Achluddin Ibnu Rochim
"DIJUAL, CEPAT!"
"DIJUAL, CEPAT!"
Sebuah info singkat, ditulis di atas secarik kertas kardus bekas, di pangkalan Ojek. Digantungkan pada lampu depan sepeda motor Supra Fit keluaran tahun lama.
"Tanpa perantara, Mas" Kata sang pemilik menambahkan.
Beberapa kawannya, tukang ojek lain, juga berniat menjual motor.
Sebenarnya, ada apa ini?
Mereka beralasan, pekerjaan Ojek sudah tidak lagi menjanjikan.
Ojek tak lagi cukupi beras bagi keluarga mereka.
Berita yang mereka baca di koran, BBM akan naik 2000 rupiah perliter, rupanya, sudah berhasil mengikis habis harapan para tukang ojek ini.
Negara dengan policy energi nya itu, suka atau tidak, akan menumpas sekian prospek orang orang lemah.
Akan ada banyak suami, yang mata pencariannya terbunuh di sini.
Akan ada banyak ibu rumah tangga mengkalkulasi ulang kebutuhan dapurnya.
Juga akan ada banyak anak menggigit jarinya, karena cita cita yang terganjal.
Rencana kenaikan BBM 2000 rupiah perliter telah menjadi teror tersendiri.
Dan memang, terkadang, Negara juga bisa menjadi monster bagi masyarakatnya sendiri.
Menebar teror sekaligus ketakutan.
Hanya dengan sekelumit pengumuman sebuah rencana, orang-orang kecil sudah panik. Dan buru buru melipat mimpi yang sempat berkibar, untuk kemudian dimasukkan ke dalam laci keputus asaan.
Nusantara kita, kata orang, adalah sebuah negeri gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, murah sandang dan pangan. Kalimat ini sudah lama jarang terdengar lagi, kecuali di buku buku sekolah dasar, kecuali di pewayangan, kecuali di dongeng sebelum tidur.
Hari ini, justeru sudah terganti dengan berita korupsi, kerusuhan sosial, intrik politik, harga KPR melambung, krisis pangan, krisis lingkungan dan krisis energi. O, ya, juga kasak kusuk tentang artis kita yang suka kawin cerai.
Indonesia, sekarang telah menjadi segugusan suku bangsa yang ditimpa petaka, bukan oleh bencana alam saja, tetapi bahkan oleh kemalangan sebab terperangkap dalam organisasi negara yang kehilangan spirit ide ide, inovasi dan kreatifitas dari para pemimpinnya.
Sebuah bangsa yang terjerumus dalam jebakan oligarki 'despot gaya baru'.
Menindas dengan cara statistik, angka dan prosentase.
Negara yang dikangkangi para pandir pemalas. Tak suka berpikir keras. Tidak alert dengan perubahan.
Tiap kali mendapati kesulitan, langsung terapkan program pungutan ini pungutan itu.
Setiap terbentur kesukaran, cabut subsidi ini cabut subsidi itu. Malah, jika perlu, jual saja ini jual saja itu ke pihak asing. Selesai.
Masalah terpecahkan.
Setelahnya, bisa mereka tinggal makan makan bersama kolega atau pergi ke wanita simpanannya.
Jika seperti ini terus, saya khawatir, lama kelamaan anak lulusan SMP akan berkata mengejek: "kalau cara cuman kayak gitu mah, aku juga bisa jadi pemimpin! Ga usah nunggu sampe lulus SMA!"
Nampaknya, Negara lebih terampil laksanakan upacara ketimbang menyediakan lapangan kerja. Lebih hebat berseremoni dibanding memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Lebih pandai cabut subsidi, tarik pajak, dan jualan asset dari pada berinisiatif ciptakan sumber pendapatan non pungutan.
Berseragam gagah menawan, tapi miskin gagasan.
Kita butuh pengelola negara yang paham apa itu Social Welfare political ekonomy seperti yang diamanatkan konstitusi. Negara tak boleh berlindung dibalik alasan bahwa harga minyak internasional sudah di atas harga domestik. Orang awam akan heran dan bertanya: lho, memangnya, apa sampeyan kulak minyak ke mereka?! Sehingga terpaksa harus mengatrol harga agar tak rugi!? Sebaliknya, kalau sampeyan bukan negara produsen, mengapa mesti menjadi anggota Opec dan bersepakat dengan harga internasional!?"
Negara tak boleh lagi diskriminatif dalam masalah besaran patokan harga, jika minyak mengikuti standard harga dunia, maka gaji, tunjangan, juga pendapatan masyarakat seharusnya juga berstandard internasional.
Dengan begitu masyarakat tidak akan merasa diperlakukan tidak adil oleh kebijakan negaranya.
Masyarakat tidak perlu mengkonversi nilai produktivitas diri nya dengan menjadi martir karena unequal exchange yang timpang ini.
Rasanya, sudah terlalu sering masyarakat kita menanggung akibat manakala negara hampir bangkrut hanya karena kesalahan urus oleh rejim pengelola yang malas, kering inisiatif dan tak punya terobosan serta tidak becus.
Jika memang tidak sanggup ikuti jalan 'kanan' tapi alergi tempuh jalan 'kiri', maka negara harus kembali pada paradigma sendiri, yakni Social Welfare political ekonomy. Karena pada hakekatnya, struktur perekonomian kita adalah warisan kolonial, yang dualistik, di mana perekonomian Indonesia terdiri dari lapis kekuatan ekonomi kapital, berada di atas dan lapis kekuatan ekonomi rakyat berada di bawah.
Struktur perekonomian nasional yang terbangun dari agrarisme lokal dan integrasi perdagangan internasional.
Karenanya, dengan setting ekonomi semacam ini, maka perekonomian pasca kolonial harus didekati dengan demokrasi ekonomi, berdampingan dengan demokrasi politik yang ditopang oleh dua prinsip, yaitu partisipasi rakyat dan emansipasi rakyat dari segala bentuk dominasi dan ketergantungan. Kalau saja negara laksanakan ini, akan terbentuk perekonomian mandiri.
Paradigma kesejahteraan sosial meniscayakan pada negara agar berupaya untuk menegakkan kedaulatan ekonomi nasional vis a vis kedaulatan pasar global.
Dan untuk paradigma ini, kita tak perlu menoleh pada thesis Anthony Giddens dengan Third Way nya yang baru muncul 1998 itu, ataupun menduplikasi New Social Democracy nya Tony Blair dari Inggris dan Bill Clinton dari AS.
Karena sebenarnya para pendiri bangsa ini telah meletakkan fondasi ekonomi berparadigma kesejahteraan sosial pada konstitusi jauh sebelum para penempuh 'jalan tengah' di atas.
Jika negara mau kembali pada paradigma sendiri, maka tidak perlu ada lagi pencabutan subsidi pada sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, apalagi privatisasi.
Ke depan, tak boleh ada lagi sektor yang di de-nasionalisasi. Langkah khianat seperti itu sama saja dengan menyerahkan diri kepada mekanisme pasar internasionl seraya pelan pelan menikam kedaulatan ekonomi nasional sendiri.
Negara tak boleh berpaling dari jati diri nasionalnya. Essensi Negara hanyalah alat berupa organisasi, karenanya ia tak boleh durhaka pada bangsa. Kepentingan bangsa harus di atas kepentingan negara.
Dengan paradigma sendiri, saya yakin, para tukang ojek tadi akan benar benar nyaman di SPBU bertransaksi. Bisa tersenyum lebar tanpa harus sebentar sebentar menengok dompet hanya untuk memastikan kecukupan isi.
0 wicara:
Posting Komentar