data-ad-format="auto"

DISKURSUS, KAMPUS



DISKURSUS, KAMPUS
Achluddin Ibnu Rochim


Di sebuah siang yang panas, lagu asing yang tak pernah kukenal itu masih juga mengalun. Berkumandang malas dari corong radio kabel yang dikelola aktivis kampus. Pelataran Fakultas masih menyisakan bekas aktivitasnya sepanjang pagi tadi. Beberapa kerumunan mahasiswa tampak belum bosan dengan semangat nalarnya. Lamat-lamat terdengar mereka berdebat. Agaknya terdapat tema yang membuat mereka enggan mengalah: Argumentasi harus dikedepankan. Gagasan harus dimenangkan. Diskusi, ya mereka tampaknya sedang diskusi.
Spirit diskusi tak pernah mau mati, tapi juga sepi simpati. Diskusi yang semestinya menjadi ruh dari kampus ini sepertinya kurang berhasil diminati namun juga enggan terhenti. Buktinya, sekarang ini, peserta mereka terlalu sepi.
Kampus, mahasiswa, dan diskursus tak ubahnya seperti jasad, energi dan nyawa. Satu sama lain terhubung dan bergantung, saling menghidupi. Ketiganya membentuk atmosphere akademi, warna warni. Ilmu benar-benar digeluti. Meng ideologi.
Sungguh sebuah potret ideal, sayangnya mengandung kesementaraan. Hingga jaman pun berganti. Menggeser. Menawarkan mode hidup baru. Gaya kampus baru.
Karena tanpa diduga hedonisme telah merasuk hingga jantung inti. Sebuah konsekwensi baru tiba-tiba hadir, kampus mendadak hiruk pikuk seperti hajatan, hingar bingar, sorak sorai. Laiknya sebuah Party. Kampus berubah trendy. Ada musik, ada lifestyle di sini.
Tak ayal budaya Pop juga Snob nongol begitu saja. Tanpa perlu diundang. Menggeser peran seminari, juga tradisi diskusi, yang menurut sementara mahasiswa masa kini, sudah kuno, ketinggalan jaman dan in- efisiensi.
Bagi mahasiswa gaya baru ini, belajar tidak harus dengan metode diskusi. Karena cara belajar hari ini bisa diganti dengan browsing dan googling, buat apa persulit diri. Toh hasil yang diharapkan di ujungnya adalah informasi. Sementara aktualitas informasi justeru berbanding lurus berkejaran dengan sang waktu. Dan di jaman ini, waktu adalah benda kelewat bernilai. Tidak ada ruang untuk bertele-tele. Ini jaman instan bung, jadi jangan basa basi!
So, diskusi kudu menepi. Sebab waktu harus dialokasi dengan jeli, waktu sisanya bisa dibuat nikmati hari-hari. Musik, pesta, dan cinta. Juga hura-hura anak kampus menjadi tradisi baru: dunia gemerlap, kerlap kerlip, dansa-densi, mereguk dunia syurgawi.
Salahkah mereka?
Saya tidak tahu. Anak kampus bergaya baru itu, sejatinya adalah sang kurban. Sepotong keniscayaan. Konsekwensi dari serakahnya dunia industri, yang ajarkan faham kejar kapital sampai mati. Menjadikan mereka sebagai sasaran pasar, agar rakus konsumsi. Karenanya, anak generasi menjadi hamba teknologi, budak piranti, maka wajar mereka lantas pula anti diskusi.
Sebuah mainstream baru yang belum ketahuan juntrungnya hendak menuju ke bentuk masyarakat bagaimana. Lalu madzab belajar baru ini pun menyisakan pertanyaan pada saya. Seberapa mampukah cara belajar baru ini pengaruhi perjalanan zaman?
Saya tiba-tiba teringat dengan kaum Shopis. Kendati kaum ini sering dipandang negatif karena halalkan segala cara untuk menangkan argumentasi, namun mereka telah berandil besar dalam perkembangan diskusi. Ikon dari tradisi filosofi. Dan saya angkat hormat karenanya.
Kaum Shopis yang menjadikan manusia -dan bukan piranti, sebagai pusat pemikiran. Manusia pula jadi tema filsafat mereka. Sebagai pionir bahasa dalam filsafat, kelak di kemudian hari gagasan mereka ini merupakan cikal dari berkembangnya retorika dan pemakaian kata secara tepat, pun juga etika. Dari mereka tercipta berbagai gaya bahasa baru untuk perkaya prosa Yunani. Kelak, ini akan sangat mempengaruhi para sejarawan besar seperti Herodotus, Thukydides, dan para dramawan kesohor seperti Sophokles juga Euripides. Kaum Shopis juga mengkritik pandangan tradisional mengenai moral sehingga membuka cakrawala pemikiran baru terhadap etika rasional dan otonom. Mereka memberi pengaruh besar terhadap pemikiran Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Tiga nama besar yang didaulat menjadi nabi-nabi kaum pemikir dunia hingga hari ini.
Jadi, sang pengawal peradaban sesungguhnya adalah tradisi diskusi itu sendiri. Karena dari kaum yang keranjingan diskusi inilah, sejarah telah digiring pada gerak lajunya jauh ke depan, hingga zaman mengantarkannya pada kita, pada sebuah zaman pemikiran gilang gemilang.
Hari ini, di kampus ini, saya menjadi gamang, masih adakah pewaris kaum Shopis ini? Dan Jika kampus telah begitu mengindustri, maka dosakah mahasiswa tertatih mencari makna, sendiri, lewat jalan efisien tapi bergengsi: internet? Searching kini mengejawantah menjadi Ideologi dalam wujud berhala baru: Teknologi Informasi: Googling. Lalu diskusi pun kehilangan gemanya pada ruang-ruang senyap. Membisu.
Lagu asing yang tak pernah kukenal itu masih juga mengalun. Berkumandang malas dari corong radio kabel yang dikelola aktivis kampus. Saya masih belum juga mengerti dengan kampus ini.

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE