Oleh : Ragil Ajeng Pratiwi (Komunitas Sawo UNTAG Surabaya) dan Aji Cahyono (Komunitas Studi Komprehensif UINSA)
Sudah kurang lebih sepekan berita
menyajikan perbincangan kasus perundungan antar remaja perempuan di Indonesia
yang terjadi di Pontianak. Agak sedikit menggelitik karena pada kasus tersebut,
medatangkan sebuah isu yang mampu menghebohkan masyarakat. Padahal sejauh ini pihak berwajib ataupun
pada lembaga kepolisian yang terkait belum berani memberikan klarifikasi atas
kejadian ini. Media masyarakat seakan dengan mudah segera memberikan informasi
kepada masyarakat dengan isu konflik antar remaja perempuan yang jelas jika
dibenturkan dengan ajaran sosial dan budaya sangat bersebrangan.
Usut punya usut kasus yang menimpa
pada konflik tersebut belum dapat dikatakan bahwa pelaku perundungan antar
remaja perempuan ditetapkan menjadi tersangka. Yang menyedihkan ungkapan
kekesalan yang diterima menjadi tekanan sosial bagi yang melakukan perundungan dan korban perundungan. Media segeralah
menyajikan kepada masyarakat mengenai kasus tersebut, yang dimana kita tau
bahwasannya bagi pelaku perundungan ataupun korban sama-sama dibawah umur. Ruang
publik media menjadikan kasus yang seharusnya diselesaikan oleh pihak berwajib
justru menyebabkan statmen-statmen yang baru sebelum kita tau inti dari
permasalahan tersebut ada dimana.
Media yang dimana sebagai sarana
penyampai informasi kepada masyarakat luas memiliki kekuatan dalam membentuk
realitas sosial. Karena kekuatan media dapat membentukan realitas pembenaran di
masyarakat. Hal ini didorong sikap masyarakat yang menggunakan media yang masih
membenarkan informasi apapun yang ada di media tanpa bijak. Hal ini bearti
realitas sosial yang dibangun dari media massa dapat dijadikan pembenaran akan
suatu hal.
Hal tersebut terlihat dari pada
masing-masing pandangan pemikiran pada pengguna media sosial yang aktif dalam
mengikuti kasus perudungan di Pontianak.
Dengan mudahnya masyarakat dunia maya melakukan
ujaran kekesalan yang disampaikan pada
media sosial masing-masing. Jika mencari sebab musabab permasalahan dari kasus
tersebut kita sebagai bagian masyarakat
haruslah bersikap bijak dan memberikan permasalahan tersebut pada pihak
berwajib yaitu kepolisian. Bukan bearti tidak boleh berpendapat namun agar
tidak terjadinya pembenaran yang belum kita ketahui sebelum pihak kepolisian
menyampaikan pada media sendiri. Adakalahnya kita sebagai masyarakat tetap
mengawasi bagaimana kasus tersebut tetap tegas dan diselesaikan sesuai dengan
aturan hukum dan perlindungan anak yang berlaku.
Konflik antar remaja perempuan tersebut merupakan
bagian dari krisis dalam mengamalkan pancasila yang
dimana pancasila sendiri merupakan bagian dari peran perempuan dalam pengamalan agama sebagai tiang peradaban
manusia, pengamalan perempuan yang terlibat dalam pembentukan manusia yang
beradab yang dalam arti bicara empati dan simpati, pengamalan nasionalisme adalah kecintaan terhadap sesama bangsa dan warga negara, pengamalan
demokrasi yang dapat menyampaikan suara dengan tujuan bersama dan pengamalan keadilan
yang berprinsip pada pemerataan sosial.
Dalam hal ini realitas media menjadi penentu karakteristik dasar dalam pembentukan media
massa.
Dengan munculnya realita antar
konflik remaja perempuan seperti itu menunjukkan betapa mirisnya mengalami
degradasi moral sehingga muncul di depan publik dan menjadi viral. Sehingga
perlu penegasan kembali dalam menanamkan pancasila sebagai pengamalan pedoman bangsa
Indonesia yang berkemajemukan. Pada intinya adalah sudah menjadi hal yang
paradoks antara pancasila dan degradasi moral peran seorang perempuan dalam
berkehidupan berbangsa. Sehingga ada 5 poin yang terpenting dalam kajian
Komprehensif dalam krisis seorang peran perempuan dalam menghayati pancasila
sebagai landasan bersosial:
1. Sila pertama yang menunjukan
ketuhanan yang maha esa. Sudah menjadi hal yang mutlak bahwasanya Tuhan sangat
murka melihat berbagai konflik yang terjadi di bangsa Ini, karena pada
hakikatnya dari suatu Agama yang berketuhanan yaitu menjalankan perintah yang
baik maupun menjauhi larangan - larangan Tuhan.
2. Sila kedua yang menunjukan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Sudah menjadi hal yang diluar koridor dari
sila kedua dalam realita ini. Muncul suatu konflik, kurangnya pendidikan
karakter sehingga seringkali konflik yang mengakibatkan salah satunya seorang
perempuan menunjukkan karakter yang tidak beradab sesuai dengan kepribadian
bangsa secara ideologis.
3. Persatuan Indonesia menjadi hal
yang final untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi suatu kekuatan yang
bersifat dinamis. Sehingga dengan munculnya kasus ini perlu ditangani secara
langsung oleh pihak yang berwajib. Dan juga memberikan edukasi secara positif
dengan pentingnya melakukan hal yang kecil yaitu menghindari konflik, salah
satunya konflik yang terjadi oleh korban dan yang melakukan perundungan
terhadap orang lain.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh
hikmat, kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Peran kerakyatan dalam
ruang lingkup yang kecil adalah keluraga. Peran dalam memunculkan pendidikan
karakter merupakan orang tua. Sehingga apabila mengacu dalam prespektif
psikologi juga tidak terlepas dadi peran orang tua dalam mendidik.
5. Keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia menjadi salah satu peran dalam berkeadilan dalam berbudaya.
Lingkungan sosial yang dinamis,. kepribadian sosial yang baik menunjukan
masyarakat yang baik sehingga realisasi dalam sila ke-5 menjadi realisasi.
0 wicara:
Posting Komentar