Achluddin Ibnu Rochim
Sebentar lagi musim penerimaan mahasiswa baru.
Siswa tamatan SMA sudah bersiap dengan segala mimpi mimpinya.
Siswa tamatan SMA sudah bersiap dengan segala mimpi mimpinya.
Masa depan seolah sudah terproyeksi di atas ubun ubun mereka. Bagaimana mereka nanti. Memilih jurusan apa. Di kampus mana. Punya pacar berapa. Setelah lulus, kerja apa. Kawin dengan anak siapa. Tinggal di regency mana. Dan seterusnya..... seterusnya.....
Semuanya indah.
Semuanya asyik.
Dan setiap mimpi indah selalu berwarna negeri dongeng, lengkap dengan kisah asmara sang pangeran dan sang puteri. Juga keberhasilan, kemewahan, serta kekuasaan. Si jahat yang dipenjara dan si pangeran yang menikah lalu bahagia selamanya.
Ending.
Novel ditutup!
Tapi tidak hanya mereka yang bermimpi.
Orang tua pun memiliki mimpi, juga kepanikannya sendiri. Membayangkan, berapa ongkos yang harus dikorbankan untuk menebus mimpi mimpi anak mereka.
Setiap tahun, saya miris dengan besarnya energi yang orang tua keluarkan demi meraih seluruh mimpi itu.
Berapa lama lagikah ini akan berlangsung?
Telah dan akan terus terjadi 'involusi materi' harta keluarga Indonesia.
Setelah hampir rontok terkuras oleh ihtiar serial yang panjang, bertubi tubi.
Dari mulai mengkawal dan mempersiapkan segalanya agar anak masuk Sekolah Dasar favourite, lalu SMP unggulan, hingga SMA berbasis Internasional, lantas sekarang orang tua masih dibingungkan lagi dengan mempersiapan anak agar bisa masuk ke Kampus melalui jalur undangan, lalu jalur SMPTN ataupun jalur mandiri.
Orang tua berlarian ke sana kemari. Gelisah. Gagap. Juga gugup. Berpayah untuk sekedar sekelumit informasi, secarik blangko, ataupun input data di warnet yang tehnologinya seringkali tidak mereka pahami.
Saya tidak hanya melihat proses pemiskinan oleh tradisi schooling, dalam artian ekonomi di sana. Di mana harta benda keluarga dihabisi tanpa ampun.
Tandas. Ludes!
Saya bahkan menyaksikan penghancuran mental dalam skala luas.
Ada banyak kepedihan orang tua di situ.
Perampasan masa kanak kanak dan proses pertumbuhan alamiah anak anak mereka.
Saya turut merasakan kegelisahan, kesedihan, juga ketegangan relasi orang tua-anak dalam masa masa ini. Tidak ketinggalan, turut serta segala kepanikan kepanikan, mencabik mereka.
Layakkah semua kekejaman itu?
Mengingat kampus bukanlah satu satunya sumber pengetahuan.
Pertanyaan yang sama pernah diajukan diawal tahun 1970, oleh Ivan Illich dalam buku klasiknya "Deschooling Society".
Kampus tidak otomatis sama dan sebangun dengan pendidikan tinggi.
Institusi kampus dengan bangunan sistemnya teramat mekanistik dan memperkurus kemanusiaan itu telah lama menjadi 'kerikil dalam sepatu sosial'.
Tapi apa dikata, masyarakat terlanjur menganggap kampus sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tinggi.
Meski, nyatanya, institusi kampus dengan segala otoritas tak manusiawinya itu tidak mampu membebaskan masyarakat.
Bahkan kampus telah menciptakan ketergantungan masyarakat miskin pada lembaga yang merasa memiliki otoritas dalam pendidikan tinggi.
Ini karena masyarakat terperangkap dalam ketergantungan dengan kampus. Dan kampus, nampaknya, sangat menikmati situasi hubungan un equalibrium ini.
Ada anggapan umum berkembang di masyarakat kita, bahwa perubahan nasib hanya bisa melalui gelar sarjana.
Mobilitas vertikal yang diharapkan oleh setiap orang tua, agar dengan kuliah kelak sang anak bakal mampu merubah nasib keluarga.
Agar mentas dari jerat kemelaratan. Orang miskin sudah terlalu bosan dengan hidup rombeng.
Monopoli institusi kampus sebagai sumber belajar telah membuat masyarakat, seperti orangtua, dunia bisnis, dan lembaga-lembaga lain hanya peduli dengan 'kelulusan' ijazah dan gelar.
Karena dengan itu orang tua punya harapan ekonomi, karena dengan itu, dunia bisnis, juga industri, peroleh SDM tanpa susah payah.
Ya, hanya itu.
Mereka kehilangan gairah untuk peduli pada idealitas juga essensi pendidikan tinggi. Padahal, banyak masalah inheren dalam sistem kampus, kata Illich, misalnya, ketidakmampuan membedakan antara substansi dan proses belajar.
Kampus menyamakan antara kemampuan dan ijazah, belajar dan menerima pelajaran, pendidikan dan kenaikan angka kredit semester, dan sebagainya.
Kita tidak boleh terlena dengan bius tradisi kampus ini.
Perlu sebuah alternatif yang berisi dorongan untuk memberdayakan masyarakat sebagai sumber belajar.
Dorongan yang menurut Illich bersifat "prophecy", ini adalah pembentukan jaring-jaring pendidikan yang meningkatkan kesempatan bagi setiap orang untuk mengubah setiap momen dalam hidupnya menjadi momen belajar, berbagi pengetahuan, dan peduli satu sama lain. Sebuah kolaborasi.
Kolaborasi pencari dan sumber ilmu yang pernah diidamkan oleh Ivan Illich di tahun 70 an.
Beruntungnya, saat ini, sudah mulai terwujud dan berlangsung angan angan semacam itu. Ini berkat perkembangan teknologi World Wide Web yang menjadi struktur dasar teknologi Internet.
Karenanya lah, hari ini, kita bisa tersenyum dengan tingkah Cak Bejo, tukang becak ujung gang, yang membuka google di HP ketika ditanya rekan sesama tukang becaknya, tentang apa arti dari istilah 'Kampus Favourite'. Nah, lho...
0 wicara:
Posting Komentar