data-ad-format="auto"

DUA SISI KOIN LINGKUNGAN

Achluddin Ibnu Rochim
FISIP UNTAG Surabaya


Tahun 1986, sebuah galeri didirikan. Tepat di jantung kota New York. Namanya, Balinesia Inc. Sangat anggun, juga mentereng. Lebih-lebih di dalamnya terpajang berbagai koleksi hasil kerajinan perak. Banyak pahatan, banyak ornamen, banyak juga relief serta patung. Ke semuanya bergaya Bali Herritage. Rata-rata bandrol berkisar antara US$ 100 hingga US$ 350 untuk selingkar cincin dan seuntai kalung. 
Galeri ini dibangun oleh Desak Nyoman Suarti, setelah si mantan penari kelahiran Ubud ini, melanglang dunia sosialita, London, Jerman, dan negara-negara Eropa lain. Tak ayal, nama dia menjadi jaminan merek desainer perak kelas atas. Pesananpun membanjir. Dari selebritis dunia hingga komunitas Value Vision, sebuah jaringan televisi belanja Amerika. Bahkan Majalah Vogue Alture sempat mengulas di rubriknya. 
Beroleh berkah seperti itu, lantas Suarti bersama Peter Luce, pulang ke Bali dan mendirikan PT Suarti. Kepalang tanggung, diakuisisi nya juga sebuah perusahaan perak Kanada, Bali Inc. 
Dengan Suarti Design Centre sebagai pusat ide, plus 5 miliar dana, ia produksi besar-besaran. Paberik ia pusatkan di Desa Ketewel, Gianyar. Omzet 90% karyanya diekspor ke AS, Australia, Eropa dan negara-negara Asia. 
Sebuah prestasi ekonomi yang laik diacungi dua jempol. 
Dan memanglah, industri apapun dengan nilai ekonomi tinggi adalah jalan menuju kemewahan dunia. 
Tapi tahukah Tuan. Berapa ongkos untuk menukar semua kemewahan kota New York dan kota-kota besar di dunia itu, jika seluruh benda seni dibuat di Indonesia? 
Sekian jiwa penderita. 
Ya penderita atau calon penderita. Karena luxury itu ternyata tebusannya adalah onggokan limbah dan mungkin radang, atau malah mungkin TBC. 
Pun Desa yang ketiban 'apes' karena ketempatan paberik, tentu akan bertambah lagi PeEr nya. Mereka harus mau repot tangani lingkungan. 
Kita bisa bayangkan jika sebuah industri rata-rata 3 bulan habiskan bahan baku satu ton perak, kemudian masih ditambah lagi berbagai bebatuan, lantas bagaimana dengan output sampahnya? 
Gaya hidup Mega City, agaknya telah kita tukar dengan 'derita' agar kita tetap bisa makan. Dan harga kita amatlah terlampau murah. Sekian detik usia kita berkurang terus setiap saat, hanya untuk satu lingkar cincin. 
Semakin kencang 'Go and Get it', demikian mereka istilahkan pola pemasaran jemput bola, maka semakin bertambah penderitaan dan kesengsaraan. 
Apalah arti kemakmuran kelas tertentu jika alat tukarnya adalah kepedihan? 
Apa hebatnya bisa tampil di wholesale, home shopping network AS dan Inggris, kalau cara berdiri kita saja harus disangga dengan alas kaki, yang terdiri atas manusia bangsa sendiri? 
Karena ketidaktahuan, barangkali. Kalau demikian adanya, yang bisa kita lakukan hanyalah permakluman. Kita, mungkin karena kurang pendidikan, atau sebab bukan ahli di bidang lingkungan, kerap kali mengabaikan hajat hidup generasi mendatang, menganggap remeh, apalagi jika terdapat komoditi dan gemerincing dollar di sana. So, what ever you say, goods must go on! 
Dua sisi dari kepingan koin yang bernama Lingkungan. Teramat dilematis. 
Di lain sequen, pernah di sebuah kota yang bernama Denpasar, saya dibuat takjub. Terkagum-kagum oleh secarik kertas kerja yang diberi tajuk 'Dream And Hope of Young Balinese On Environmental Sustainbility'. 
Bagaimana tidak, perumusnya adalah mereka anak remaja yang masih mengenakan seragam sekolah menengah. 
Pada salah satu rekomendasinya adalah berisi sebuah ajakan. Mereka ingin agar pemerintah dengan segera mengkampanyekan Hari Sunyi Dunia. Saya kira, dengan DAU sebesar 381.538.038.000 ajakan sang belia ini tidaklah berat, apalagi populasi total hanya 788.445 jiwa, itupun tersebar di 4 Kecamatan dan 43 kelurahan. 
Tujuan para muda itu adalah, dengan kesunyian, maka kita praktis menghentikan berbagai aktivitas. Tak ada listrik, tak ada asap. Indahnya lagi, yang mereka minta bukan waktu yang panjang, hanya selama empat jam setiap tanggal 21 Maret. Nampaknya mereka sudah muak dengan udara kota yang tak lagi bersih. Ada suara yang ingin mereka sampaikan pada kita: pliss...kurangi emisi gas. Kami dan kelak anak cucu kami tak mau hidup di habitat yang bukan seperti nenek moyang kami pernah tinggal. So, stop pemanasan global! 
Anak muda ini tidak berlebihan, karena setiap hari tak kurang diproduksi 800 meter kubik sampah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, belum lagi ditambah sampah industri. 
Parah! 
Tiba-tiba mereka mengingatkan saya pada sebuah gagasan besar mengenai Pembangunan Berkelanjutan. 
Letupan ide ini pertama kali muncul tahun 1972 pada KTT tentang Pembangunan dan Lingkungan di Stockholm, Swedia. 
Rupanya PBB berkehendak atas terwujudnya konsep pembangunan berkelanjutan, agar dimanifestasikan ke arah proses pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. 
Konsep mulia, terlebih demi terpenuhinya kebutuhan manusia agar hidup dan kehidupannya sejahtera, lahir dan batin. 
PBB mau setiap pembangunan harus diorientasikan tidak saja pada dimensi ekonomi, tapi juga dimensi sosial dan ekologi. 
Capaian pembangunan yang hanya ber acu ke pertumbuhan (growth) ekonomi akan berakhir dengan tumpukan kekayaan yang dibarengi isak tangis nestapa. 
Lihatlah bagaimana free port di papua, new mount di sumbawa, timah di bangka belitung, dan tambang lain yang meluluh lantak pertiwi. 
Tengok juga kerusakan hutan kita, dari 112 juta hektar hutan di Indonesia saat ini kerusakan mencapai 59,2 juta hektar atau 2,83 juta hektar per tahun. Kalau dibiarkan maka dalam 10-15 tahun mendatang Indonesia akan menjadi negara padang savana. 
Karenanya pembangunan juga mesti didekati dari dimensi sosial agar bermuara pada tercapainya stabilitas dan harmonisasi sosial. Dengan begitu kita bisa hidup dengan tidur nyenyak, ongkang kaki, atau nikmati kursi goyang, tanpa konflik yang meletihkan. 
Di luar semua itu, kita tidak boleh alpa bahwa ada dimensi ekologi di sana, yang ini berakhir pada tetap terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan. 
Bukankah ekosistem yang seimbang adalah merupakan aset juga? Sebagai modal pembangunan, juga sebagai habitat dari makhluk hidup yang ada di dalamnya, berinteraksi satu sama lain. 
Juga interaksi dengan kita, manusia. 
Agar kita, manusia selalu ingat darimana asal hidup bersumber. 
Ah...

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE