data-ad-format="auto"

OUROBOROS

oleh: Lukman
FISIP Untag Surabaya



Jatuh ke dalam kesalahan sebanyak usaha untuk menghindarinya, membiarkan diri terkuasai nafsu sebanyak usaha untuk mengatasinya”. Ibarat buntalan benang raksasa, yang menggelinding berbalik arah (to turn toward)
 “Kita mesti menggunakan pelbagai fiksi dan abstraksi, tapi hanya sejauh yang diperlukan untuk sampai pada suatu tataran tempat kita berangkat, dari satu wujud nyata ke wujud nyata lainnya, dan terus melaju melalui konstruksi konsep-konsep”
(Deleuze& Guattari)
Hidup yang tak direnungkan maka tak layak dijalani”.
          (Socrates)

Siklus keabadian atau ketidakberhinggaan dalam simbolisme diterjemahkan dalam beberapa versi, seperti konsep Ouroboros (simbol ∞; ular yang memakan buntutnya sendiri), yang juga dipakai sebagai label pengobatan (farmasi). Ketakterhinggaan dalam siklus kelahiran dan kematian, atau yang disebut sebagai reinkarnasi dalam filsafat Hinduisme juga bukan hanya dimaknai sebagai pengulangan terus-menerus hidup yang keras dan pendek, tetapi juga hidup yang penuh kesengsaraan. Analog yang menarik untuk direnungkan misalnya dalam sebuah dialog film satire Woody Allen, The Match Point, “Sophocles mengatakan; dengan tidak pernah dilahirkan maka akan menjadi anugrah terbesar dalam segala hal”.
alur cerita:
Tom Hewwit diperankan Jonathan Myers adalah laki-laki miskin yang menikahi wanita dari keluarga kaya. Tanpa diketahui sang istri, ia malah terlibat perselingkuhan tersembunyi dengan “Nola” diperankan Scarlet Johansen. Dalam kondisi tertekan, dan penuh ketakutan kembali jatuh miskin, ia melakukan aksi brutal, dengan membunuh Nola yang tengah mengandung anaknya. Meski pada alur cerita; Tom berhasil lolos dari jeratan hukum, tetapi ia kian menjadi manusia yang tidak pernah merasakan ketenangan, terseret-seret oleh kondisi mental penuh dosa, mengalami halusinasi dan neurosis.
Sutradara, Woody Allen dengan berani men-sinematografi-kan ciri khas filsafat eksistensialisme, dan menyampaikan ide bahwa perilaku amoral bukan hanya patologis, tetapi sifat asli, selfish gene yang dibungkus atau ditutupi oleh topeng persona sosial demi keberlangsungan moralitas yang elok.
Ide ini yang diusung dalam filsafat Timur, bahwa manusia dihadapkan pada persoalan “from mission impossible to possible”. Manusia masih berpeluang keluar dari siklus kesengsaraan, atau terlepas dari lingkaran reinkarnasi jika berpegang pada sebuah “jalan”. Dalam kepercayaan ini manusia dapat saja terus hidup “tanpa jalan” dengan konsekuensi terlahir kembali dalam keadaan yang sama, atau bahkan lebih buruk. Sehingga sebuah pilihan yang rasional, bahwa manusia harus hidup dengan memilih sebuah jalan, yang dapat saja ditafsirkan sebagai jalan keagamaan, atau jalan yang mengarahkan manusia pada ketuhanan atau pencerahan (enlightment).   
Reinkarnasi sesungguhnya erat kaitannya dengan kerinduan eksistensial sejati, yang paling murni, atas asal-usul dan persoalan sangkan-paran, dari mana “Aku” sesungguhnya dan ke mana hidupku ini semestinya aku arahkan?. Bila menilik salah satu tulisan dari Sudarminta tentang reinkarnasi dan filsafat proses Whitehead, maka arah tulisan ini sesungguhnya berada pada satu titik integralitas yang sama. Berbeda dengan maksud genealogi moral Nietzsche, arah tulisan ini membidik genealogi yang sama atas keprihatinan secara moral menurut Sudarminta di balik ajaran spiritualisme. Awal tulisan yang sangat baik ditunjukkan oleh Sudarminta, dengan perlu untuk menghindarkan argumentasi ad Hominen terhadap salah satu ajaran, misalnya reinkarnasi. Menurut Sudarminta ajaran ini tidak mengawang, sesat dan tidak masuk akal. Ajaran ini justru sangat dekat dengan pemikiran “filsafat proses” ala Whitehead, yang banyak menimba inspirasi dari Plato[i].
Etika atau Filsafat moral (Philosophy of Moral) dalam kaidah spiritualisme di Timur jelas memiliki keterlibatan kuat sehingga mempengaruhi pemikiran di Barat. Tilik saja gagasan pesimisme Arthur Schopenhauer dan monis-panteis Spinoza bercita-rasa Budhisme, atau kenderungan Michael Fouchault yang memiliki aksen terhadap etiket hidup kaum Tantrisme. Sehingga filsafat moral juga harus dilacak dari gen moral yang ada pada diri manusia, yang mengacu pada studi etika dan spiritualisme. Karena dengan spiritualisme diharapkan perjalanan ilmu pengetahuan tidak hanya ke luar, tetapi melakukan studi perjalanan spiritual ke dalam. Pernyataan ini berkaitan langsung dengan etika Kantian, secara deontologis yang merekomendasikan himbauan tidak bersyarat dalam bertindak sedemikian rupa sehingga selalu memperlakukan manusia berdasarkan dorongan murni. Maka dari keadaan ini manusia diharapkan mendapatkan makna terbesar tentang utilitas, yaitu kebahagiaan seluas-luasnya termasuk ke dalam dirinya sendiri. Kebahagian merupakan satu-satunya tujuan yang diinginkan manusia dalam hidup, sehingga untuk memeperolehnya harus berdasarkan kondisi yang telah bahagia, atau kebahagiaan psikologis yang taken for granted [ii].

Altruisme dan Pencerahan? (Kisah Biksu Bermain Pockey Machine)
Suatu cerita, ada seorang biksu yang sangat terkenal di seluruh kalangan, khususnya masyarakat luar yang sedang melakukan perjalanan mengajar Dharma, di Las vegas. Setelah melaksanakan bimbingan retret (pelatihan), dan hendak melakukan perjalanan berikutnya, ia diantar oleh supir ke Bandara, si supir mengatakan sembari menunggu di Bar, supir ingin menghabiskan uang recehannya yang tak bisa digunakan di negara lain. Kebetulan ada pokey machine, supir mencoba memasukkan berkali-kali dan tidak terjadi apapun di sana. Lalu pada koin terakhir supir meminta biksu menarik tuasnya dengan sembarangan saja, barangkali biksu yang penuh “karma baik” dapat membantu saya, katanya. Tanpa berpikir panjang dan sedikit lengah biksu mengabulkan permintaan supir, tiba-tiba saja angka-angka berputar kencang, koin-koin bernilai ratusan poundsterling membanjiri mesin. Sang biksu kebingungan, panik dengan yang tengah terjadi. Orang-orang di sekitar menggoyangkan lonceng pertanda peraturan mentraktir alkohol untuk setiap orang di bar [iii].

Menurut ajaran Buddha meminum alkohol adalah tindakan kurang etis, dan menjauhkan diri dari kondisi mindfull (kesadaran penuh). Begitulah pengalaman seorang biksu terkenal dengan misi mengajarkan Dharma, tetapi justru mentraktir banyak orang minum alkohol. Maksud hati mengajarkan Dharma, tetapi yang terjadi sebaliknya. Kiranya sang biksu hanya melakukan satu aktivitas kecil, tetapi dihadapkan pada konsekuensi yang besar. Kiranya benar pepatah Jawa “eling lan waspodo”, bahwa manusia selalu dihadapkan oleh fenomena-fenomena yang akarnya berasal dari pikiran, dan hanya lewat kedisiplinan berpikir maka kemungkinan buruk dapat dihindari.   
            Ada satu corak moralitas spiritual khusus, seperti jiwa altruisme yang ditemukan pada orang-orang terkenal seperti Mahatma Gandhi atau Dalai Lama. Beberapa seperti mereka mengajarkan seperti pentingnya toleransi, sikap demokratis dan kemanusiaan yang welas asih. Bila melihat sosok figur-figur tersebut, perilaku altruis bukan keadaaan alamiah  atau otomatis terlahir altruis, tetapi kondisi ini didapat lewat perilaku spiritual yang kuat dan disiplin pikiran lewat meditasi yang ketat. Sehingga persoalan “from impossible to possible”, atau dalam “teori kulit luar” (veneer theory) bahwa manusia itu pada dasarnya egois, tamak dan loba, tidak berlaku bila berangkat dari filosofi ke-diri-an yang sistematis dan berusaha mengupayakan pencerahan. 


Sumber:


[i] Sudarminta, 2009, hlm. 114.
[ii] James Rachels, Filsafat Moral, Yogyakarta, Pustaka Kanisius, 2004: 187
[iii]  Ajahn Brahm-

2 wicara:

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

welehhh.... Semoga kita semua bisa menjadi altruis di jalan karma baik...

Unknown mengatakan...

Amiin Ya Rabb.. liwat mana saja jalannya.. sawo..shelter angkutannya

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE