Oleh
Kusuma Ndaru
Mahasiswa Psikologi
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Lebih
dari 90% masyarakat kita sudah melek huruf. Ketika waktu senggang, Kita
mempunyai TV, bioskop, internet murah, surat kabar, smartphone untuk setiap
orang. Namun kita bukan di sodori musik atau literatur terbaik zaman dulu dan
masa kini, media komunkasi saat ini ditambah dengan iklan mengisi pikiran
manusia dengan sampah murahan yang tak ada kaitanya dengan realitas, dengan
fantasi-fantasi sadistis. Sementara pikiran setiap orang tua dan muda diracuni,
kita terus berjalan dengan penuh rasa bahagia, seakan tidak melihat adanya
unsur “immoralitas”. Kita tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu.
Apakah
individu itu sehat atau tidak, yang utama bukanlah soal individu, tetapi
tergantung dari struktur masyarakatnya. Kesehatan mental tidak dapat di batasi
dalam istilah ‘penyesuaian diri” individu terhadap masyarakat. Tetapi
sebaliknya, harus didefinisikan dalam istilah penyesuaikan diri masyrakat
terhadap kebutuhan manusia. Sebuah masyarakat yang sejahtera memajukan
kemampuan individu untuk mencintai sesamanya, untuk bekerja secara kreatif,
untuk mengembangkan akal budi. Suatu masyrakat yang tidak sehat adalah masyarakat
yang menciptakan permusuhan, saling tidak percaya, yang menjadikan manusia
sekedar alat dan ekploitas bagi orang lain. Masyrakat memiliki dua fungsi,
memajukan kesehatan mental dan menghambat. Kenyataanya masyrakat melakukan
keduanya.
Sakit
mental macam apa yang di idap oleh masyarakat indonesia? Fakta yang
mencengangkan bahwa kita tidak memiliki data
yang menjawab pertanyaan ini. Walaupun ada data Kementerian Kesehatan yang
menunjukkan, sekitar 14 juta orang di Indonesia berusia di atas 15 tahun
mengalami gejala depresi dan gangguan kejiwaan. Sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400.000. Salah satu data komparatif
yang dapat memberi petunjuk kesehatan mental adalah kasusu bunuh diri. Tidak
diragukan lagi bahwa kasus bunuh diri merupakan problem paling kompleks, dan
tidak ada satu faktorpun dapat di ambil sebagai penyebabnya. Namun tingkat
bunuh diri yang tinggi di suatu negara merupakan cerminan kurangnya stabilitas
kesehatan mental tersebut.
Dewasa
ini muncul sebuah efek FOMO “fear of missing
out” (takut akan tertingal) melanda penduduk dunia. Sehingga memberikan
pengaruh, meningkatnya intensitas
manusia dalam mengakses media informasi. Salah satu kelemahan dari (media
informasi) smartphone dan internet, mereka adalah sumber gangguan konstan, dan
mayoritas apa yang mengalihkan perhatian kita adalah sesuatu yang tidak
penting. Sumber komoditi yang mahal saat ini adalah perhatian. Semua media
komunikasi berlomba untuk mendapatkan perhatian kita, orang-orang psikologi
berperan sentral dalam mendisain media komunikasi, Psikologi juga ikut andil
dalam menjerumuskan kemanusian dalam
lembah penderitaan.
Mayoritas
pengguna teknologi merupakan orang-orang
yang mengalami emosi negatif, ini pemicu yang sangat kuat dan sangat
berpengaruh dalam rutinitas sehari-hari. Perasan bosan, kesepian, frustasi,
kebingungan dan keraguan sering menghasilkan rasa tidak nyaman dalam diri,
sehingga mendorong tindakan yang nyaris spontan dan sering kali tanpa
pertimbangan untuk meredam sensasi negatif tersebut.. Tingginya penggunaan
sosial media menandakan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi, 90% berusia
18-29 tahun. Kesadaran yang meningkat terhadap bahaya yang belum jelas disebut
kecemasan. Ciri-ciri lain perilaku depresi di internet termasuk peningkatan
frekuensi menonton video, chatting dan bermain game. Pengguna internet yang
berlebihan memunculkan perasaan terisolasi yang disebabkan oleh kurangnya
dukungan sosial, sehingga berdampak dalam kesulitan bekerja dalam kelompok
soial.
Dampak
lain dari paparan teknologi informasi adalah meningkatkan konsumsi. Manusia dikenal
dengan “homo konsumen” orang yang mengkonsumsi penuh yang tujuanya hanya untuk
memiliki sebanyak-banyaknya dan menggunakan lebih banyak. Sehingga memunculkan
(harapan), yang merepresentasikan gagasan kesempurnaan akan hidupnya (forma),
sehingga kita tidak dapat lepas dari proyeksi, yang menjadi bagian dari kehidupan.
Kita di kelilingi oleh media komunikasi dari berbagai zaman, koran, tv, dan
internet memberikan gambar-gambar dari apa yang kita suka memerankanya, atau
kita benci. namun saat realitas tidak mampu memenuhi harapan. Harapan ini akan
hancur sehingga berdampak munculnya
tindakan-tindakan destruktif dan kerasan. Orang yang harpanya hancur akan
membenci hidup dan mengalami kecemasan.
Manusia
memiliki naluri atau motivasi dasar yang diwarisi oleh nenek moyang, fighting,
fleeing, feeding, dan fucking (melawan, kabur, makan, dan sex), sistem ini
teletak di hipotalamus di dasar otak (otak reptil). Berkat itulah emosi yang
dimunculkan kuat, dan otomatis. karena itu otak kita selalu menempatkan perhatian
pada bahaya, ada dua cara untuk mengatasi bahaya. Bertarung dan kabur, dorongan
ini merangsang bagian otak-otak tertentu.
Rasa
takut warisan masa lalu yang berhubungan dengan bahaya yang menurut naluri
harus dijauhi, kalau tetap di temapt dan melawan, kita jusru akan merasakan
amarah. Kita akan diselimuti perasaan dengan sebutan masing-masing: gugup,
risau, curiga, ngeri dan seterusnya.
Pemicu kecemasan jangka pendek meningkatkan kadar epinerfin dan
norepinefrin, hormon yang membuat degup jantung lebih kencang dan kaki terasa
dingin. Hormon ini menyiapkan tubuh untuk melawan atau lari.Ketika kita dalam
keadaan marah, secara otomatis reaksi yang muncul adalah perlawanan. Namun saat
kita dalam keadaan takut, kita secara tidak sadar akan kabur. saat ini kita
cenderung kabur ke dalam dunia maya umtuk mencari hiburan. Mencari hiburan
dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk menghilangkan kecemasan.
Semua
manusia termotivasi untuk mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit, untuk
mencari harapan dan menghindari rasa takut, dan akhirnya, mencari penerimaan
sosial dan menghindari penolakan. Bayangkan saat diri kita gagal dalam
memenuhhi ketiga kebutuhan motivasi ini, saat manusai di selimuti rasa sakit,
di hantui oleh rasa takut, dan masyarakat menolaknya. Hanya ada dua pilihan,
terus menjalankan hidup dengan kentyataan atau memilih mengakhiri sendiri
hidupnya.
Namunn
secara berkalah ketika individu sudah tidak mampu lagi menahan kecemasan dan
depresi yang terakumulasi, serta sosial media dan aktivitas lain tidak mampu
memberikan pelarian, salah satu jalan yang ditempuh adalah bunuh diri. Pelaku
bunuh diri yang cenderung bersifta impulsif
sering kali adalah mereka yang kekurangan serotonin. Menurunya kadar
serotonin akibat dari kecemasan dan depresi.
Berdasarkan
rata-rata statistik, dalam sehari setidaknya ada dua hingga tiga orang yang
melakukan bunuh diri di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
setidaknya ada 812 kasus bunuh diri di seluruh wilayah Indonesia pada tahun
2015. Angka tersebut adalah yang tercatat di kepolisian. Angka riil di lapangan
bisa jadi lebih tinggi..
World
Health Organization (WHO), badan di bawah PBB yang bertindak sebagai
koordinator kesehatan umum internasional, memiliki data tersendiri. Berdasarkan
data perkiraan WHO, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia pada 2012
adalah 10.000. Tren angka tersebut meningkat dibanding jumlah kematian akibat
bunuh diri di Indonesia pada 2010 yang hanya setengahnya, yakni sebesar 5.000.
Media
komunikasi menjadi pelarian sementara untuk mengurangi kecemasan. Namun di satu
sisi, media komunikasi juga memberi kontribusi dalam peningkatkatan kecemasan. Manusai hidup dalam
tiga masa, masa lalu dan segala kenanganya, masa depan dengan segala khayalan,
dan masa kini yang tak pernah di jalani seutuhnya. Banyak diantara kita hidup
dalam lebih dari satu masa yang akhirnya
memberikan beban fikiran dan kecemasan. Kita selalu disibukan dengan
memberi makanan dan pakaian sehingga melupakan aktivitas yang fundamental dalam
bertahan hidup. Kita di ajarkan untuk merawat tubuh, namun kita tidak diajarkan
bagaiman merawat kesehatan mental atau jiwa kita. Penderitaan tidak disebabkan
oleh ketidak beruntungan, oleh ketidakadilan sosial, atau oleh tingkah laku
ilahi. Sebaliknya, penderitaan disebabkan oleh pola perilaku pikiran seseorang.
Ketika pikiran mengalami ketidak nyamanan, ia ingin terbebas olehnya, apapun
akan di lakukan, mengorbankan segalanya bila perlu. Namun bila pikiran kita
mengalami kenyamanan, kita berusaha mati-matian untuk mempertahankanya. Kita
takut kesenangan itu hilang. Akal budi selalu tidak puas dan gelisah.
Manusia
mengatasi keputus asaanya yang tidak disadari dengan rutinitas hiburan berupa
menonton bioskop, menikmati musik, mengakses internet, traveler, dan menonton
televisi. Keputus asaan, kecemasan, dan ketakutan menjadi faktor mendasar dari
kasus bunuh diri dan kasus kesehatan mental lainya. Salah satu jalan untuk
mencegah kasus bunuh diri, dan masalah kesehatan mental lainya, di perlukan adanya pendidikan tentang kontrol diri, (menjadi
tuan atas pikiran sendiri) untuk mengetahui siapa diri kita, dan apa yang kita
inginkan dari kehidupan. Selama ribuan tahun para filsuf dan nabi telah
mendesak orang untuk memgenal diri sendiri, nasihat ini menjadi begitu mendesak
di abad ke 21, karena kita memiliki pesaing yang serius. Google, instagram,
facebook, coca-cola, apple, dan pemerintah berlomba meretas kepala kita melalui
media komunikasi revolusi industri 4.0. untuk bertahan dan berkembang di dunia saat ini, kita
membutuhkan banyak fleksibilitas mental dan cadangan keseimbangan emosi yang
besar untuk menghadapi perubahan, untuk mempelajari hal baru dan untuk menjaga
keseimbangan mental.
Pengendalian
otak reptil yang menjadi akar seluruh kekacauan psikologis manusia. dan
meningkatkan neokorteks yang berisi emosi positif, belas kasih, sukacita,
ketenangan, dan kasih sayang. Kita memiliki kapasitas alamiah untuk berbelas
kasih sekaligus untuk kekejaman. Kita mampu menekan aspek-aspek tersebut dari
tradisi kita, religius maupun sekuler. Baik di dalam pendidikan formal maupun
lingkungan masyrakat. Bila memungkinkan menggunakan media komunikasi untuk
mengkampanyekan ini, sehingga lebih masif dalam mencegah kasus bunuh diri dan
masalah psikologis lainya. Ini menjadi tantangan bagi sarjana psikologi. Namun butuh
waktu yang lebih panjang untuk mereorientasi pikiran dan hati kita,
transformasi semacam ini berjalan lambat, tidak dramatis, dan bertahap.
0 wicara:
Posting Komentar