Achluddin Ibnu Rochim
....Atas nama jiwa , atas nama diri,
Aku tuhan untuk diriku sendiri...
Sepenggal lirik menemani saya berangkat beraktivitas, melaju membelah kota yang mulai hiruk. Kebetulan, panel audio di kendaraan, tune pada program siar musik. Karenanya saya mendapati lirik di atas.
Sepanjang jalan, kuping saya, betul betul di bawah gempuran riff riff gitar dan Bass menggila dari kelompok musik, berbendera Beside asal Bandung. Group musik dengan genre Melodic Death Core Metal.
Sebuah lirik yang tak lumrah diperdengarkan di Indonesia. Apalagi, di negeri ini, ada banyak fundamentalis yang disokong golongan Puritan. Berhadapan dengan garis keras, tentu mengandung resiko tinggi. Lirik ini juga jelas jelas menabrak Sila pertama dari Pancasila.
Ups, Pancasila? Benda apa itu?
Kata pejabat, ini ideologi.
Sejenis filsafat gado gado, pedoman bangsa yang letakkan Tuhan di posisi paling puncak. Disusun oleh para pendiri negara yang gemar dengan musik bergenre pakem, macam keroncong, atau gending. Di mana Tuhan diucapkan dengan rasa takzim, santun, juga gemetar.
Dan sekarang, ada sebagian anak anak bangsa mencemooh tuhan. Lewat gaya brutal, dan cara ugal ugalan: Tuhan diganjal. Tidak disediakan ruang di dalam pemikiran buat tuhan. Tuhan terusir dari sana.
Dari manakah anak anak peroleh kegilaan ini?
Saya, lantas terpikir dan mencurigai Nietzsche. Si penganjur perspektivisme itu.
Anak anak beraliran Melodic Death Core Metal ini telah keracunan nilai yang diekspor oleh Eropa, khususnya Norwegia. Tempat kelahiran genre yang lekat dengan bunuh diri dan pembakaran gereja.
Wilayah dimana nihilisme dan anti agama, dipengaruhi oleh mitologi Norse.
Friedrich Nietzsche, dengan filsafat 'cara pandang kebenaran' nya itu adalah algojo pemikiran. Sebutan sebagai "sang pembunuh Tuhan" begitu kental mewarnai anak anak muda negeri ini. Dalam Zarathustra, Ia sebarkan propaganda dalam wujud kritik atas kebudayaan Barat.
Manusia harus meninjau kembali semua nilai dan tradisi dari pengaruh Platonisme dan kristen, karena keduanya berorientasi pada Tuhan beserta paradigma kehidupan setelah kematian. Paradigma ini adalah biang dari penyebab manusia anti kehidupan. Pesimis terhadap kehidupan. Padahal, bisa ada kemungkinan kemungkinan positif bagi manusia dengan tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan, dengan segala perintah dan laranganNya (yang sewenang wenang itu), tidak lagi menjadi penghalang. Dengan begitu, manusia dapat berhenti mengalihkan mata dari kemahaan tuhan dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa 'tuhan sudah mati' merupakan lembaran baru. Di mana kebebasan memungkinkan manusia menjadi sesuatu yang baru, yang lain, dan yang kreatif. Sebuah kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa menerima beban masa lampau. Karenanya, tuhan, berikut paradigma kehidupan pasca kematian, harus dieksekusi. Di bunuh. Ditiadakan dari mindsett manusia.
Di Indonesia wabah ini telah luas menjangkit di komunitas komunitas Death Core Metal. Saya telah dihajar dengan deras oleh gerutuan atau death grunt sebagian lirik mereka,
..................
AkuLah derita,
Aku bahagia,
Akulah gelak tawa
Dan aku airmata,
Aku binatang
Akulah setan
Untuk diriku sendiri aku adalah tuhan
Hati pikiran dan indraku adalah miliku
.....................
Sebagian besar manusia menolak untuk mengakui kematian atas dasar ketakutan atau kecemasan yang paling terdalam. Manakala kematian itu mulai diakui secara luas, terjadilah keputusasaan dan nihilisme merajalela.
Karena alasan ini, Death Metal memiliki tingkah laku yang aneh, terkadang mereka mengubur kostum panggungnya di bawah tanah selama beberapa minggu hingga berbahu busuk, lantas memakainya dalam suatu konser. Kadang mereka juga menghirup seekor gagak mati untuk meresapi 'hawa kematian' sebelum naik panggung. Hal ini makin memperkuat atmosfir musik dan lirik yang berkembang menjadi satanisme, kegelapan, depresi, dan kejahatan. Dalam banyak pertunjukan mereka, mentancapkan tombak atau pisau pada kepala mereka untuk melukai dirinya sendiri.
Sayangnya, anak anak Death Core Metal ini kebablasan. Setelah kematian tuhan dan paradigma kehidupan pasca kematian tersebut, mereka lantas terjerembab di lembah filosofi nihilisme. Padahal, Nietzsche memprovokasi ini dengan maksud penaklukan atas nihilisme: dengan mencintai utuh kehidupan dan memposisikan manusia sebagai manusia purna dengan kehendak untuk berkuasa.
Atau, barangkali, anak anak Death Core Metal ini terpengaruh dari sisi Nietzsche yang lain, yang seniman. Nietzsche dengan ungkapannya yang terkenal, Seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk metransformasikan tragedi hidup.
Dari sana kemudian Death Core Metal membisikkan satanic dan dunia kegelapan. Meng geraman maut, death growl,
...............
Kalian mencoba merubah takdirku
Dengan menyeret nyeret rentanya sayap jiwaku
Mencoba membungkam nafas pikiranku
Caci makiku untuk kalian.
Bebaskan hempaskan setiap rantai kekang di otakmu
Bebaskan hempaskan setiap caci maki yang terucap
Teriakan setiap nafas
..................
Di sepanjang perjalanan, telinga ini masih disodok sodok oleh downtuned rhythm guitars, ritme gitar yang rendah, berderap dengan perkusi cepat, dan intensitas dinamis dari duoble bass drum, digosok oleh banyak fariasi harmoni dengan bass dan distorsi yang tebal. Bertempo sangat cepat berpacu dengan vokalis yang menggeram dan mendengkur mengimbangi suara distorsi gitar dan bass yang berat. Sungguh cobaan tersendiri bagi usia saya.
Hemh, mungkin saya terlalu banyak berharap pada kesadaran baru dari komunitas ini, tapi nyatanya di mata Melodic Deat Core Metal, agaknya gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau theologi.
Rupanya Nietsche, tak sempat ketemu dan kenalan dengan mereka. Tanpa percakapan lintas jaman, jika ada jalan yang menyesat, siapakah yang memberi pencerahan pada mereka, Tuan Nietsche? Sedang obormu sudah padam dimuseumkan pada pustaka lama.
Sepanjang jalan, kuping saya, betul betul di bawah gempuran riff riff gitar dan Bass menggila dari kelompok musik, berbendera Beside asal Bandung. Group musik dengan genre Melodic Death Core Metal.
Sebuah lirik yang tak lumrah diperdengarkan di Indonesia. Apalagi, di negeri ini, ada banyak fundamentalis yang disokong golongan Puritan. Berhadapan dengan garis keras, tentu mengandung resiko tinggi. Lirik ini juga jelas jelas menabrak Sila pertama dari Pancasila.
Ups, Pancasila? Benda apa itu?
Kata pejabat, ini ideologi.
Sejenis filsafat gado gado, pedoman bangsa yang letakkan Tuhan di posisi paling puncak. Disusun oleh para pendiri negara yang gemar dengan musik bergenre pakem, macam keroncong, atau gending. Di mana Tuhan diucapkan dengan rasa takzim, santun, juga gemetar.
Dan sekarang, ada sebagian anak anak bangsa mencemooh tuhan. Lewat gaya brutal, dan cara ugal ugalan: Tuhan diganjal. Tidak disediakan ruang di dalam pemikiran buat tuhan. Tuhan terusir dari sana.
Dari manakah anak anak peroleh kegilaan ini?
Saya, lantas terpikir dan mencurigai Nietzsche. Si penganjur perspektivisme itu.
Anak anak beraliran Melodic Death Core Metal ini telah keracunan nilai yang diekspor oleh Eropa, khususnya Norwegia. Tempat kelahiran genre yang lekat dengan bunuh diri dan pembakaran gereja.
Wilayah dimana nihilisme dan anti agama, dipengaruhi oleh mitologi Norse.
Friedrich Nietzsche, dengan filsafat 'cara pandang kebenaran' nya itu adalah algojo pemikiran. Sebutan sebagai "sang pembunuh Tuhan" begitu kental mewarnai anak anak muda negeri ini. Dalam Zarathustra, Ia sebarkan propaganda dalam wujud kritik atas kebudayaan Barat.
Manusia harus meninjau kembali semua nilai dan tradisi dari pengaruh Platonisme dan kristen, karena keduanya berorientasi pada Tuhan beserta paradigma kehidupan setelah kematian. Paradigma ini adalah biang dari penyebab manusia anti kehidupan. Pesimis terhadap kehidupan. Padahal, bisa ada kemungkinan kemungkinan positif bagi manusia dengan tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan, dengan segala perintah dan laranganNya (yang sewenang wenang itu), tidak lagi menjadi penghalang. Dengan begitu, manusia dapat berhenti mengalihkan mata dari kemahaan tuhan dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa 'tuhan sudah mati' merupakan lembaran baru. Di mana kebebasan memungkinkan manusia menjadi sesuatu yang baru, yang lain, dan yang kreatif. Sebuah kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa menerima beban masa lampau. Karenanya, tuhan, berikut paradigma kehidupan pasca kematian, harus dieksekusi. Di bunuh. Ditiadakan dari mindsett manusia.
Di Indonesia wabah ini telah luas menjangkit di komunitas komunitas Death Core Metal. Saya telah dihajar dengan deras oleh gerutuan atau death grunt sebagian lirik mereka,
..................
AkuLah derita,
Aku bahagia,
Akulah gelak tawa
Dan aku airmata,
Aku binatang
Akulah setan
Untuk diriku sendiri aku adalah tuhan
Hati pikiran dan indraku adalah miliku
.....................
Sebagian besar manusia menolak untuk mengakui kematian atas dasar ketakutan atau kecemasan yang paling terdalam. Manakala kematian itu mulai diakui secara luas, terjadilah keputusasaan dan nihilisme merajalela.
Karena alasan ini, Death Metal memiliki tingkah laku yang aneh, terkadang mereka mengubur kostum panggungnya di bawah tanah selama beberapa minggu hingga berbahu busuk, lantas memakainya dalam suatu konser. Kadang mereka juga menghirup seekor gagak mati untuk meresapi 'hawa kematian' sebelum naik panggung. Hal ini makin memperkuat atmosfir musik dan lirik yang berkembang menjadi satanisme, kegelapan, depresi, dan kejahatan. Dalam banyak pertunjukan mereka, mentancapkan tombak atau pisau pada kepala mereka untuk melukai dirinya sendiri.
Sayangnya, anak anak Death Core Metal ini kebablasan. Setelah kematian tuhan dan paradigma kehidupan pasca kematian tersebut, mereka lantas terjerembab di lembah filosofi nihilisme. Padahal, Nietzsche memprovokasi ini dengan maksud penaklukan atas nihilisme: dengan mencintai utuh kehidupan dan memposisikan manusia sebagai manusia purna dengan kehendak untuk berkuasa.
Atau, barangkali, anak anak Death Core Metal ini terpengaruh dari sisi Nietzsche yang lain, yang seniman. Nietzsche dengan ungkapannya yang terkenal, Seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk metransformasikan tragedi hidup.
Dari sana kemudian Death Core Metal membisikkan satanic dan dunia kegelapan. Meng geraman maut, death growl,
...............
Kalian mencoba merubah takdirku
Dengan menyeret nyeret rentanya sayap jiwaku
Mencoba membungkam nafas pikiranku
Caci makiku untuk kalian.
Bebaskan hempaskan setiap rantai kekang di otakmu
Bebaskan hempaskan setiap caci maki yang terucap
Teriakan setiap nafas
..................
Di sepanjang perjalanan, telinga ini masih disodok sodok oleh downtuned rhythm guitars, ritme gitar yang rendah, berderap dengan perkusi cepat, dan intensitas dinamis dari duoble bass drum, digosok oleh banyak fariasi harmoni dengan bass dan distorsi yang tebal. Bertempo sangat cepat berpacu dengan vokalis yang menggeram dan mendengkur mengimbangi suara distorsi gitar dan bass yang berat. Sungguh cobaan tersendiri bagi usia saya.
Hemh, mungkin saya terlalu banyak berharap pada kesadaran baru dari komunitas ini, tapi nyatanya di mata Melodic Deat Core Metal, agaknya gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau theologi.
Rupanya Nietsche, tak sempat ketemu dan kenalan dengan mereka. Tanpa percakapan lintas jaman, jika ada jalan yang menyesat, siapakah yang memberi pencerahan pada mereka, Tuan Nietsche? Sedang obormu sudah padam dimuseumkan pada pustaka lama.
0 wicara:
Posting Komentar