data-ad-format="auto"

CABUT SUBSIDI ATAU JUAL PERTAMINA?

Achluddin Ibnu Rochim

Sebagian orang pintar barangkali akan sulit tidur, memikirkan ini.
Menaikkan harga BBM, sebenarnya persoalan 'cabut subsidi' ataukah 'modus operandi' untuk sebuah rencana keji penguasa menjual PERTAMINA?
Saya pribadi dengan tulus mengucapkan belasungkawa kepada bangsa Indonesia, karena SPBU semacam Shell yang notabene kompetiter kita, mulai marak dijubeli oleh konsumen kita.
Ini sungguh bukan masalah iri dalam persaingan dagang. Bukan. Tetapi ini lebih merupakan kecintaan saya pada produk nasional yang tercabik-cabik. Saya menyaksikan kekalahan produk nasional atas asing di rumah kita sendiri.
Kita bisa mulai menghitung: BBM Shell di SPBU mulai menangguk untung. Pelan namun pasti, akibat perbedaan harga yang tipis dibanding produk Pertamina.
Saya jadi teringat deviasi harga di masa Rezim penguasa SBY. Di mana space margin antara Shell dan Pertamina masih berjarak cukup jauh. Ketika itu saya tak kawatir sama sekali. Bahkan dada saya membusung, bangga atas larisnya produk nasional kita, Pertamina.
Kini pemandangan itu perlahan bergeser. Tidak ada lagi orang kelas menengah ke atas yang mengantre di SPBU Pertamina. Rupanya, perbedaan margin antara BBM Shell dan Pertamina merupakan jawabannya. Orang kaya, si peminum BBM terbesar itu, ogah merusak outomotivenya dengan Ron rendah milik Pertamina. Pilihan akhirnya jatuh pada produksi Shell.
Ada kecurigaan politis saya pada penguasa, bahwa apa yang terjadi merupakan Design sukses, dengan target: Hidupnya asap dapur investor asing. Ya si Shell itu, supaya tetap bisa makan dari uang bangsa kita. Dan siapa tahu? setelah ini akan segera menjamur SPBU Shell di nusantara.
Sebagai pedagang, mustahil mereka yang bercokol sejak 10 tahun lalu itu, tidak berupaya untuk menyamakan harga BBM produk Pertamina dengan harga pasaran BBM asing. Imposible. Pedagang tak mungkin mau rugi, ini hukum alam. So, peran investor hilir migas asing itu, bisa jadi telah berbuat banyak dengan berbagai cara, baik lobby tingkat tinggi maupun perang opini dengan meminjam mulut para pakar kita yang berhaluan ekonomi kanan dan upaya lain-lain. Sayangnya, dulu, niat merkantilis mereka ini selalu gagal dan berujung di tembok tebal: Faktor SBY yang tetap kukuh pertahankan subsidi BBM.
Adakah situasi kini, Shell dan CS nya yang asing itu, sukses jalankan lobi-lobi elit? Sehingga keputusan kenaikan BBM tidak lagi menjadi kendala investor migas asing di sektor hilir? Dan mereka sukses bersaing menggilas lokal? Hanya Tuhan dan para penguasa itu yang tahu.
Bagaimana mungkin saya bisa berongkang kaki? jika arah haluan ekonomi politik kita seperti ini, regulasi minyak kita mengarah pada rezim pasar bebas. Bagaimana saya tidak galau? jika penguasa menjual premium ke pasar dengan membasiskan pada spekulasi NYMEX, dibanding di-distribusikan ke rakyatnya Indonesia yang sebagian besar melarat absolute di tengah buminya yang konon gemah ripah ini?
Sulit memahami, bagaimana bisa terdapat 40 perusahaan asing yang menguasai konsesi berupa lisensi 20.000 hak pembangunan SPBU di Indonesia? Apakah pengusaha nasional kita diremehkan, dianggap tidak sanggup lagi? Saya membayangkan bahwa nantinya akan ada beribu-ribu SPBU Asing berdiri menguasai pasaran dan distribusi ritel hingga ujung pelosok Kecamatan. Mereka menjadi panglima di jalan-jalan raya kita.
Sebuah penggiringan ekonomi Indonesia ke dalam pasar bebas yang mendikte haluan ekonomi rakyat.
Pada sisi lain, mengapa penguasa bisa tega? menghalau orang Indonesia untuk secara terpaksa membeli Pertamax, padahal persediaan Premium masih berlimpah? Mengapa Penguasa justeru hanya ingin menjual Premium ke pasar spekulasi?
'Apalah arti Kemerdekaan bila orang Indonesia tak punya hak-hak ekonomi-nya?' Keluh Bung Hatta, dulu.
Bagi sebagian kita yang cuwek dengan nasib jeritan ekonomi rakyat kelas 'rombeng' boleh saja ucapkan selamat kepada penguasa baru, atas liberalisasi sektor migas ini. Selain itu, boleh juga ditunggu lagi keputusan berikutnya: Jual gas murah lagi ke Cina?
Menyusul sukses yang lalu-lalu, ketika INDOSAT dijual, akankah nanti PERTAMINA dijual? Dengan dalih tidak efisien, korup, kalah bersaing, dan merugi? Sekali lagi, hanya Tuhan dan penguasa itu yang tahu.
Saya, bagaimanapun, tetap menghargai pendapat dari sebagian kita yang justeru mendukung dan menjadi deking atas rencana kebijakan penguasa untuk meliberalisasi sektor migas ini. Tidak berarti saya setuju, namun hanya menjunjung tinggi demokrasi. Bahwa rasionalisasi dan modus operandi serta alasan yang akan digunakan sebagai pembenar mengapa harus 'dijual' mungkin saja berbeda, namun essensi muaranya adalah sama yakni: Upaya menjerumuskan pada Pasar Bebas atas Sektor Hajat Hidup Orang Banyak. Alias menikam konstitusi UUD 1945, serta memasung Sila ke Lima Panca Sila.
Silahkan gunakan modus operandi yang berbeda dengan penguasa terdahulu saat jual Indosat, misalnya menyebut dengan istilah Go Public, Divestasi, IPO, Strategic Partner, Swastanisasi, Privatisasi, atau bahkan De-Nasionalisasi. Silahkan, tapi kami bukanlah orang-orang yang bodoh.
Kami tahu seberapa Nasionalis kalian!
Kami hanya bisa berharap kepada Tuhan supaya membukakan mata hati dan pikiran waras Rakyat Indonesia -yang kemarin sempat khilaf-, Kaum intelektual, dan Mahasiswa sebagai pengawal keselamatan pertiwi dan anak bangsa ini.

Saya Menyaksikan Indonesia dengan Berduka..

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE