Zona melarat, Surabaya barat, 31 Januari 2012,
Dalam sebuah kekumuhan yang hiruk pikuk.
Sebut saja, Kacong. Begitu ia biasa dipanggil.
Usianya belum genap sepuluh tahun.
Tidak ada yang istimewa dari bocah ini. Selain tubuh dekil, jarang mandi, ia berpostur kerdil dengan sedikit otot bisep di lengan.
Dalam sebuah kekumuhan yang hiruk pikuk.
Sebut saja, Kacong. Begitu ia biasa dipanggil.
Usianya belum genap sepuluh tahun.
Tidak ada yang istimewa dari bocah ini. Selain tubuh dekil, jarang mandi, ia berpostur kerdil dengan sedikit otot bisep di lengan.
Nama sebenarnya, Raihan. Julukan Kacong didapatnya dari anak anak berandal, yang juga teman 'operasi'nya di sebuah pasar induk kawasan Surabaya Barat.
Kelebihan Kacong hanyalah, di luar jam 'kerja'nya, ia masih mau pergi ke sekolah, meskipun itu sekadar asal sekolah.
Tak ada yang tahu persis, dari mana asal usul Kacong ini. Tapi, kabarnya, ia dilahirkan di sepetak kamar kost, yang ia huni bersama bapak, ibu, dan kakak kakaknya.
Ibu Kacong adalah orang rumahan. Bapaknya, kerja sebagai penarik becak. Sementara kakak kakaknya tak jelas apa kegiatannya. Hanya saja, beredar kabar santer, mereka sering dicari cari polisi. Mereka menjambret bahkan merampok dengan tak segan segan disertai kekerasan.
Di tengah keluarga seperti inilah Kacong kita hidup.
Sudah dua bulan ini saya melihat perubahan pada Kacong. Ia mulai mengenal 'uang'.
Dia memperoleh uang itu dari jual jasa otot.
Ia menjadi kuli angkut.
Sekali jinjing, PP dari pasar ke halaman parkir, rata rata tiga ribu untuk sebungkus ukuran tanggung belanjaan.
Saya merasa senang dan was was, berkecamuk jadi satu. Gembira sebab dengan begitu dia terlepas dari gank copet nya. Khawatir karena dengan dunia kerja, ia akan merasa nyaman di posisinya yang sekarang, kemudian meninggalkan sekolah.
Pada sebuah negara, dengan pemerintahan yang korup, dan bercokol di dalamnya para Kapitalis Birokrat, yang didukung oligarki Parpol hitam, maka tak ada yang bisa menolong Kacong, kecuali hanya dua: Tuhan dan sekolah.
Hanya dengan cara bersekolah, ia dimungkinkan dapat memotong salah satu mata rantai dari lingkaran setan kemiskinan yang membelit keluarganya.
Kemiskinan yang melibat keluarga Kacong bukan saja kemiskinan relatif, tapi sudah sampai pada taraf kemiskinan absolut. Pendapatan bapaknya tidak lagi cukupi kebutuhan keluarga, bahkan dengan kualitas minimum sekalipun. Harga sandang, juga pangan, tak terjangkau oleh mereka, apalagi perumahan.
Persinggungan dengan Kacong ini melemparkan saya pada sebuah teori lingkaran kemiskinan atau The Vicious Cycle Of Poverty. Bahwa seseorang miskin karena memang dari sononya miskin, sehingga harus ada ikhtiar dari luar (invisible hands) yang memberi keberpihakan. Hingga seseorang dapat dilepaskan dari lingkaran kemiskinan.
Seseorang miskin karena tidak produktif.
Seseorang tidak produktif karena tidak terampil.
Seseorang tidak terampil karena tidak terdidik.
Seseorang tidak terdidik karena tidak memiliki beaya.
Seseorang tidak punya beaya karena miskin.
Lingkaran ini berjalan terus menerus, berputar-putar.
Sayangnya, para ilmuwan kita banyak yang belum memiliki kesalehan sosial, sehingga belum ikhlas mengamalkan ilmunya tanpa disertai pamrih 'proyek' ataupun 'popularity'. Pun pemerintah belum juga sempat merumuskan model pengentasan kemiskinan berkarakteristik indonesia. Pemerintah lebih sibuk dengan program hasil dikte pendonor, juga pencitraan gaya homo nya itu.
Lalu sekarang siapakah yang akan bantu si Kacong?
Padahal dia tak sendiri.
Banyak Kacong lain berserakan di negeri ini. Di antaranya, adalah mereka yang saya jumpai di lorong-lorong kumuh, di sudut-sudut kota Surabaya. Nasib yang menjepit menterpaksakan mereka jadi copet, maling, jambret, bahkan rampok!
Mereka menjadi penjahat karena terjebak dalam sebuah format yang saya istilahkan dengan 'Structuralisme Criminality'.
Faktor mendasar adalah Negara tidak becus laksanakan pasal "fakir miskin" pada konstitusi kita. Karenanya, oleh desakan kemelaratan, bapak mereka bermasalah dengan aturan main negara ini.
Dasar nasib lagi apes, mereka tertangkap Polisi. Kemudian sistem hukum kita, sebelum mengirimnya ke meja hijau memerasnya habis-habisan.
Hukum kita yang telah dijauhkan dari 'rasa keadilan' oleh aparat hukum itu memfonisnya dengan kerangkeng untuk jangka tempo yang teramat panjang.
Kerap kali keputusan hakim, untuk masa penjara yang harus didekami terpidana tidak sebanding dengan perbuatan yang didakwakan. Jauh dari 'memenuhi rasa keadilan masyarakat'.
Ironis.
Hukum kita, de facto, bekerja bukan demi keadilan, tapi untuk hukum itu sendiri.
Para pendekar hukum kita seperti sudah lupa pelajaran 'sosiologi hukum' di semeter awal, semasa mereka kuliah dulu. Sehingga yang terjadi adalah: Pada saat palu hakim diketukkan, saat itu pula Negara merampas satu-satunya tulang punggung sebuah keluarga.
Praktis, dalam masa penantian panjang sebelum si terpidana keluar penjara. Keluarga ini harus tetap makan. Dan ibu yang berusaha gantikan peran bapak memberi makan keluarga. Ke sana ke mari mencari pekerjaan legal, hasilnya, mentok. Masyarakat, juga kita menolaknya.
Kita barangkali takut, atau khawatir kalau-kalau penyakit jahat sang bapak bakal menular ke ibu.
Sulit bagi masyarakat untuk menerima keluarga 'penjahat', apalagi memperkerjakannya.
Mustahil.
Bagi sang ibu, jika sektor 'terang' menolaknya, maka tak ada pilihan lain, sektor 'gelap' pun diterjuninya. Ia akhirnya memilih menjadi pelacur.
Celakanya, pelacur kelas pinggiran juga tak luput dari incaran aparat. Bila tertangkap, maka habislah sudah 'soko guru' ekonomi keluarga tadi.
Dalam situasi buntu begini, anak-anak mereka, merasa, seolah negara, masyarakat, juga dunia perlakukan mereka dengan tidak adil. Semua pihak seperti memusuhi mereka.
Bagi anak-anak itu, hidup yang keras luar dalam semacam ini akan terdengar seperti bunyi sebuah seruan perintah: Sikat saja mereka! Ambil hartanya! Bila perlu habisi, Bunuh!
Dan Anak-anak ini akhirnya menjadi penjahat.
Penjahat yang sebenar-benarnya.
Kacong kita pun dengan segera akan paham tanpa diberitahu: bahwa Sistem kitalah yang menggiring dan menjerumuskan mereka pada profesi Penjahat.
Saya berharap, takdir hidup Kacong alias Raihan ini akan tetap harum semerbak sebagaimana nama nya: Raihan, yang berarti wewangian syurga.
Karenanya, 'Sekolah', 'kita', ataupun 'yang lain' tidak boleh dan jangan pernah mengirim Kacong ke penjara, atau Kantor Polisi. generation Cost nya akan terlampau mahal.
0 wicara:
Posting Komentar