data-ad-format="auto"

LOS

Achluddin Ibnu Rochim
FISIP UNTAG Surabaya


Boleh dikata, minggu-minggu ini merupakan 'Minggu Kegelisahan Nasional'.
Ngaco! Mungkin begitu kita bereaksi, sebab mana ada sebuah minggu dijadikan sebagai minggu kegelisahan? Nasional lagi! Kalau bukan gagasan miring dan ngaco?!
Tapi itulah yang sedang terjadi pada hari-hari ini. Bisa dibilang selama sepekan banyak orang tua merasa was was, khawatir, dan gelisah pada nasib putera puterinya. 
Tapi sepekan? Tergantung! Ini urusan selera. Bisa empat atau lima hari atau bahkan sepekan full. 
Bagaimana tidak, pada pekan ini kita bisa temui bapak-bapak yang terkadang kelayapan tengah malam, atau begadang di rumah mereka. "Lho, bukannya Sepak Bola Piala Dunia sudah kelar?" Betul! Tapi begadang yang ini untuk yang lain. 
Pak Sastro, tetangga sebelah rumah, di tengah batuk asmanya yang kronis, relakan dirinya melekan semalam suntuk. Ia sedang membikin topi kuncung dari kertas kartoon yang dihias tali rafia warna-warni. Pada situasi normal mustahil rasanya ia mau bersusah payah, ia lebih pilih tidur sore, hindari jahatnya udara malam. Tapi apa boleh buat, Bejo, anak bontotnya baru saja diterima di SMA favourite, dan sekarang sedang jalani LOS. 
Bejo sendiri tertidur pulas di antara kertas yang terserak, ia kecapekan sepulang dari sekolah. 
"Nah, selesai, Jo! Jo...Bejo..? Weh.. ladallah lha kok malah... Huaaahhh" Pak Sastro menguap lebar tapi puas dengan hasil karyanya. 
Lain lagi dengan Mbak Marni, seorang ibu, tetangga sebelah Pak Sastro juga begitu. Pagi habis Subuh sudah uring-uringan ke Susy anaknya yang juga baru masuk sekolah: "Coba Sus, kamu bilangnya tadi sore! pasti ibu belikan di mini market! Nah kalau sudah begini?! Mana ada toko buka pukul seginii?! Sekolahmu juga itu, kok ya aneh aneh yang diminta! Ha mbok ya minta duwit aja! Daripada minta bawang putih, pake meter segala!!" 
"Diameter, Bu..." Susy membenahi. 
"Terserah apa namanya! Meter kek! Dinamometer kek!" 
"Diameter, Bu.." 
"Sudah! Sekarang kamu bantu ibu ke dapur! Kita lem saja bawangnya!" 
Untunglah mereka dapat akal, sekian siung bawang putih direkatkan satu sama lain akhirnya terbentuklah bawang putih sesuai dengan diameter yang dikehendaki. 
LOS, kata orang kependekan dari kata: Layanan Orientasi Sekolah. 
Dari terminologi yang ada nampak bahwa LOS bertujuan amat mulia, yakni sekolah sisihkan waktu. Entah berapa lama, yang jelas itu amat berharga. Sekolah juga sediakan tenaga, pikiran, dengan berbagai fasilitasnya pada siswa baru, untuk mengenalkan lingkungan sekolah pada siswa baru. 
Kegiatan ini seharusnya mendidik sekaligus menyenangkan. 
Tapi mengapa banyak di luar sana orang tua peserta didik pada kebakaran jenggot? Mengapa Media Massa perlu repot repot susupkan pada rubrik mengenai kegelisahan Nasional ini? 
Ini tidak lain karena LOS yang begitu menakutkan. Momok bagi calon siswa baru. Kesenangan plonco, ajang balas dendam bagi siswa dari kelas lebih tinggi. Lebih umum lagi: Keresahan pada sekala luas. 
Mengapa tidak dihentikan saja LOS ini? 
Susah! Ini tradisi Bung! Kalau dihapus, dimana upacara penyambutannya?? Gak seru! 
Bangsa kita memang terlahir sebagai bangsa yang suka protokoler, sebentar sebentar seremoni, sebentar sebentar upacara. Lebih memilih simbol-simbol formal ketimbang hakekat yang lebih essensial. Gunting pita lebih aksi daripada diskusi. Juga pada peristiwa penyambutan siswa baru ini, LOS atau apapun kita namakan, ia hanyalah varian baru di antara jenis jenis upacara tradisi yang turun temurun. Terwariskan dari generasi satu kepada generasi yang lain. Akhirnya yang menjadi korban dari LOS ini adalah orang tua. 
Dan setiap upacara selalu ada Inspektur juga ada anggota upacara, bedanya pada upacara berbentuk LOS ini peserta upacaranya bertambah, bukan hanya siswa baru, tapi juga orang tua: yang tak berseragam, tapi gelisah campur marah sedikit keki!

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE