Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag SURABAYA
Tak perlu sangkur.
Tak perlu senapan, apalagi bom.
Tak perlu. Tak perlu semua itu.
Tahun 1992, sebuah buku dengan judul "The End of History and the Last Man" diterbitkan.
Lalu, dunia geger.
Akademisi dengan genitnya berpolemik, sedang pemerintahan sibuk dengan agenda paket paket programnya.
Hiruk pikuk seperti panitia hajatan.
Penulis buku itu adalah Francis Fukuyama.
Dia menulis, bahwa puncak evolusi pemikiran manusia di bidang politik adalah Demokrasi Liberal, sedang di bidang ekonomi adalah kapitalisme pasar bebas, Laissez Faire Political-Economy. Ini semacam Manifesto Kapitalis ala Fukuyama. Lawan dari Manifesto Komunis dan Das Kapital ala Karl Marx. Mahasiswa yang terlanjur mendalami ideologi Marx bakal keseleo otaknya karena akhir ideologi justeru terminal pada kapitalisme dan neoliberalisme, Tapi mahasiswa jangan putus harapan karena setelah ini akan ada yang lain Manifesto blasteran Komunis dan Specter of Marx Derrida.
Manifesto Fukuyama, sebuah Thesis dengan kesan gagah, apalagi dilaunching setelah kebangkrutan Eropa Timur, kegagalan ekonomi Soviet Uni, dan berpalingnya China, juga Amerika Latin dari cita-cita komunisnya. Kemudian disusul bersamaan di belakangnya, secara beruntun, kejatuhan rezim sosialis di seluruh dunia.
Nampaknya, Fukuyama tak sendiri.
Di sebelah barat sana, bergaung nyaring suara kemenangan menyambut.
'Washington Consensus' buru buru dirumuskan.
Sebuah cikal kelahiran 'madzab ekonomi varian baru' yang di kemudian hari disebut sebagai paham Neo-Liberalisme.
Dari sini International Monetary Fund (IMF) beroleh dasar kebijakan sekaligus legitimasinya.
Negara maju dan banyak negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi bertepuk tangan, kecuali Indonesia. Negara ini seperti si gagap yang bingung.
Meski saat itu ekonomi Indonesia tumbuh rata rata di atas 7 persen, namun pemerintah negara ini gundah dengan thesis Fukuyama.
Betapa tidak.
Pandangan Neo-Liberalisme adalah metamorpose dari aliran Fundamentalisme-Pasar, seperti yang pernah digagas oleh Adam Smith.
Madzab ini sejatinya adalah pandangan dari teori Neo-Klasik dalam wujudnya yang baru.
Bedanya, yang lama ditopang oleh politik kekerasan alias imperialisme, sementara yang baru belakangan disokong dengan demokrasi liberal.
Neo Liberalisme mensyaratkan adanya demokrasi dan pasar bebas.
Justeru di sinilah beratnya.
Rezim berkuasa terlanjur menikmati status quo, terlanjur establish. Terlanjur nyaman, mapan.
Padahal, kita tahu, rezim kala itu bukanlah merupakan hasil dari pemilu bebas. Negara tidak diurus oleh pemerintahan sipil yang transparan. Militer masih bercokol di semua lini, belum juga ditarik atau enggan ke barak.
Pendek kata, kita sama sekali belum demokratis.
Di luar itu, struktur ekonomi kita masih rapuh. Kalaupun terkesan kuat, itu karena disangga oleh ekonomi konglomerasi.
Sayangnya lagi, konglomerat kita tidak tumbuh dari hasil tempaan mekanisme pasar, namun justeru ia ada dengan sengaja direncanakan, dilahirkan, dibentuk oleh rezim.
Ia nyaris bebas dari persaingan pasar.
Negara dengan berbagai regulasi, juga bermacam cara, melakukan intervensi, memberi prevelese, dan kemudahan lainnya bagi konglomerat gadungan ini.
Dengan kata lain, masih belum ada ruang bagi laissez faire di Indonesia. Sekaligus juga, tak pernah terbentuk 'kelas menengah' di situ.
Dan sebenarnya, pada wilayah inilah, investasi asing merasa terancam kepentingannya akibat model kebijakan ekonomi Indonesia. Negara yang tak mau berposisi sebagai penjaga malam, niscaya menegasikan persaingan fair dan sehat.
Negara semacam itu pastilah terlihat seperti nenek yang ceriwis: terlalu turut campur!
Di lain pihak, Barat dengan segala 'lembaga donor' dan segerobak kepentingan membonceng di belakangnya itu, dari waktu ke waktu, mengintimidasikan madzab barunya ke segenap pelosok 'desa dunia'.
Dan Indonesia sudah kepalang tanggung kebablasan meratifikasi pengintegrasian dirinya ke dalam konstelasi rimba ekonomi Internasional.
Padahal bekal yang ada dan kita miliki bukanlah kekuatan, melainkan adalah serba ketidak siapan di sana sini.
Demokrasi yang belum wujud, ekonomi yang masih tidak sempurna, di sebelah sini, dengan neo liberalisme, yang mengancam establisme, di sebelah sana.
Sungguh membikin pusing pemerintah saat itu.
mumet!
Sepotong dilema di tengah kue pembangunan yang tak sempat merata ada di depan mata.
Melengkapi buku Pe eR yang telah menumpuk.
Pada situasi demikian, bagi negara, gerakan Pro demokrasi, barisan sakit hati, dan kelompok vested interest yang tak sabar, akan nampak seperti ancaman serius.
Dan memanglah akhirnya, mereka secara tak sengaja bertemu di simpang tiga, pada bulan Mei 1998.
Dengan di atas kepala mereka, terbentang spanduk melintang bertuliskan: REFORMASI.
Sejak itu Indonesia berubah, hingga sekarang. Hari ini.
"Sebuah variabel pemicu perubahan, terkadang hanya terdiri atas sederet kata saja.
Tidak harus berupa bataliyon Pasukan."
Buku Fukuyama itu buktinya.
Tidak harus berupa bataliyon Pasukan."
Buku Fukuyama itu buktinya.
0 wicara:
Posting Komentar