data-ad-format="auto"

PERJALANAN GILA


Aku pernah berminta-minta pada sebuah maaf. Aku kejar dia. Aku berlari sepanjang jalan. Aku terus berlari. Malam hingga menuju malam. Pagi hingga menuju pagi lagi. Tak ku hampiri keterbukaan itu. Tak ku lihat pintu terbuka untukku. Kata maaf masih jauh dari rasa lelahku.

Berhenti pada sebuah jalan, aku menemukan secuil kemanisan. Hambar ku rasa. Seperti air tawar satu gelas yang ditaburi sedikit gula, sedikit sekali. Tetap hambar, tak ada rasa bagiku.

Setengah perjalanan sudah aku menikmati lelahku pada tujuan itu. Tempat dimana akan ada sedikit kebahagiaan untukku. Terbebas atas segala bebanku. Dapat ku nikmati tidur lelap semalaman tanpa ditemani mimpi.

“Berhenti !”

Seseorang memberhentikan langkahku. Aku tertunduk memikirkan apa yang sedang terjadi dalam sandiwara hidupku. Aku menatapnya tegas.

“Siapapun kau, aku tak akan mau mengenalmu”.
“Untuk apa kau mengenalku? Cukup dengarkan setiap kata-kataku”.

“Lalu untuk apa aku mendengarkan setiap kata-katamu? Bukankah aku sudah bilang aku tak mau mengenalmu? Bagaimana mungkin aku mau mendengarkanmu?”

“Aku belum berkata apapun untuk kau dengar”. Jawabnya seketika

“Aku sudah mendengar setiap kata-katamu dengan baik. Sekarang silahkan kau pergi!”
Aku terus berlari dalam perjalanan yang melelahkan dengan tujuan yang sama. Aku masih mengejar maaf yang masih di ambang bayangan. Tak ku temui jalan halus. Semuanya tak beraturan. Batu, kerikil dan segala macam batuan menyiksa setiap perjalananku. Aku tetap kuat dalam panggung sandiwara ini. Sampai nanti ku temui ujung yang tak lagi berujung.

Begitu susah kata maaf menghampiriku. Ingin ku jumpa dia dalam setengah perjalananku, hingga tak ku biarkan lelah menemaniku.

“Apa kau mulai lelah? Duduklah sebentar, aku memiliki air dingin untuk membayar rasa lelahmu”.

Manusia menyebalkan itu muncul kembali dihadapanku. Aku mulai marah pada diriku. Apa aku melewati jalan yang salah? Jika memang salah, mengapa aku selalu menemukan pertigaan maupun perempatan tanpa ku lihat jalan buntu disana?

“Duduklah jika kau tak ingin aku mengejarmu terus menerus”.

Aku duduk. Aku buat mulutku berjanji untuk tidak mengatakan sebutir huruf pun kepadanya. Tak ku biarkan juga tenggorokanku merasakan nikmatnya air dingin itu. Entahlah, aku tak suka semua ini. Manusia menyebalkan itu hanya mengganggu perjalananku yang sebentar lagi akan menuju ujung yang tak berujung itu. Jika kata maaf sudah ku genggam, ku bawa pulang. Aku biarkan manusia menyebalkan itu untuk berpidato didepanku.

“Kau tau apa yang tidak kau ketahui saat ini?”
“Pertanyaan bodoh”. Jawabku dalam hati
“Saat ini kau sedang dalam perjuangan, bukan?

Perjuangan yang sangat membuang waktu dan energi”.

Aku masih dan akan terus terdiam dalam rasa bosan dan kesal ini. Ku coba menghilangkan rasa lelah sedikit demi sedikit dalam diamku.

“Kau memiliki tujuan kecil, namun membara.

Hingga kau semangati dirimu sendiri dalam ketertekanan itu. Kau jauhi kata `lelah`, kau kejar kata `maaf`. Apa yang ada dalam otakmu ini? Apa kau masih sehat? Atau kau kurang sehat? Bicaralah. Aku ingin tau segalanya tentang tujuan kecil yang membara itu”.

Aku ingin pergi. Menjauh dari manusia menyebalkan. Tetap melanjutkan setengah perjalananku. Mencari satu kata yang membuatku tenang dan mampu membuat panggung sandiwaraku berjalan lancar kembali, seperti dulu.

“Bicaralah! Atau kau …”
“Baiklah” jawabku kesal memotong pembicaraannya.
“Silahkan” perintah manusia menyebalkan itu.
“Tak ada yang terpenting dalam hidupku selain kata maaf dalam khilafku. Entah bagaimanapun caranya, aku akan terus mengejar kata maaf itu pada seseorang yang sudah ku goreskan luka dalam hidupnya. Aku tak mau di akhir hayatku aku masih memiliki beban dalam diri orang lain. Bukankah itu hal yang besar?” Jawabku dengan mulai tenang.

“Seberapa besar khilaf yang kau perbuat hingga sebesar ini kau berjuang?”
“Tak perlu dihitung seberapa besar khilafku.

Apapun dan bagaimanapun itu, yang pasti aku sudah melakukannya”.
“Lalu, jika pintu itu tak mau terbuka. Apa yang akan kau lakukan? Masih berlari? Berseok-seok kelelahan?” Tanya manusia menyebalkan itu.
“Ya!” Jawabku kesal.

“Kau tau anak muda. Kau tau apa yang tidak kau ketahui? Kau memang benar dalam perjalananmu ini. Namun kau salah dalam tujuanmu. Apa kau tak pernah mendengar kata-kata `sesama manusia harus saling memaafkan`. Ku kira kau tau apa yang ku maksud setelah mendengar setiap kata-kataku”.
“Lalu, apa yang kau inginkan dariku? Apa aku harus berhenti di setengah perjalananku?”

“Tidak. Aku hanya membenarkan tujuan membara itu”. Jawabnya tegas
“Terimakasih. Aku harus melanjutkan perjalananku sekarang. Karena ku rasa sudah cukup telingaku mendengar setiap kata-katamu”.

“Sebentar. Apa yang sudah kau dapat dari dudukmu selama beberapa menit ini?” Manusia menyebalkan itu mengehentikan langkahku.
“Aku tak dapat apapun”
“Bukankah lelahmu sedikit terobati meski tanpa kau minum air dingin ini?” Tanyanya
“Ya!” jawabku ketus.

“Pergilah jika memang otakmu tak menyerap setiap kata-kataku. Yang pasti kau sebenarnya tak perlu mengejar maaf. Karena jika kau sudah berulang kali meminta, maka tak ada pintu yang terbuka pun kau sudah lepas dari beban itu. Karena memang itulah yang tidak kau ketahui. Kau membuang waktumu secara sia-sia.

Ditemani rasa egois itu kau terus berjalan. Hingga kau biarkan tenggorokanmu kering saat didepan mata terlihat segelas air dingin. Bukankah kau tak lebih menyebalkan dari diriku, anak muda?”

Sebodoh inikah aku? Hingga rasa egois begitu besar dalam diriku. Begitu tidak pedulinya aku pada setiap kata-kata orang lain. Setiap kata-kata yang akan menuntunku pada tujuan yang begitu jelas. Berhenti! Aku akan berhenti pada tuntunan egoisku. Takkan lagi ku biarkan waktu-waktu berhargaku terbuang habis pada hal gila dan sepele. Akan aku ingat setiap kata-kata manusia menyebalkan itu. Karena memang dia bukan membodohiku, namun tujuanku yang membodohiku.

Zahrin
Mahasiswa jurusan Pertanian
Universitas Trunojoyo Madura

0 wicara:

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE