data-ad-format="auto"

Emoh ISMAIL,

Emoh ISMAIL,


Achluddin Ibnu Rochim 

Ismail, dalam tradisi Eropa sering disebut sebagai Samuel. Ia dikenal sebagai manusia paling taat pada perintah Tuhan, sehingga nyawanya pun diberikan untuk kurban. Samuel yang berseru kepada Abraham, bapaknya, untuk segera lekas menebas lehernya: ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shâffât, [37]: 102).
Samuel yang teramat patuh siap disembelih, akibat sebuah ucapan Abraham, ketika Malaikat terkagum-kagum atas kurban Abraham 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. “Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku kurbankan kepada-Nya,” seruan Abraham ini kelak berujung pada Heroisme Samuel dan upacara Kurban pada tradisi Muslim.
Tapi Ismail yang saya maksud bukanlah Ismail yang itu. Ini Ismail yang lain. Ismail yang ini adalah mahasiswa kampus. Ia berasal dari luar kota, atau lebih tepatnya anak desa. Sebagaimana laiknya pendatang dari wilayah rural yang meng urban kan diri masuk ke metropolis, maka Ismail ini juga memiliki kegagapan tersendiri menghadapi gaya hidup metropolis. Meski agak kedodoran ikuti trend berbusana, setidaknya ia masih sempatkan diri berdandan. Beruntung ia memiliki wajah yang lumayan: ganteng jawa. Tampilan nya dibuat (atau setidaknya berusaha sekuat tenaga supaya) modis dengan syle tatanan rambut Caesar Haircut. Agar tetap klimis secara teratur ia meminyaki rambut, akibatnya, seringkali keningnya mengkilap karena luberan minyak yang turun ke wajah: Waduhh, Bathukku keno lengo, piye iki Pak?! Panik Ismail suatu ketika dengan logat jawa medhok.
Kendati beda zaman, beda kultur, juga beda bentuk pengurbanan, Ismail kita ini ternyata memiliki banyak persamaan dengan Ismail yang Samuel itu. Ismail kita adalah Ismail yang sedang mencari. Ismail yang berproses, sekaligus Ismail yang gelisah. Ismail yang tidak pernah terima. Ismail yang sang Kurban keadaan. Ismail yang melawan. Karenanya, saya sering menyebutnya sebagai Ismail Sang Pemberontak.
Pemberontakan Ismail bukanlah dalam wujud fisik seperti angkat senjata, makar, kudeta, revolusi kekuasaan dan sejenisnya, tidak. Ia jauh dari itu semua. Bahkan dalam keseharian ia mengesankan diri sebagai seorang yang santun, seorang yang kompromi: seorang Moderat.
Pemberontakan Ismail berbentuk sebuah kata: EMOH. Ismail berkata “emoh” pada model masyarakat yang masih terdapat Budak, sang Pelayan, dan Ciptaan. Bagi Ismail, penting budak melawan majikan, pelayan melawan kelas penindas, dan ciptaan melawan pencipta secara metafisis, tentu saja. Emoh nya Ismail di sini sebangun dan sama arti dengan yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni: TIDAK. Dan ini mengingatkan saya pada ucapan Albert Camus, bahwa Pemberontak adalah orang yang berkata “tidak”. Ia berkata “tidak” karena telah menatap batas-batas sejauh mana ia diijinkan sesuatu yang berharga dan tak tergerus dalam dirinya didominasi orang lain.
Emoh Ismail sebagai perwujudan dari rasa tidak sukanya atas bentuk masyarakat yang masih melanggengkan perbudakan, penindasan kelas, dan dehumanisasi sang ciptaan. Karena bentuk masyarakat seperti ini, bagi Ismail, adalah sama dengan proses mematikan manusia. Menurut filosofis dasar “Kehidupan itu sendiri bernilai” kata Camus, dan Ismail terlalu mencintai hidup, membenci kematian. Ismail akhirnya memberontak. Bagi Ismail, hidup itu manusia, jika tidak hidup maka dia bukanlah manusia, tak ubahnya bangkai semata. Bahwa kematian adalah keniscayaan, Ismail tahu itu. Namun sebelum benar-benar datang sang kematian itu sendiri, maka manusia tidak boleh mati atau dimatikan, manusia harus hidup dan selalu dihidupkan. Jangan ada lagi alasan: karena kematian adalah pasti, maka lalu kemudian manusia dikucilkan dari hidupnya. Tidak boleh lagi ada ajaran seperti itu. Senyampang hidup, manusia harus selalu di tengah-tengah hidupnya. Karenanya, Ismail mengganggap kematian sebagai musuh besarnya. Persis seperti yang diungkap oleh Albert Camus dalam The Plague (1947), “Orang dapat menunjukkan kesetiaan terhadap kehidupan dan dengan begitu ia memberontak melawan kematian”. Sebab itu maka Ismail menyatakan perang terhadap seluruh upaya apapun yang dilakukan manusia lain untuk bekerjasama dengan sang kematian. Bekerjasama dalam memberi penderitaan, kesakitan dan ketidak adilan pada manusia. Wajah kematian seperti yang divisualisasikan oleh oven-oven gas sang Fuhrer, Adolf Hitler. Wajah kematian yang dipraktekkan oleh Stalin di Kamp-Kamp Kerja Paksa Soviet. Wajah kematian yang ditoreh oleh Amangkurat IV pada rakyat kawulanya sendiri saat pepe ngudoroso hingga darah membanjir se alun-alun, adalah bagian dari kerjasama dengan kematian. Ismail mengganggap Tirani, Rezim, Sistem, Negara, Militer, Birokrasi, maupun bahkan Kampusnya sendiri, jika tidak memperlakukan manusia sebagai manusia, maka berarti mereka telah bersekutu bekerjasama dengan sang kematian.
Dan manakala Kematian semakin perkasa karena peroleh sekutu-sekutunya, maka Ismail akan semakin melawan dengan cara mencintai hidup, lantas atas nama Cinta Ismail pun berkurban diri dengan cara berikan energi raganya, juga waktu sempitnya menggelar Tikar atau Karpet pada ruang-ruang dan pojok-pojok kampus guna memperkuat barisan persekutuan hidup. Tekatnya: Kampus ku harus selalu menjadi agen “penyelamat kehidupan”.


Hidup Ismail !!!



0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE