Achluddin Ibnu Rochim
Ketika diminta menikahi kekasihnya, Sofyan amat bahagia, namun tak sanggup menanggung biaya nikah, lalu ia pun menulis sepucuk surat dari dalam kamarnya.
"Yayang makasih ya atas semuanya kasih sayang ayang
yg telah diberikan sama aku.
I Love U,"
Setelah menulis kalimat singkat itu, Sofyan mengalungi lehernya pada seutas tali, lalu “krek!”
Sofyan pun tewas tergantung, di kontrakannya, Jalan Karet Barat, Tanah Abang, Jakarta Pusat bulan September 2013.
Berapakah biaya nikah?
Resminya tidak mahal. Tapi tidak mahal bagi siapa? Bagi Negara? Atau bagi Kelas Menengah?
Bagi anda yang hidup di atas garis kemiskinan, kawin itu murah, malah lebih murah dibanding biaya booking prostitute di hotel kelas melati.
Namun kenyataanya, Sofyan mengakhiri hidup gara-gara pusing biaya nikah.
Apakah arti semua ini? Barangkali karena Sofyan miskin, seperti kemiskinan para tetangga yang menangis datang takziyah di hari duka itu.
Ikut menangiskah pemerintah dengan kematian sofyan ini? Rasanya kok tidak!
Sebab meninggalnya sofyan, bagi pemerintah hanyalah sebuah angka tambahan dalam statistik Indonesia.
Ada jutaan Sofyan berserakan di tanah air kita, yang belum beruntung.
Mereka adalah saudara kita yang oleh BPS dicatat resmi, dinyatakan pada angka pengangguran. lihat saja, terhitung per Agustus 2013 jumlah mereka telah melonjak menjadi 7,39juta jiwa dibanding tahun sebelumnya yang sudah mencapai 7,24 juta jiwa. Pengangguran akibat dari PHK besar-besaran.
Mereka dipecat karena banyak perusahaan mogok usaha dan merelokasi usaha keluar. Perusahaan alami lay off, tidak sanggup ikuti kenaikan drastis Upah Minimum Propinsi yang dipatok pemerintah tanpa subsidi. Al hasil, pengangguran di mana-mana. Pengangguran yang berakibat pada kemiskinan.
Kemiskinan yang bisa saja berujung pada kematian, seperti si Sofyan.
Tragedi Sofyan bisa dihindari, jika saja pemerintah memberi subsidi langsung dalam bentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga ataupun subsidi tidak langsung dalam bentuk pembebasan, penyusutan, atau potongan sewa. Bahkan subsidi pekerjaan, bisa pemerintah berikan untuk membayar sebagian dari beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerjaan dan mengurangi pengangguran, dan tidak asal main kebijakan UMP tanpa perhitungan.
Tetapi mengapa pemerintah lebih memilih “sekian kematian sofyan” dari pada memberi subsidi? Padahal pemerintah memiliki dana dari penerimaan negara bukan pajak sebesar 332 196 milyar dan penerimaan perpajakan sebesar 1 192 994 milyar. Meski harus dibagi dialokasikan juga dengan sektor lain, apakah tidak cukup?
Persoalannya bukan terletak pada ‘cukup atau tidak cukup’. Tapi berada pada keberanian pemerintah untuk melawan tekanan dari Badan Khusus G-20. Sebuah badan yang mewakili negara-negara maju terhadap Indonesia untuk menghapuskan berbagai subsidi buat rakyat.
Kata G-20, Kebijakan pemberian subsidi, secara makro, akan bebani perekonomian nasional dan dikhawatirkan akan berakibat buruk bagi negara-negara anggota G-20 lain.
G-20 tidak berpihak pada si Miskin.
Sementara dari dalam negeri, pemerintah terlalu takut dengan kelompok dominan yang selama ini ikut serta dalam proses pendistribusian dan pengalokasian sumber-sumber melalui keputusan politik sebagai upaya menegakkan pelaksanaan keputusan politik. Akibatnya Pemerintah mengalokasikan sumber-sumber yang langka pada beberapa kelompok dan individu, tetapi mengurangi atau tak mengalokasikan sumber-sumber itu pada kelompok dan individu yang lain.
Karenanya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan pernah menguntungkan semua pihak. Terutama si melarat yang diragukan pernah bayar pajak.
Logika senjang akhirnya yang bicara: “Sebab si Melarat tak bayar pajak, maka nasibnya tidak akan pernah dapatkan akses pada kue yang terhidang di meja pembangunan. ” So, mati sajalah kalian, dari pada bebani neraca APBN!
Di ujung sana, saya melihat sofyan yang lain sedang mempersiapkan tali.

https://orcid.org/0000-0003-2892-5411
0 wicara:
Posting Komentar