Oleh Kusuma Ndaru
F. Psikologi Untag SURABAYA
Kita hidup di zaman yang
penuh dengan kebingungan dan tekanan. Isu kejahatan yang memanfaatkan bahan
peledak kembali lagi muncul di idonesia, hampir setiap tahun selalu muncul
aksi-aski semacam ini, mulai bom panci sampai bom bali yang cukup fenomenal.
Namun bila serangkaian teror semacam ini terus menerus berulang, muncul sebuah
pertanyaan bagi saya “apa yang terjadi, hingga aksi teror semacam ini kembali
muncul” seakan menjadi candu di indonesia!. Apa penyebabnya? Apakah ada
masyarakat yang tidak terwakili suaranya? Atau memang negeri ini nyaman dengan
kejadian semacam ini? Tentunya adanya kejadian ini beberapa pihak mendapat
keuntungan.
Sungguh menggoda untuk
menillai atau membagi orang-orang baik dan orang-orang jahat, bagaimanapun
semua kebdayaan didirikan atas lautan darah, mempertahankan ideologi dengan
penindasan dan kekerasan. Namun sebagaian besar kebudayaan di indonesia baik
jawa, silam, bali, sunda, batak, papua, kristen, hindu,budha, cina, kong hu chu
di dasari oleh warisan-warisan kebudayaan brutal nenek moyang kita, maka kita
ini apa?
Kini agama kerap dianggap
sebagai sumber disskriminasi, perselisihan, dan perpecahan. Padahal kenyataanya
agama menjadi pemersatu umat manusia. Oleh karena semua tatanan dan hirarki
sosial adalah khayalan semuanya rapuh, dan semakin besar ukuranya semakin rapuh
pula masyarakatnya. Manusia yang berbudaya telah menukar beberapa bagian
kesempatan akan kebahagaianya demi tindakan “keamanan”. Konflik sudah menjadi
perilaku bawaan manusia (ketidak sadaran kolektif menurut jung). Dalam zaman
modern sedikit perbedaan kecil dalam warna kulit, logat, atau ideology sudah
cukup untuk memicu sekelompok manusia untuk berupaya memusnakan kelompok lain.
Masyrakat seakan diajari
untuk takut dengan aksi-aksi semacam ini, ada pengkondisian (fear management)
oleh beberapa pihak yang membuat galaksi simulakra. Dalam psikologi salah satu
cara yang efektif untuk merubah perilaku manusia dengan pengkondisian (pavlov).
Salah satu kebutuhan dasar masusia adalah dorongan untuk mendapat rasa aman
sehingga mampu beraktivitas untuk mencari makan dan meneruskan keturunan. Masyarakat
disentuh kebutuhan rasa amanya dengan di sodorkan stimulus berupah kejahatan
bom, yang dapat menggangu kelangsungan hidup. Sehingga muncul disonansi kognitif
yang meningkatkan kesadaran terhadap bahaya yang belum jelas (kecemasan)
sehingga membuat informasi yang tidak utuh (prasangka), dan masyarakat akan
menyesuaikan diri dengan stimulus bom. Pengkondisian ini dilakukan berulang-ulang
hingga muncul perilaku yang di inginkan tanpa diberi lagi stimulus (bom). Ini
secara otomatis akan di turunkan melalui pendidikan yang ada di masyarakat
dalam nama “Budaya”.
Kesehatan mental tidak
dapat di batasi oleh istilah “penyesuaian diri” individu terhadap
masyarakatnya, tetapi sebaliknya, harus di definisikan dalam istlah penyesuaian diri masyarakat terhadap
kebutuhan manusia. Apakah individu sehat atau tidak, bukan soal individu
yang utama, tetapi tergantung struktur masyarakatnya. Sebuah masyarakat yang
sejahtera memajukan kemampuan individu untuk mencintai sesamanya, untuk bekerja
secara kreatif, untuk mengembangkan akal budi.
Suatu masyarakat yang
tidak sehat aalah masyrakat yang menciptakan rasa saling bermusuhan saling tidak
percaya, yang mrnjadikan manusia sekedar alat dan eksploitasi bagi orang lain. Masyrakat
memiliki dua fungsi, meningkatkan kesehatan manusia dan menghambat kesehatanya,
kebanyakan masyarakat melakukan keduanya.
Dalam masyrakat kita,
orang relah mempertaruhkan hidupnya, mengorbankan cint, menyerakan kebebasan,
mengorbankan ide-ide mereka demi menjadi suatu kelompok, yang konformitas, dan
demi memperoleh rasa identitas, walaupun rasa identitas tersebut hanya ilusi belaka.
Banyak orang mencar, dan menemukan rasa identitas individu sejati. Bangsa,agama,suku,ras,golongan,
dan kelas memberikan rasa identitas. “saya pancasila, saya indonesia, saya
orang islam, saya orang kristen, saya orang jawa, saya orang sunda” adalah
ruusan yang membantu seseorang mengalami rasa identitas.
Beberapa kelompok
kebudayaan memiliki dua cinta: cinta ibu dan cinta ayah. Aspek positif dari
kompleks patriarrki adalah akal budi, kesadaran, individualisme dan disiplin. Aspek
negatifnya adalah hirarki, opresi, ketidaksejajaran dan kepatuhan. Sedangkan kompleks
matriarki adalah cinta kasih, welas asih bagaikan tindakan rahmat. Seseorang boleh
menilai sesamnya dengan kesadaran ayah, namun serentakdengan itu, ia juga harus
mendengakan di dalam dirinya suara ibu yang menaruh cinta kepada semua ciptaan,
pada semua yang hidup, dan rela mengampuni semua pelanggran.
Manusia memiliki aspek
bawaan: daya cipta versus daya penghancur. Penghancuran hanya alternatif untuk
daya kreatif. Penciptaan dan pengahncuran, cinta dan benci bukanlah dua
perangkat insting yang berdiri sendiri. Keduanya adalah jawaban yang sama atas
kebutuhan transendensi, dan keinginan untuk mengahncur munucl saat kehendak
untuk mencipta tak terpuaskan. Pemuasan kebutuhan untuk mencipta mendatangkan
kebahagiaan. Sebaliknya, penghancuran membawa penderitaan terutama bagi si
penghancur sendiri (pelaku).
Manusia adalahh anak-anak
alam, anak-anak ibu, mereka semua sama, memiliki hak dan tuntutan kewajiban
yang sama, dan satu-satunya nilai yang berlaku adalah nilai kehidupan yang
membedakan. Sumberdaya terbatas: pengetahuan, keterampilan, informasi, dan
intelegensi terbatas: orang sering tak rasional, dalam mengelolah urusan
sendiri atau menyesuaikan urusan sendiri dengan urusan orang lain. Lalu
akhirnya seseorang rentan terhadap orang lain, dan bergantung pada orang lain,
dan walalupun demikian mau tidak mau harus bersaing dengan orang lain; dan
karena rasa simpatipun terbatas, orang sering tidak mendapatkan, mengolah
kerjasama demi tujuan bersama, dan mungkunsenantiasa rentan terhadap frustasi
atau cedera yang diakibatkan oleh campur tangna langsung orang lain. Kita
membutuhkan kaida-kaidah etika agar bisa menemukan jalan tengah anatra nafsu
mementingkan diri sendiri di satu pihak dan kerjasama akibat paksaan sosial di
lain pihak.
0 wicara:
Posting Komentar