Oleh: Achluddin Ibnu Rochim
FISIP Untag Surabaya
FISIP Untag Surabaya
Chicago, 15 Februari 1929.
Pada sebuah garasi, bernomor 2212, terletak di North Clark Street.
Tujuh mayat pemuda ditemukan. Bergelimpangan dengan luka luka serius di sana sini. Bau anyir, tulang, batok, tengkorak, juga tempurung yang remuk tumpang tindih.
Melihat situasinya, mereka seperti habis dibantai dengan cara sadis. Penjagalan itu dilakukan sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 14 Februari. Di hari valentine.
Siapa bilang Valentines Day itu hari kasih sayang?
Tanyalah pada ke tujuh pemuda di garasi itu. Saat jidat mereka dicium moncong yang siap menyalak. Di manakah kasih sayang?
Di Sekuntum bunga? Di kartu warna pink? Ataukah di bingkisan kado, dan coklat?
Kasih sayang hanya hadir manakala hati jiwa melarut dalam ekstase, mengalir pada air mata, menyungging pada senyum, juga terusap pada jemari ibu. Tapi di depan bedil yang terkokang garang, kasih sayang raib, entah ke mana. Dan ke tujuh pemuda itu mengetahui ini.
Ke tujuh pemuda itu, yang juga anggota gangster, tidak pernah nyana, bahwa manusia bisa berhasil mencapai sisi terdalam dan tergelap jiwanya lebihi hewan.
Mereka tidak pernah sangka, manusia bisa begitu berpotensi menjadi Iblis, bahkan mungkin sekian level di atas Iblis, dalam hal kebengisan.
Keheranan yang disertai rasa kaget, sebab justeru merekalah yang diset dalam peran sebagai obyek dari sebuah momen yang membuktikan bahwa Tuhan pun mungkin menyesal pernah menciptakan makhluk seperti para eksekutor mereka.
Saat muda mudi lain sedang rayakan valentine bersama kekasih, tujuh pemuda ini, megap megap, dengan mata mendelik, bergelimang darah menghayati pedihnya eksekusi ala Mafia dan diakhiri terjangan timah panas membentuk lobang pelor pada tubuh.
Kebrutalan yang teramat sulit divisualisasikan.
Black Valentines Day, telah mengakhiri hidup tujuh anggota gangster mafia Bugs Moran hari itu.
Peristiwa pembantaian kejam tujuh anggota gangster ini menggegerkan Chicago.
Ada yang bersyukur.
Ada yang miris ngeri. Ada juga yang tak peduli. Hal yang biasa berlangsung di Chicago.
Semua orang kemudian menghubungkan kejadian itu dengan Al Capone dan para pengikutnya, terutama Murray the Hump dan Jack "Machine Gun" McGurn.
Pembantaian ini sebagai drama balasan atas tersingkirnya Capone dari Chicago.
Siapakah yang telah begitu menakutkan bagi Capone, hingga sang gembong ini lari terbirit birit?
Adalah William Emmet Dever, seorang birokrat yang naik ke tampuk wali kota setelah memenangi pemilihan 1923 di Chicago.
Dengan kursi kekuasaan ia melakukan reformasi besar besaran pada birokrasinya yang sedemikian korup dan doyan suap.
Di bawah kendalinya, Pemerintah kota Chicago melakukan tekanan tekanan berat terhadap penjahat kota. Para gangster dibuat gerah. Salah satunya, ada Al Capone di sana.
Menghindari ketegasan aparat kota, juga kejaran bertahun tahun Eliot Ness dari FBI, tahun 1924, Capone menggeser markas besarnya, ke luar dari yurisdiksi Chicago.
Kota Cicero, Illinois lah yang diincar.
Malang bagi organisasi gangster kota setempat, Capone bersama 'Chicago Outfit' masuk ke sana dengan cara peluru dan darah.
Kematianpun ditebar di mana mana. Kekerasan menguasai jalanan.
Gembong Cicero, Myles O'Donnell n William "Klondike" O'Donnell akhirnya dipaksa serahkan kekuasaan pusat kota yang telah somplak oleh perang gangster itu. Korban tewas lebih dari 200 orang.
Pendek kata, ambulan pada saat itu betul betul dibuat sibuk.
Dengan kemenangannya itu sebenarnya Capone tidak pernah benar benar meninggalkan Chicago.
Ada Murray The Hump alias 'machine gun' di sana sebagai tangan jauh Capone.
Dia lah yang dalangi pembunuhan kejam paling terkenal dalam dunia gangster abad 20. Pembantaian hari Valentine atau The St. Valentine's Day Massacre.
Meski tak seorangpun didakwa atas insiden itu, namun tertangkapnya Capone pada kasus penyelundupan minuman keras oleh Elliot Ness akhirnya menjadi entry poin bagi penjeratan seluruh sepak terjang kejahatan Capone yang lain.
Kasus pembunuhan, penganiayaan, perampokan, pencurian ataupun penyuapan, berhasil diseret ke meja hukum dari kasus ini.
Al Capone akhirnya menyerah pada sang maut karena sakit setelah melewati hari-harinya selama 11 kali Valentines di penjara dan rumah sakit.
Tamatlah sudah lakon seorang God Father yang tak kenal apa itu kasih sayang.
Bagaimanakah dengan 'Capone' 'Capone', modern? Terutama, di Indonesia? Atau 'Kerabat'?
Ah, Andai saja KPK bisa malih rupa menjadi Elliot Ness. Mengawal sang dewi justucia tanpa kenal lelah, tak kecuali di tanggal 14 Pebruari ini pedang tetap dihunus bernyali.
Sayangnya, 'keterlanjuran' tidak bisa ditulis dengan kata 'andai saja'.
0 wicara:
Posting Komentar