data-ad-format="auto"

TRADISI MUDIK LEBARAN

Achluddin Ibnu Rochim
Saya kerap temui, tafsir atas tradisi mudik dipersepsikan sama dan sebangun dengan Islam. Mereka tak terlalu salah amat, sebab di dalamnya terselip nilai nilai silaturahmi, puasa, dan Idul Fitri. So, tradisi mudik, atau yang hendak mudik, pastilah sama dengan Islam!
Tetapi budayawan Jacob Soemardjo, punya pendapat lain, secara historis, menurutnya, mudik merupakan tradisi primordial. Jauh sebelum Majapahit meletakkan kursi kekuasaan di Nusantara, masyarakat petani di Jawa sudah mengenal tradisi mudik. Pulang kampung, karena ikuti upacara merti desa (bersih desa) berlangsung setahun sekali. 
Saya membayangkan peristiwa mistis kala itu, Uba rampe disiapkan, upacara diprosesikan. Sebuah pekuburan angker dihajati. Ratusan desa pertanian tiba-tiba menjadi sakral. Mantera dirapal bersama sama: membumbung tinggi ke langit! 
Demi gemah ripah loh jinawi desa, para roh leluhurpun diseru datangnya, agar menyampaikan doa kepada segenap dewa di kahyangan. 
Kebiasaan pulang kampung inilah yang akhirnya melahirkan tradisi mudik. 
Zaman berganti, dan tradisi mudik beroleh penguatan lagi pada masa Hindu-Budha: Arus manusia mudik dimutlakkan demi upacara Srada yang dipimpin langsung oleh para raja. 
Waktu merangkak terus, hingga beralih masa, dan Islam masuk ke pantai Jawa lantas menusuk jantung kekuasaan hingga merambat ke pedalamannya. Tradisi ini dihadang lajunya, oleh para pesorban, karena dianggap syirik. Namun apa daya, tradisi telah menjadi darah dan daging masyarakat, maka peluang untuk kembali ke desa sekali setahun akan selalu dapatkan jalan pulangnya. Dan itu kembali muncul, melalui momentum Idul Fitri. Pesorban tak berdaya. Mudik menjadi pemenang. 
Periode berikutnya, Saya kurang tahu persis, sejak kapan tradisi mudik era modern ini membetot perhatian kekuasaan. Namun ada yang katakan, mudik terjadi sekitar tahun 1960-an. Dilakukan oleh kaum pinggiran yang migrasi ke Jakarta. Para pembantu rumah tangga, buruh pabrik, sopir, tukang becak, dan lainnya. Sebagian besar berasal dari Jawa. 
Masyarakat Betawi menyebut mereka ini sebagai orang udik atau orang kampung. Karenanya pulang kampung mereka sebut sebagai mudik. 
Tetapi sejak 1970-an, urban tidak lagi dominasi kaum marjinal. Pendatang yang pintar dan bergaji besar ada banyak di antara mereka. Menyeruak langsung ke pusat kekuasaan politik ekonomi Jakarta. Menjadi birokrat dan pengusaha sukses, bahkan berbagai profesi strategis ada dalam genggaman para 'Udik' ini. Dan setiap lebaran, mereka juga pulang kampung. Sebaliknya, si 'Betawi' yang gemar jual tanah mereka, justeru tergeser ke marjin paling tepi: praktis tak ada tempat di tengah kota buat sang Betawi! 
Dari situ tradisi mudik, saya nilai, tak lagi terkait dengan status sosial para pelakunya. Bagaimana tidak, lazim di momen ini penggunaan kereta api mewah, pesawat terbang, atau mobil pribadi berseliweran. Lebih dari itu, tradisi mudik tak lagi klaim 'milik Jawa' saja. Seluruh pelosok manapun Indonesia, tak peduli apa keyakinan agamanya, telah lakukan tradisi mudik. Mudik metamorposis menjadi salah satu aset budaya bangsa. Mengapa? Karena ini tak terjadi di negara lain. Bahkan, inilah mobilisasi penduduk terbesar di dunia. Bayangkan untuk jalur darat saja, jumlah pemudik mencapai 8 juta hingga 9,8 juta. Jika ditambah dengan pengguna kendaraan pribadi, jumlah seluruhnya mencapai 15 juta lebih. Bahkan, Tempo memperkirakan 19 juta orang terlibat dalam proses mudik: Fantastis! 
Tradisi mudik begitu fenomenal, menarik, mampu menembus batas-batas rasionalitas. Pelaku, tradisi mudik tak bisa dikaitkan dengan asas kenyamananan, keselamatan dan keamanan. Mengingat ketiga hal tadi sulit didapat di sepanjang perjalanan, sungguh langka dan mahal. 
Bisa dibayangkan perputaran rupiah untuk semua urusan bagi biaya mudik lebaran ini, "Inyong wis nabung pirang pirang wulan, lha sekarang habis dalam sedina, dasar nasib sedang gemblung!". 
Namun bagaimanapun ruginya mudik, tradisi ini telah berhasil membuka katup sosial, yang sulit terjadi dalam situasi di luar lebaran. Saat itulah mereka menemukan kembali keakraban, kekerabatan, dan solidaritas dengan orang-orang di kampung, tanpa mempedulikan status sosial atau kepangkatan. Suasana seperti ini jarang ditemukan lagi di kota-kota besar, tempat para pemudik selalu berpacu dengan waktu, berburu harta. 
Dan kadang tidak tahu semua itu untuk siapa.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE