 3.000 tahun pun tidak bisa bangkit, hari ini negara itu merupakan negara yang memiliki uang paling banyak bahkan dipinjamkan kepada Amerika. Amerika yang kemarin jumawa dengan kekayaannya, kini menjadi pengemis dihadapan kaki China.
Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah pengalaman China ini tidak mampu ditauladani?
Ketika raksasa China tertidur dan tidak berdaya bahkan, 200 tahun yang lampau, Napoleon telah berujar, “Naga di Timur sedang tidur, kalau dia bangun dia akan mengacaukan seluruh dunia.” Pernyataan yang sama Ini juga diulang oleh Arnold J. Toynbee kira-kira 60 tahun lalu, “China pasti akan merajalela di dalam abad ke-21.” Orang-orang ini bukan orang biasa, mereka orang jenius di dalam militer, di dalam sejarah dunia, memprediksi hari akan datang, futurologist, dan mereka melihat sesuatu.
Apakah tantangan besar yang dipecahkan China ini bisa juga dihadapi Indonesia?
Barangkali filsafat China berbeda dengan Indonesia.
Dalam filsafat China terdapat unsur-unsur Reformed theology disebut sebagai general revelation dan common grace, itu ditangkap orang China secara tidak sadar. Ketika negara-negara maju orang hanya dengan 3.000 dolar baru bisa hidup enak, banyak petani di China berpendapatan 30-50 dolar sebulan. Tapi mereka bisa memproduksi barang untuk membius orang dari negara maju. Agar terus menjadi konsumen produk China, dan keuntungan yang diperoleh disaving sehingga mereka menjadi 'the have class'. Kalau Indonesia tetap mengacu jejak Barat untuk hidup glamour, nyaman, enjoy, serta lebih mengedepankan materialisme, maka dapat aku pastikan bahwa hari esok Indonesia amatlah kelam.
Namun jika Indonesia kembali pada nilai luhur, tentang tujuan hidup untuk apa? Dan bertanggung jawab kepada Tuhan yang telah berikan semuanya, sumber daya, bakat, juga peluang. Maka tidak ada kata mustahil dalam merealisasikan segala sesuatu yang imposible menjadi posible.
Iman, ketakwaan, dan kerajinan adalah hal-hal yang luhur dibanding pengetahuan statistik perniagaan. Sebab jika azas nilai ini tidak ada, maka Indonesia menjadi bangsa yang hanya tahu glamourisme, consumerisme, dan hedonisme.
Seperti pendapat para bijak lama, jikalau engkau memberikan satu gunung emas kepada anakmu yang tidak beres, sebentar juga habis. Tetapi jikalau engkau memberikan kepada dia hal sedikit saja, tetapi memiliki hati berjuang, rajin dan sungguh-sungguh, maka dia tidak pernah perlu takut miskin. Dia akan berdiri dan berjaya. Dengan iman yang kuat kepada Tuhan, mari kita menjadi bangsa yang kuat.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE