data-ad-format="auto"

HARGA MANUSIA

Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya

Suatu hari, saat saya minum kopi di warung kaki lima, seorang kawan bertanya: Untuk apa ada hukum? Buat apa ada negara? 
Kawan saya ini berhaluan anarkis. Lumayan radikal. 
Tentu saja, saya terbengong. 
Bukan karena tidak tahu jawabannya. Pertanyaan itu terlalu tiba tiba. Seperti ditodong pistol tanpa sebab. Saya kesulitan memulai jawaban darimana, dengan cara bagaimana, dari sudut pandang siapa: dia, saya, atau negara? 


Hukum dibuat agar terselenggara cara hidup manusia. Spesies lemah namun berakal. Sebagai makhluk dengan insting berkelompok, dibutuhkan kebersamaan di sana. Bukan gerombolan, tapi perkawanan. Dibutuhkan kehidupan teratur antar sesamanya, maka cara tertib sosial adalah jawabannya. Agar tidak chaos. Supaya tidak dis-order. Dengan maksud manusia tidak saling menyakiti. Negara, dan Hukum, diciptakan karena betapa berharganya nilai manusia. 
Tapi benarkah? 
Berapa harga manusia itu? 
Sergah si anarkis, tak mau terima. 



Tiba tiba saya ragu dengan jawaban saya sendiri. 
Keraguan itu hadir begitu saja, bercokol, tak mau pergi. Bukan karena hukum, ataupun negara, secara keilmuan, salah, bukan. Tapi lebih karena terjadi beragam peristiwa tragis yang diakibatkan oleh keduanya. Atau setidaknya, oleh aparat penegaknya. 



Seorang pemuda, Sulung Hadi Sukmawan, sudah pernah diberitahu oleh petugas, berapa nilai dirinya, khususnya, harga mulut dan lengannya. Di malam yang dingin, Ia dicegat lalu dipukul dengan selonjor besi oleh petugas pengamanan presiden. 
Mengapa mulut dan lengannya diremuk petugas? Karena ia melintas di Jalan Tanimbar, Kecamatan Sukun, Malang. Apakah salah orang lewat di jalan? Tidak. Hanya saja, dia lewat dekat tempat Presiden tidur malam itu, Rabu 11/1/2011. Barangkali, pikir petugas, karena Presiden sedang tidur, maka beliau tak punya kewajiban 'melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia' seperti amanat konstitusi. Karenanya, mulut dan lengan Sulung, benar benar diukur harganya, dan hasilnya: sama sekali tak berharga! 
Lantas berapa harga pengunjuk rasa masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat, yang mendesak pencabutan izin operasi PT Indo Mineral Persada dan PT Sumber Mineral Nusantara di Sambu dan Sape, juga harga orang di Mesuji Lampung atau Perusahaan Pertambangan di Papua? 
Saya tidak tahu. Barangkali aparat kepolisian yang menembaki dan membunuh mereka tahu, berapakah harga manusia itu? 
Aparat atau negara terkadang lupa, tujuan dari bernegara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan melindungi coorperasi atau pemilik modal. 
Peristiwa penganiayaan dan pembunuhan manusia oleh negara beserta alatnya menunjukkan potret bagaimana negara dan alatnya dalam menghargai manusia. 
Begitu merendahkan. 
Di depan negara dengan hukumnya, seringkali, manusia justeru tidak berharga. Bahkan tidak lebih berharga dari sepotong roti, atau buah, atau hal hal sepele lainnya. 
Ayam yang mau dipotong untuk hajatan lebih bernilai, karena oleh pembeli ia masih ditawar, 80 ribu rupiah. Bandingkan dengan manusia saat mereka tumbang oleh moncong yang menyalak dihadapan petugas. Tak ada tawar menawar di sana. 



Sebuah novel yang terbit tahun 1862, berjudul Les Miserables, karya Victor Hugo, mungkin bisa bercerita bahwa di depan palu hakim, betapa tidak berharganya nilai manusia itu. 
Revolusi industri yang sukses berakibat pada pengangguran besar besaran. Tenaga manusia tergantikan oleh mesin. Al hasil, kemiskinan meluas tak terelakkan. Kemelaratan yang juga mendera seorang lelaki bernama Jean Valjean. Nasib malang ini menjerumuskan Jean pada satu kali tindakan kriminal. Ia terpaksa mencuri sepotong roti karena keluarga di rumah sudah tidak tahan lagi menanggung lapar. 
Sialnya, Polisi memergoki. Ia ditangkap. Diborgol, menjadi pesakitan dalam bui. 
Di depan penuntut dan para hakim yang berwajah penuh gelimang lemak dan perut mereka yang kenyang itu, pledoi pembelaannya, majal. 
Pengadilan tak pernah tahu, bagaimana rasanya lapar. 
Ia diputus oleh pengadilan kurungan penjara selama 19 tahun. 
Apakah arti sebuah roti, jika dibandingkan dengan nilai seorang Jean, seorang manusia? Dari sini, saya memahami mengapa si anarkis di depan saya ini bertanya dengan nada menghunus. 19 tahun adalah waktu yang teramat lama untuk belajar memahami betapa sangat tidak bermanfaatnya negara, aparat, ataupun hukum buat manusia kebanyakan. Hanya akan melahirkan ketidak adilan. Negara, juga hukum dan perangkatnya hanya bermanfaat bagi kaum elit minoritas. Berguna bagi perlindungan dan pengawalan seluruh kepentingan mereka. Tapi bagi si mayoritas lemah, mereka ada justeru menumbuhkan dendam kebencian kaum jelata. Karena negara dan hukum adalah penjaga 'ketimpangan dan ekses' yang ditimbulkannya. 
Kerap kali negara hanya berguna untuk negara itu sendiri. 
Bagi Jean, tidak perlu harus menjadi seorang 'Kiri' ataupun kutu buku untuk tahu ini. Jean Valjean sudah menjalaninya. Lelaki itu keluar dari penjara dengan api dendam yang berkobar. Diperlakukan negara semena-mena, dibekap hukum yang kaku, aturan yang dingin, tanpa secuilpun wajah kemanusiaan. 
Lalu berapa sebenarnya harga manusia? 
Manusia, jika diuangkan, harga organ tubuh, enzim, kelenjar dan sebagainya total berharga kurang lebih USD 85 milyar. Seorang Profesor pakar di bidang kimia dan komputer asal Norweigia, menjumlah ini dalam sebuah jurnal kedokteran. Tulisnya,menghitung harga seorang manusia, mengejutkan, bahkan untuk sebuah zat penumbuh rambut saja, dengan perkiraan dibutuhkan orang sampai 50 tahun sebanyak 20 gram, satu gramnya berharga USD 2 juta. 
Satu-satunya komponen yang profesor tidak dapat memasukkan dalam perhitungan itu adalah nyawa manusia. Nyawa ini tak terkalkulasi, barangkali hanya kematian yang sanggup mentaksir kisarannya. 



'Mati bukanlah soal; yang mengerikan adalah tidak hidup' kata Jean Valjean. 
Dan sekarang saya menyaksikan negara yang tidak mati, tapi ia tak hidup. Setidaknya di hati bangsanya.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE