Achluddin Ibnu Rochim
Ndra..
Trotsky, pemikir dari Soviet itu Kepalanya retak. Pecah oleh sebuah kapak yang dikirim dari Kremlin.
Tewas mengerikan oleh suruhan kamerad sendiri. Sesama komunis!
Bagaimana menjelaskan ini? Tak perlu dijelaskan.
Sejarah acapkali diisi dengan perang saudara. Soekarno yang memenjarakan syahrir. Ce yang tewas di sebuah lembah sepi Bolivia, sementara El comandante Castro tetap nyaman mengisap cerutunya di Havana.
Tak kurang tokoh politik saling berlawanan sebelumnya pernah berkawan. Bersama-sama dalam proses perjalanan, seiring dalam medan pergolakan. Dan di ujungnya bisa binasa di tangan kawan sendiri.
Tak terkecuali juga pergerakan reformasi di Surabaya, Ndra.
Saat itu, sehari sebelumnya, kita bertengkar hebat. Bersitegang mengenai bagaimana seharusnya pola gerakan dilakukan.
"Tapi kamu tidak seharusnya biarkan mahasiswa diboncengi oleh APR Kota, Ndra!" Protes seorang kawan disebelahku, inisialnya AS. Aku hanya bisa termangu saksikan pertikaian itu. Sedih. Mengapa harus berbeda dalam cara? Toh tujuan sama: Pembebasan Indonesia dari tirani.
Pada akhirnya, kamu mengalah. Tapi aku tahu kamu tidak kalah. Kamu hanya inginkan mahasiswa tidak terpecah. Itu saja.
Hari berikutnya kendali atas gerakan mahasiswa akhirnya kau serahkan ke Desta! Dengan begitu mahasiswa sepenuhnya dalam satu komando Kota.
Aku tahu kerisauan hati kamu, Ndra. Tapi biarlah semua sudah terjadi. Dan derap perubahan tidak bisa ditarik kembali.
Untuk alasan semua itu, aku mengajakmu keliling Barat Indonesia.
Dan kamu masih ingat, Ndra? Seusai berdemonstrasi dengan yel-yel serak kita cabut menuju terminal.
Eskalasi demonstrasi sudah meningkat grafiknya.
Gawat! Mahasiswa sudah miliki nyali menggantung patung Ikon Orde Baru di Perbanas.
Aku, kamu, juga mereka menggigil kedinginan, tapi tangan tetap berusaha mengepal. Momen yang bergairah dalam hajaran deras hujan yang kuyup.
Usai demonstrasi, tanpa ganti baju kita pesan tiket Lorena sore itu. Kita tinggalkan Surabaya dalam suasana yang risau.
Polisi dan tentara sudah ada di tiap sudut kota. Tapi kita tak peduli, tujuan Sumatera telah aku rencanakan masak-masak. Tapi Ndra, bukankah akhirnya kita selalu mampir pada tiap kampus yang kita singgahi? Informasi kita bagikan, sebaliknya keterangan kita dapatkan. Semuanya mengarah pada kesimpulan: Situasi kondisi nasional sudah matang dan siap!
"Ibu pertiwi sedang hamil tua" kata orang sebelum jaman kita.
Jawa tengah yang nampak hijau dan damai, kita lewati: tapi sebenarnya kita tahu kawasan itu juga gemuruh dalam sekam. Sebaliknya, Jakarta teramat gelisah, tak sabar, segera ingin berbuat, kita pun mampir untuk berbagi.
Hingga pada hari ke dua, kita sampai di Bandar Lampung. Tiba di sana malam hari, kita sempatkan makan malam di warung sambil menguping: apa gerangan yang sedang di alami kota tanggung dan muram ini?
Perjalanan berlanjut, dengan alamat yang tidak pasti. Tapi takdir membelokkan langkah kita untuk singgah di Palembang. Lama sekali kita tatapi Jembatan Ampera yang menantang Sungai Musi.
Dua mahasiswi kita jumpai di sini. Hitung-hitung dari pada cari kawan belum pasti, maka dua gadis ini bisa jadi agen kita.
Menyusuri sungai Musi hingga muara perahupun membelah laut ke arah Bangka dan Belitung: kabarnya di sana masih banyak handai tolan tokoh gerakan jaman Orde Lama. Siapa tahu kita dapat menimba ilmu lagi.
Tapi sayang kita tak beruntung. Selama berhari-hari nasib terkatung-katung. "Kita bawa barang yang separo ini pulang ke Jawa!" Katamu saat itu.
Dan kamu masih ingat, Ndra, kita ditahan oleh polisi di Palembang bertepatan dengan Sumatera yang mulai terbakar.
"Medan rusuh!" Kata orang lewat di dekat terminal kala itu. Dalam hati "apakah jawa juga alami hal yang sama?"
Kamipun pulang, seusai berurusan dengan polisi yang menahan kami.
Sekian hari kemudian Reformasi memekik di sana-sini. Transisi sedang dimulai! Kemudian rakyat ikut bernyanyi di antara dentuman dan salak amunisi.
Aku menepi di batas netralitas, sendiri, mengeja histori tentang anak-anak negeri, kucatat teliti seraya nikmati sunyi.
Sedangkan dirimu? Kau pimpin belapis-lapis barisan dengan segenap atribut dan panji. Seraya kepalkan tangan berteriak: Reformasi!!! Reformasi!!!
Reformasi!!!
Untungnya, sejarah Trotsky tak pernah terulang di sini.

https://orcid.org/0000-0003-2892-5411
0 wicara:
Posting Komentar