data-ad-format="auto"

KUP N REVO

Achluddin Ibnu Rochim
"Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan ada gerakan-gerakan yang akan menggulingkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Gerakan itu dikatakan Djoko memanfaatkan keputusan pemerintahan menaikkan harga bahan bakar minyak sebagai isu. Djoko menyatakan informasi itu di dapatkan pemerintah berdasarkan laporan dari pihak intelijen." (Kompasiana, 06 March 2012) 

Satu lagi Paranoid Negara menjangkit, dijadikan alasan pemberangusan elemen bangsa. 
Negara lupa, bahwa semua orang telah banyak belajar dan semakin mengerti, bahwa kudeta mustahil bisa merangkak, manakala tak ada keterlibatan petinggi petinggi militer aktif, di sana. Butuh paling tidak separoh perwira yang pegang pasukan. Agar kedudukan berimbang. 
Tapi, apa mungkin? Dalam waktu singkat memutus jalur hierarki komando dari pucuk, lantas menciptakan pembangkangan sebagian perwira itu? 
Statemen pejabat negara di atas menjadi mentah dengan logika sederhana tadi. 
Terlebih lagi, logikanya, justeru penguasa sekaranglah yang kuasai semua sektor kekuatan militer. 
Lalu dari mana tuduhan gegabah ini bermula? 
Sebagian orang menerka, tuduhan itu berangkat dari sebuah skenario yang dirancang untuk memuluskan kebijakan Kenaikan BBM. Agar tak ada resistensi dari pihak oposan, maka stigma 'Kudeta' pun disiapkan, jika perlu ditempelkan dijidat siapa saja yang berani merongrong rencana kebijakan tak populis itu. 
Taktik cerdas. 

Kudeta. 
Kata ini sudah berusia tua. 
Dipungut dari tradisi kekaisaran Eropa lama, berabad abad silam. 
Dari akar kata, Coup D' E Tat. Orang perancis amat faham, akibat dari kata ini. 
Karena, begitu Coup ini diteriakkan, maka yang terjadi adalah kegentingan kota. Suasana penuh atmosfir was was, syak wasangka, mencekam. 
Semua pasang mata saling waspada. Curiga, juga fitnah beroleh ladang suburnya di sini. 
Saya membenci Coup. Kudeta membuat berkilatan pedang saling hunus. Atau meriam dentum mendentum. Bahkan berbagai jenis bedil bisa berbaku hadap hadapan, sangat mungkin bedil itu dari gudang amunisi yang sama. Pasukan dari bataliyon yang sama. Juga Asrama yang sama. 
Selanjutnya, kita bisa tahu apa yang bakal terjadi di sana. Akan ada banyak keponakan kehilangan paman, karena supupu menjadi yatim atau piatu. Lusinan isteri yang menjanda sebelum waktunya. Orang tua yang tak pernah lelah menunggui pintu rumah setiap hari, berharap putera mereka yang tidak mungkin pulang, tiba tiba muncul, menyapa, hai ayah, ini anakmu, maaf pulang telat, aku baik baik saja, Ayah. 

Mulut siapa yang menyemburkan kata ini awal kali, mungkin malamnya habis mimpi menjadi Ken Arok, hingga igauan terbawa sampai pagi hari di depan wartawan. Ngelantur. 
Ia lupa bahwa Ken Arok tidak berdiri sendiri. Sebelum arok sudah ada darah Mpu Gandring yang merembes di jubah. Ada Tunggul Ametung, juga Kebo Ijo yang mendelik meregang maut, dengan rasa kaget. Lalu setelah Arok? Ada tetesan darah Anusa Pati, lalu Mahisa Cempaka juga Mahisa Agni, disusul Toh Jaya dan seterusnya.... Semua menyeret ajal para pengikut beserta pasukan masing masing. Sambung menyambung tak berkesudahan. Saling tikam. 
Kudeta, bukanlah ihtiar suci. Atas nama kebenaran merampok kekuasaan dengan cara menumpahkan darah rejim musuh politik. Ia tidak jauh jahatnya dari revolusi. 
Kudeta adalah hulu berbahaya sebelum mencapai hilir petaka yang bernama Revolusi. 
Kudeta dan Revolusi, dua kata heroik tapi banyak mengandung cacat di dalamnya. 
Revolusi yang menggilas ataupun kudeta yang mendongkel seringkali memakan anak anak kandungnya sendiri. Tentu saja berakibat kematian bagi yang dianggap berdosa ataupun yang tidak. 
Kudeta dan Revolusi merupakan alternatif di antara pilihan buruk dan tak bermoral. Kerap kali jalan ini ditempuh ketika tak ada cara lain. Harusnya upaya ini adalah pilihan 'apa daya'. 
Jalan Kudeta memang lebih bisa memilih korbannya, dan biasanya korban jatuh lebih banyak dari kalangan elit di masing masing pucuk minoritas berkuasa atau yang akan ambil kuasa. Tapi siapa yang bisa menjamin, kudeta ini tidak akan keterusan? 
Berlangsung tanpa henti. Menggelinding bagai bola salju dengan penuh percikan darah? Seperti yang pernah menimpa Jakarta di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965? 
Gerakan Coup yang kemudian menjalar hingga pedesaan di seluruh sudut negeri. Kurang lebih 2 juta jiwa diselesaikan dengan moncong senapan dan tebasan tajam pada leher si korban akibat kelanjutan dari peristiwa gelap itu. Bangsa Indonesia dieksekusi oleh bangsa Indonesia sendiri. Yang satu penjarakan yang lain. Tragedi memalukan yang tak mungkin sembuh hingga hari ini. 
Kudeta yang kebablasan menjadi revolusi sering kali tak punya mata. Ia membabi buta. Menggasak siapa saja yang menjadi penghalang, atau siapa pun yang tak sengaja merintang jalan. Bahkan kawan seiring jika dianggap menghambat langkah harus dilibas, tuntas. 

Di China, dengan alasan Revolusi Kebudayaan, Mao Tse Tung, tak hanya membaca puisi. 
'..... Biarlah sejuta bunga tumbuh bermekaran .....', 
Ia juga menyusun pasukan. 
Para pemuda yang digiring lalu dibariskan rapi, lengkap dengan senjatanya, kemudian menamai mereka dengan 'Pengawal Merah'. Begitu komando keluar dari mulut sang Mao, dengan segera ratusan ribu orang kehilangan nyawa. Meski sasaran mereka adalah orang orang partai yang dianggap mandek, karena sudah puas dengan komunisme yang ada. Tak urung, dalam praktek, bukan saja mereka para pimpinan partai yang ditembak, namun banyak rakyat anggota komunis biasa ikut terbasmi di sana. 
Revolusi Kebudayaan, yang sama sekali tak berbudaya. 
Revolusi menciptakan Dikotomi. Ia membelah 'Kita'. Pecah menjadi 'kami' dan 'mereka'. Group yang terpolarisasi, vis a vis, antara in sider dan out sider. Dari pada itu, puncaknya adalah darurat di sana sini. 
Berlangsunglah sebuah kehidupan, dalam kepungan situasi, di mana kemanusiaan telah roboh dan hukum dikuburkan. Keganasan juga teror, menjadi panglima. Setiap orang tak bisa tidur. Horor, merangsek. Negara koyak! 
Saya tiba tiba teringat dengan sepenggal bait, '....Langit semakin merah menjelaga, siapakah yang akan menjaganya...' 
Barangkali Mao lah yang akan sanggup menjaganya. 
Hanya seorang despot tiran yang miliki ketabahan mental menjaga kobaran api yang membakar rakyatnya sendiri. Api kudeta, api revolusi. 
Kudeta juga revolusi, atas nama rakyat menjambret kekuasaan dengan cara menumpahkan darah sesama bangsa, sangat sulit untuk bisa dibenarkan. Dibutuhkan banyak perpustakaan untuk mencari kalimat, hanya demi membetulkan paragraf sejumlah alasan, rasionalisasi atas pembenaranya. 
Fuck of coup d' etat! Fuck of Revo!

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE