data-ad-format="auto"

BINATANG EKONOMI LEBARAN

Achluddin Ibnu Rochim

Di tengah Mall yang sibuk dan sesak nafsu belanja ini, mungkin hanya saya yang tertegun.
Baju, celana, sandal, juga sepatu hilir mudik antara display, stock, hingga kassa, tanpa jeda.
Hingar bingar musik padang pasir disela siaran dari bagian informasi bercampur dengan gelak gurau Spg dan kecerewetan pembeli kue sajian, warna warni. Begitu pekak!
Dengan perasaan masygul saya bertanya dalam hati, apakah surau yang malam ini saya tinggalkan juga sesak oleh para jama ah sholat tarawih?
Rasanya, kok, tidak.
Ritual puasa ke arah hari 'H' Idul Fitri telah malih rupa dari essensi nilai agama menjadi formalisme kultural.
Semua jerih upaya berbulan bulan bagaikan ditumpah ruahkan sepenuhnya untuk persiapan 'lebaran'.
Segera, saat itu juga.
Saya membayangkan betapa kencang peredaran uang untuk biaya prosesi tahunan ini. Dan gubernur Bank beserta para petinggi seringkali meleset mengantisipasi 'lompatan permintaan rupiah dalam bentuk nominal fisik' ini. Indikasinya adalah siang tadi saya tidak kebagian jatah tukar uang baru di Bank.
Maaf, persediaan telah habis, kata mereka. Mangkel rasanya.
THR, bingkisan, parcel, hadiah, amplop, persenan dan sejenisnya, tidak bisa tidak harus ada. Belum lagi rupiah yang diboyong ke desa desa seluruh pelosok negeri. Dan uang tersebut musti 'fresh', baru seperti habis diseterika.
Di acara Hajat kultur nasional ini, distribusi juga alokasi sumber terjadi spontan dan otomatis, tersebar begitu saja. Tanpa perlu kebijakan pemerintah.
Padahal dalam kondisi normal, setengah mati negara kesulitan lakukan pemerataan ekonomi.
Tapi ironinya, tiap kali datang masa jelang lebaran, Negara seperti tak punya daya sama sekali dalam membendung euphoria manusia. Begitu semangat, begitu massive, praktis tak terhalang, bahkan oleh regulasi sekalipun.
Hukum pasar, kendati telah diintervensi negara, mengalami anomali begitu dihadapkan pada momen ini, logika pasar yang jungkir balik sebagai akibat tidak equilibrium antara suply and demand. Permintaan tidak lagi ditilik dari harga, waktu, tempat, informasi dan kebutuhan, tapi lebih karena 'Konsumerisme Buta Sesaat'.
Dalam kondisi demikian, saya menilai, tidak ada warga negara kali ini, sebab yang ada adalah masyarakat 'binatang ekonomi'.
Mengapa?
Karena tingkah mereka bagaikan perilaku Stateless Society. Ada kesan seolah kaum udik ini menegasikan eksistensi negara.
"Negara harus tunduk pada kemauan kami, jika tidak, silahkan buka kantor sendiri, tapi maaf, kami sudah di desa".
Benar-benar, Go to Hell with your Beaurocracy!
Mutlak laisess faire, pasar bebas, tak butuh negara.
Tidak terkontrol, seolah hari esok tak ada lagi!
Bagi mereka, yang penting, asal borong, asal nyampai ke desa, beserta benda dan uangnya. Lain itu, peduli amat.
Mobilitas horisontal dan vertical yang positif ini Jika tidak direspon dengan follow up dari otoritas ekonomi, maka uang yang telah beredar merata ke segenap pelosok negeri ini akan mubazir.
Dan alangkah sayang, jika BRI Unit Desa justeru menyedot kembali uang tersebut untuk diserap ke atas.
Jika demikian, Kantong ekonomi tetap akan seperti hari kemarin. Kembali sediakala. Kemapanan semula, di sana.
Di Kota!


-NyEngiR-

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE