Achluddin Ibnu Rochim
Surabaya lumpuh!
Dalam arti yang sebenar-benarnya. Terjadi, sekarang ini.
Dalam selimut atmosfer Lebaran, kota ini layaknya orang tua ditimpa kemalasan, tertidur.
Betapa tidak!
Terminal jeda, Pasar melompong, Pusat Pertokoan diam, Kantor mematung, Pendidikan membisu, Arena Rekreasi mati, juga Lokalisasi, semuanya disayat sepi.
Dalam arti yang sebenar-benarnya. Terjadi, sekarang ini.
Dalam selimut atmosfer Lebaran, kota ini layaknya orang tua ditimpa kemalasan, tertidur.
Betapa tidak!
Terminal jeda, Pasar melompong, Pusat Pertokoan diam, Kantor mematung, Pendidikan membisu, Arena Rekreasi mati, juga Lokalisasi, semuanya disayat sepi.
Seperti kota yang ditinggalkan begitu saja. Tanpa reruntuhan, tanpa pesan.
Kota mati dengan seonggok sampah, terlupa diangkut Truck terakhir!
Jalanan bagai lapangan bola. Lampu traffic kedap kedip kosong dinina bobokan semilir angin yang datang dan pergi membawa bau bacin bangkai tikus got.
Satu dua mobil tampak melintas sesekali, di kejauhan sana.
Debu kemarau tipis beterbangan kian kemari.
Selembar daun kuning jatuh di trotoar pada gang yang lengang seperti menunggu, tetap tak ada yang lewat.
Nganga.
Ada apa dengan Surabaya yang biasa?
Ajaib!
Hiruk pikuk keseharian kota ini seperti telah dirampas entah oleh siapa. Hingga, saya berdiri di jantung kotanya saja, bagaikan hidup di pengasingan.
Kemanakah semua orang?!
Mengapa seluruh denyut aktivitas padam?
Kenapa seluruh bangunan pemerintah juga swasta tutup? Ada apa dengan nasib 'public service' yang terhenti?
Tak ada jawab. Hanya ada anjing dan satpam menguap menahan sisa kantuk semalam.
Surabaya pingsan!
Serapuh inikah tempat terkuat yang sering disebut sebut orang sebagai Kota Pahlawan?
Tempat dimana komando daerah militer dan Kepolisian menancapkan berribu personel serdadu, lengkap dengan kokang senjatanya.
Tempat dimana Para petinggi Jawa Timur mengokohkan kursi kekuasaan birokrasinya.
Buktinya sekarang mana?
Tanpa tukang becak, buruh paberik, sopir angkot, pedagang keliling, penjual sayur, kuli angkut, cleaning service, pembantu rumah tangga, juga calo, mereka praktis tak berdaya.
Mirip bayi tanpa ibu dengan tetek segernya.
Surabaya benar-benar tak siap dengan dirinya sendiri. Surabaya lagi gampang diganggu, mudah diserbu, rawan keselamatan. Pendek kata, Surabaya sedang dalam masalah besar!
Jika demikian, benarlah kiranya, sebuah teori sableng yang sempat terpikir oleh saya, bahwa 'setiap kota mulanya dilahirkan dari rahim pengembara terusir, yang dibesarkan oleh pelacuran, dan diasuh oleh pendidikan, tapi setelah dewasa dan tumbuh sehat, sang Patriot dan Kekuasaan datang memiliki serta memperkosanya'.
Kota yang mulanya bernama Ujung Galuh ini tak bisa berdiri tegak, setelah tiga per empat penghuninya pergi.
Sikap congkak dan sombongnya pada pendatang tak lagi nampak. Seperti hari-hari kemarin ketika petugas TramTib yang dengan arogan, begitu serius melibas pedagang kaki lima. Ganas melindas!
Kini tidak ada lagi.
Begitu pula suara parau berwibawa dari birokrasi, yang diwakili kepala sekolah saat menolak permohonan orang tua wali murid, "Maaf, anak saudara terpaksa belum bisa peroleh hak bantuan pendidikan, karena anda adalah pendatang di kota ini." Sekarang sudah lenyap gemanya entah kemana.
Anggapan bahwa pendatang adalah penyakit sekaligus beban sosial kota patut diuji lagi kesakihannya.
Persepsi bahwa pendatang merupakan parasit dan kotoran bagi kota perlu ditimbang kembali.
Segenap polarisasi untuk mempertentangkan antara pendatang dan pemukim tetap layak diargumentasikan ulang.
Di luar kekurangan dan cacatnya, pendatang, diakui atau tidak, telah berjasa kelewat besar atas tumbuh dewasanya Surabaya.
Dengan kelebihan dan boroknya, pendatang sudah menanam budi, agar kota tambun ini tetap dapat menggerakkan kaki tangannya.
Sebab tanpa itu semua, Surabaya, hanyalah sebuah Kota tanpa manfaat.
Kota monumen dengan kebisuan yang panjang. Tanpa riwayat, tanpa heroisme, tanpa cerita tentang keringat dan tangis, juga canda dan tawa dari manusia penghuninya.
Surabaya tetap butuh pendatang, untuk detak jantung, demi deras urat nadi arteri jalannya, agar segenap sendi tetap berderit, supaya malamnya dapat tetap dijagai dalam lelap yang nyenyak.
Agaknya Surabaya tak bisa hidup tanpa calo.
0 wicara:
Posting Komentar