Achluddin Ibnu Rochim
Maaf. Bukan maksud, aku tak menghargai hari itu.
Tidak!
Namun lebih karena alasan, ke Indonesia an kita yang memalukan.
Indonesia sebagai Negara yang belum becus melindungi ibu di angkot hingga harus menjadi korban perkosaan.
Indonesia yang pernah membunuh Marsinah.
Dan di Indonesia ini juga, aku melewati Hari Ibu selalu dengan perasaan sedih.
Betapa tidak, Indonesiaku dalam kacamata Humanisme, begitu nampak buram.
Sebuah lanskap dengan carut marut sejarah luka perempuan yang panjang.
Sebuah wilayah yang tega besarkan anak-anak bangsanya dalam tradisi munafik. Sebuah negeri yang memuliakan Ibu sekaligus menghinanya. Pun hingga tataran Semiotikanya, begitu Hipokrit berkali kali.
Bangsa ini menyimbolkan Ibu dalam hal-hal besar seperti: bumi sebagai Ibu Pertiwi, Pusat Kekuasaan sebagai Ibu Kota, Rumah Raja sebagai Ke-Ratu-an atau Keraton, Ke-Datu-an atau Kedaton.
Kesemuanya memuarakan pada kemuliaan seorang perempuan "Ibu". Tapi benarkah? Tunggu dulu.
Sebab dalam hal yang bersamaan, bangsa ini juga tidak alergi merendahkan perempuan, bukan karena perempuan nomor sekian, tidak. Tapi lebih karena Kecongkakan Patriarki yang menyeruak ke depan tak terhalang.
Ibu termarjinal dari dunia gagasan kolektif.
Tertinggal,
terpinggir,
Lalu dilupakan.
Setelahnya, aku melihat Indonesia sebagai gugusan masyarakat dengan amnesia massive.
Kemudian, buru-buru, negara tiba tiba berpura-pura ingat dengan Ibu.
Dirancanglah sangkalan yang datang dari negara dalam wujud aturan perundangan tentang perlindungan perempuan.
Tapi aku justeru menangkap sebagai sesuatu yang samar,
tidak tegas,
Banci.
Aturan itu lebih bersifat Lips Service, agar nampak beradab. Dimulai dari urusan Hak Cuti Haid, Mengandung, Melahirkan, dan Menyusui, KDRT hingga Kuota Legeslatif.
Tapi apa betul?
Inikah yang perempuan maksud? Hadiah?
Perempuan tak butuhkan hadiah itu. Mereka justeru menantang duel dengan Patriarki, namun dengan syarat: Kesempatan dan Peluang yang sama. Selebihnya biarlah Rimba yang menjadi guru laga buat mereka. Dan arena ini berlaku mulai dari domain Politik hingga tempat tidur,
Kasur!
Kaum buruh telah berhutang besar pada Ibu Marsinah, meskipun masa lalu pernah meminjamkan Ibu Kartini pada bangsa ini, tapi nyatanya tak cukup membuat jera kekuasaan.
Masih dibutuhkan sejumlah Cut Nya' Dien dan sekian perempuan serta sekian Ibu lagi, hanya untuk sekadar menempeleng kekuasaan, agar siuman dari alpanya atas perempuan.
Sekian perempuan yang meneriakkan "Free Will" tanpa sensor.
Sensor oleh suami di rumah, sensor oleh Pengkhutbah di tempat suci Agama, sensor oleh Adat di sosial, dan sensor oleh Negara di Politik.
Nampaknya, Sang Patria tak berani. Sinyalemen bahwa perselingkuhan antara Perempuan dengan Industri menghasilkan anak haram yang tak dikehendaki oleh kekuasaan Patriarki, bayi hasil hubungan gelap itu bernama "Kemajuan Peradaban".
Maskulin kebat kebit menciut nyalinya akibat persetubuhan ini.
Dalam pada itu, lamat-lamat kesadaran datang dengan amat pelan dan minoritas, bahwa Ibu yang juga perempuan, telah memberi begitu banyak pada manusia, hingga kalau dihitung, butuh sekian Kitab Suci untuk mencatatnya.
Dalam kenyataan Perempuan tidak bisa begitu saja, dianggap tidak ada. Kendati semangat Macho yang diusung tradisi telah membutakan masyarakatnya akan fungsi.
Perempuan dengan sekian kepungan tembok tradisi penghalang, tetap saja eksis berbuat. Maskulin tak bisa tutup mata atas sukses perempuan ini.
Manakala semua buta. Aku masih menunggu, kapan negara ini berhenti menjadi Malin Kundang bagi Ibu dan bila negeri ini untuk bisa rela dengan perempuan.
Juga di hari ini, Hari ibu, aku menanti dengan perasaan getir.
Tentang kapan negara ini terampil bagaimana seharusnya berbakti pada ibu. Bukan hanya di upacara dan seremoni basa basi tapi juga jika perlu di angkot jam 3 dini hari sekalipun! (Pernah diunggah di akun Roman Recehan Impresionis)
0 wicara:
Posting Komentar