data-ad-format="auto"

MANUNGGALING KAWULA GUSTI ala BARUCH SPINOZA




oleh Lukman
FISIP Untag Surabaya



Spinoza turut andil dalam revolusi besar pemikiran barat, khususnya paham panteisme, yang nantinya akan memicu berkembangnya pemikiran rasionalisme dan mempengaruhi tokoh-tokoh penting seperti Hegel, Schopenhauer, Goethe dan Albert Einstein. Baruch Spinoza lahir di Amsterdam pada 24 November 1632. Berasal dari keluarga Yahudi Spanyol, beberapa sejarahwan mengatakan dari Portugal yang berimigrasi ke Belanda di abad 16.
Baruch Spinoza terkenal lewat buah pemikiran monisme-panteistik. Ajaran ini berakar kuat dari Deus sive Natura, Allah atau Alam. Mengkritik Descartes, secara konsekuen dapat dikatakan bahwa di dalam pikiran Spinoza tidak ada tempat bagi adanya “jiwa” dan “tubuh” individual pada manusia, sebab ke duanya hanya “atribut” yang menyusun manusia, dan manusia hanyalah “modus” atau cara berada Allah/ Alam (Tjajadi, 2007: 30). Jadi, Spinoza ingin mengatakan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara semesta Alam dan Allah, dengan kata lain Alam dengan segala isinya pasti identik dengan Allah. Nampaknya Spinoza telah menjadi filsuf yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Descartes, sekaligus menjadi penentang ajaran dualismenya.
Spinoza hidup di tengah lingkungan yang masih kuat nuansa takhayul religi, norma  dan hal-hal tabu yang dipercaya dalam masyarakat, sehingga memiliki keinginan kuat untuk melepaskan diri dari mitos-mitos, serta berpikir bebas. Sebagaimana dalam Hardiman (2004: 43), Spinoza tidak puas dengan ajaran-ajaran kuno dalam agamanya kemudian memihak cara berpikir modern yang banyak dipengaruhi oleh Descartes.   
“Apa yang kalian sebut kebenaran? kesesatan yang berabad-abad lamanya, apa itu kesesatan? kebenaran yang dialami hanya semenit” (Spinoza).
                Sejarah biografis Spinoza diwarnai oleh nuansa hidupnya yang cukup kelam, sembari menjadi seseorang yang memikul harapan para rabbi, dikarenakan pemikirannya yang bebas Spinoza akhirnya justru dianggap murtad dan dikucilkan kaumnya. Ia mendiskusikan banyak muatan agama yang dianggapnya sebagai kebenaran yang disalahtafsirkan, ia juga berpendapat malaikat adalah imajinasi yang disalahpahami, dikatakannya bahwa Musa tidak mungkin menulis Taurat, dan mukjizat adalah kesalahan dalam menafsirkan hukum-hukum alam (Hardiman, 2004: 44). 
            Tahun 1656, Spinoza benar-benar dikucilkan dan dianggap sudah mati oleh kalangannya. Akhirnya, ia mengganti nama menjadi Beneictus de Spinoza, untuk menyembunyikan identitasnya dan bekerja sebagai pengasah lensa dan mikroskop, karena percobaan pembunuhan oleh seorang Yahudi fanatik. Di masa-masa sulit ia menghasilkan beberapa karya yang nantinya akan melegendakan namanya, dan tak lama waktu berselang pun ia menderita penyakit TBC selama masa pengucilan, dan meninggal di usia 43 tahun (1677).
            Karya-karyanya waktu itu banyak yang dilarang karena dianggap berbahaya dan berpotensi mengotori dogma agama. Bukunya yang paling terkenal berjudul “Ethic More Geometrica Demonstrata (Etika dibuktikan secara Geometris, 1677)”, karya-karyanya malah meledak setelah diterjemahkan dalam bahasa asing dan terkenal di luar Belanda. Beberapa diantaranya Renati Descartes de Principorium Philosophie (Prinsip Filsafat Descartes, 1663), Tractatus Theologico-Politicus (Traktat Politis-theologi, 1670), Tractatus de intellectus Emendetione (Tractat tentang Perbaikan Pemahaman, 1677).
      Spinoza menjadi pendobrak keras dogmatisme agama layaknya Giordano Bruno (1548-1600) yang bernasib tragis. Sampai akhirnya, beberapa tokoh terkemuka seperti Goethe dan Schelling membersihkan namanya, dan secara terang-terangan mengakuinya sebagai pemikir besar. Pemikiran Spinoza yang berpengaruh besar adalah panteismenya.

Pondasi Metafisika Spinoza
        Buku Ethics, jauh seperti yang dibayangkan berisi ulasan-ulasan sederhana mengenai yang mana perihal norma-norma, argumentasi emosional atau hal-hal yang dianggap semata-mata bernilai atau tidak. Buku ini justru memuat analisis yang jernih secara rasional dan terukur: berisi proposisi, metode, aksioma, tenik, bukti dan kesimpulan hingga logika matematis layaknya ilmu ukur. Bahkan dalam buku ini diandaikan alam semesta beserta tingkah lakunya dapat didekati dengan pola-pola terukur dan objektif.
          Awalnya model metafisika yang diusung Spinoza memang memodifikasi milik Descartes, menurutnya Descartes adalah manusia dengan banyak sisi dan memiliki rasa keingintahuan intelektual yang luar biasa, tetapi tidak mempunyai kesungguhan moral (Russel, 2007: 747). Moralitas, menurut Spinoza jauh sebenarnya bukan bermaksud menyerang otoritas agama dan muatan-muatan relijius dalam kepercayaan keagamaan, tetapi ia justru berusaha mencari ruang untuk menghargai Tuhan dan hidup yang diabdikan kepada-Nya. Moralitas seperti ini lah yang dikembangkan oleh Spinoza, yang menerima fisika materialistik sehingga pemikirannya tentang moral disebut dengan etika deterministik. 
        Spinoza menyebut substansi Alam semesta itu tunggal, dan yang sekaligus disebut dengan Allah. Tidak ada hal diluar substansi tunggal itu, sehingga dualisme yang dipahami oleh Descartes sudah keliru. Adapun yang terbagi-bagi seperti tubuh dan jiwa tidak lain hanya “atribut”, yaitu corak atau cirinya melekat dalam substansi. Sedangkan cara agar indera dapat mengidentifikasi substansi disebut dengan “modus”, atau cara mengada. Namun, tak lain lagi segalanya di alam semesta itu sejatinya disebut substansi, yang hanya ada satu. Ini lah yang dimaksud dengan pandangan panteisme monistik.
       Upaya Spinoza merumuskan substansi tunggal ini sebenarnya demi menjawab kebingungan yang terjadi dalam persoalan pemisahan tubuh dan jiwa. Terkadang timbul pertanyaan membingungkan dari mana datangnya jiwa, jika memang terpisah adanya dengan materi badan?. Persoalan ini mengundang diskusi yang mendalam dan membingungkan tatkala dihadapkan dengan cogito, bahwa pikiran berdiri sendiri terpisah dengan tubuh materinya. Artinya, beberapa persoalan mendasar yang ditinggalkan oleh Descartes perlu disempurnakan. Persoalan ini lah yang kemudian dibidik oleh Spinoza, dan dicarikan jalan keluarnya.
         Spinoza meletakkan beberapa keping pemikirannya tidak terlepas dari corak pemikirannya yang rasional dan matematis. Di sini kejernihan Spinoza memandang persoalan metafisika yang dijawab secara terukur, atau menyerupai ilmu ukur, geometri. Nampaknya, gaya penyelesaian seperti ini lah yang nantinya akan mempengaruhi tokoh-tokoh matematika seperti Leibniz, dan ilmuwan yang menggandrungi panteisme seperti Einstein. Tipe-tipe pandangan filosofis seperti ini, sangat riskan bersebrangan dengan doktrin-doktrin agama. Kenyataanya, kemajuan sains kini lebih berani dan akurat membahasakan realitas, dibandingkan dengan bahasa-bahasa agama yang tekstual, namun tidak sedikit juga yang justru  memperkuat keberadaan dogma agama. Sehingga pemikiran panteisme memang jauh lebih tepat diletakkan pada posisi spiritualitas, dibandingkan relijiustitas agama.
    Kata kunci pemikiran Spinoza yaitu ketika ia mulai mendefinisikan substansi sebagai, “sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri, artinya: sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya”(Tjahjadi, 2007: 29). Deus sive nature, di sini berperan sebagai istilah untuk memperjelas persamaan hakiki antara Tuhan, atau yang disebut Allah dan Alam. Tuhan sebagai pencipta memerankan peran ganda sebagai subjek dan objek, di sini dapat kita lihat perluasan makna dalam agama Yahudi dan Kristen ortodoks, yang sekaligus menyempitkan makna ketuhanan personal. Penyebutan “Bapa”, “Engkau” dan “Tuan/lord”, seperti yang diimani dalam agama monoteisme menurut Spinoza mengandung sifat ketuhanan yang personal atau sangat manusiawi, yang telah gugur tatkala dihadapkan dengan sifat “keterbatasan” yang dimiliki manusia. Seharusnya Tuhan tidaklah memiliki keterbatasan, sehingga “ketidakterbatasan”, atau konsep ketuhanan yang sempurna hanya mampu diterapkan dalam sebuah konsep ketuhanan “impersonal”.
            Sebagai Allah, alam adalah “natura naturans” (Alam yang melahirkan), yang berperan sebagai asal-usul, sumber pemancaran, dan sebagai daya pencipta pertama. Kemudian, sebagai dirinya sendiri, alam adalah “natura naturata” (alam yang dilahirkan), yaitu sebuah nama untuk alam dan Allah yang sama tetapi bisa ditangkap indera (Copleston, 1958: 217). Bagi Spinoza Allah sekaligus alam tak lain adalah substansi tunggal, dan supaya dapat dipahami sebagai sesuatu yang tak terbatas, haruslah impersonal. Allah juga memiliki sifat-sifat lainnya yang tak terbatas jumlahnya, dan karena tak terbatas, sehingga sulit diketahui semuanya, oleh karena itu hanya ada satu Tuhan Esa, dan sudah pasti tidak terbatas dan abadi secara absolut. Sehingga tidak ada keabadian pada pribadi/manusia seperti dalam paham agama Kristen atau Yahudi, melainkan kondisi dimana manusia semakin menyatu dengan keabadian Tuhan. Maka itu pemikiran ini digolongkan panteisme radikal.

Bangunan Epistemologi Spinoza
Dasar epistemologi Spinoza sedikit banyak terpengaruh gaya idealisme Plato. Objek dari idea yg menciptakan pikiran manusia dilakukan oleh badan, atau bentuk ekstensi yang nyata dan pasti. Sehingga ia membagi dalam tiga taraf pengetahuan. Pertama opini atau imajinasi  yang tidak terorganisir, dapat terjebak pada pengetahuan yg membingungkan. Kedua, refleksi atau reason  yang mengerti unsur esensial benda dan mengerti proses sesuatu diikuti secara deduktif. Ketiga, taraf intuisi, “self- evident truth”, kebenaran yg terbukti dengan sendirinya, tanpa proses penalaran secara kasar atau terlihat.
Datangnya ketiga taraf pengetahuan ini menurutnya tidak membedakan satu sama lain posisi idea dan badan. Gaya monismenya ini, menjurus pada kesimpulan bahwa sebuah idea harus sesuai dengan ideatum, ini lah yang disebut “kebenaran”. Sehingga tidak mungkin ada idea yang salah, karena datangnya dari substansi tunggal. Namun disaat yang bersamaan, ia juga ingin membedakan benar dan salah. Sehingga ia membagi kembali idea menjadi dua jenis. Idea yang memiliki kebenaran secara intrinsik dan idea yang memiliki kebenaran secara ekstrinsik. Idea secara intrinsik ini lah yang paling sesuai dengan ideatum, misalnya perumpamaan yang benar tentang keberadaan matahari adalah sebuah bintang yang berpijar,ini disebut kebenaran objektif. Sedangkan idea secara ekstrinsik ini biasanya datang dari perspektif yang lebih plural, misalnya matahari adalah bola yang bersinar, ini memiliki kebenaran yang debatable. Namun sebenarnya Spinoza ingin mengatakan bahwa, idea datang dari cermin prose fisik, dan sebaliknya proses fisik adalah cermin dari idea, sehingga muara pemikirannya kembali lagi pada monisme panteistik.   

Konsep Cinta dan Kebebasan Spinoza
Spinoza menyusun kerangka etikanya berdasarkan kaidah ilmu ukur, dan tak tertinggal juga konsep tentang cinta. Di sini, konsep cinta yang dimaksud adalah (amor Dei intellectualis), cinta berasaskan intelektualitas kepada Allah. Konsep ini lah yang dikenal dengan  puncak etika dan kebahagiaan manusia. Jika sudah mencapai pengertian tertinggi dalam mengenal Allah, maka cinta akan muncul, dan manusia bisa menerima segala sesuatu yang dikehendaki oleh alam. Cinta intelektual ini mirip dengan kepuasan mental yang dirasakan ilmuwan apabila ia memahami hukum alam secara lengkap, sehingga kita bisa melihat segala sesuatu “sub specie aeternitatis”, dari sudut yang abadi (Tjahjadi, 2007: 34).        Ada dua macam distingsi “emosi” menurut Spinoza yang kerap menjangkiti manusia tatkala berikhtiar mengejar kebahagiaan. Pertama adalah “emosi pasif”, yaitu perasaan senang atau sakit yang secara spontan dialami manusia, biasanya ini berkaitan dengan kesan-kesan yang ditangkap oleh indera dari luar, misalnya perasaan bahagia yang didapat lewat pemuasan terhadap rasa lapar, makan-makanan lezat dan kenyamanan tempat tinggal. Kedua adalah “emosi aktif”, yaitu perasaan senang yang diperoleh berkat aktivasi mental yang dilakukan dari dalam diri manusia sendiri, ini berkaitan dengan faktor internal dan kesadaran. Misalnya kebahgian yang didapatkan oleh rasa bersyukur, ikhlas dan kedamaian batin yang didapat dari dalam “inner peace”.
 Menurut Spinoza, seharusnya manusia lebih mengembangkan emosi aktifnya agar dapat melihat realitas sesungguhnya. Sehingga manusia memiliki kesadaran untuk mengembangkan cinta terhadap alam dan ketentuan hukum-hukum alam. Karena manusia akan sulit menangkap realitas keabadian, dan kesejatian dirinya sendiri jika hanya memuaskan indera, dan hawa nafsu. Ini lah yang kemudian ditekankan untuk mengembangkan cinta intelektual kepada Allah.       Konsep berikutnya berkaitan dengan kebebasan. Menurut Spinoza manusia tidak pernah bebas secara definitif, sebagaimana yang diagung-agungkan oleh pemikirannya sendiri. Kebebasan tidak pernah diterima sebagai hal yang mutlak milik manusia, karena harus bergelayut dengan alam dan hukum-hukumnya. Kendati demikian manusia dapat benar-benar bebas jika mengembangkan emosi aktif seperti di atas, kebebasan di sini diartikan, terbebas dari cengkraman nafsu dan keinginan rendahan yang terus membelenggu dan menghalangi kebersatuan dengan alam. Jika manusia bisa membebaskan diri dari keinginan rendahan ini dan terus mengembangkan kesadaran maka ia akan menuju kebebasan sesungguhnya, yaitu kebebasan abadi dan mutlak dari Allah atau alam.
       Pemikirannya tentang kebebasan berpikir inilaeh kemudian yang dikembangkan dalam ranah sosial dan politik. Nampaknya Spinoza banyak terpengaruh oleh Hobbes, bahwa institusi agama harus tunduk pada negara, karena terlalu rentan mengaburkan makna benar dan salah secara emosional, sehingga dalam (state of nature) keadaan alamiah  permasalahan yang muncul antar sesama manusia harus diatasi melalui penegakan hukum negara. Kendati tidak setuju dengan sistem demokrasi, Spinoza tetap memihak pada kebebasan berpendapat, karena dianggap disitulah beberapa hal yang penting dilupakan. Kebebasan berpikir dan berpendapat yang kerap dibungkam institusi agama, harus ditinjau ulang. Machiavelli juga menjadi rujukannya kala menyepakati bahwa agama harus dikuasai negara, di lain pihak negara tidak boleh mendominasi kepentingan pribadi dan kepercayaan pribadi, sehingga Spinoza menjadi salah seorang tokoh yang merintis konsep hak asasi manusia (Russel, 2007:747 bdk; Tjahjadi, 2007: 52).           
     Buku Tractatus Theologico-Politicus Spinoza telah menjadi semangat kebebasan Belanda, atau lebih tenar dikenal dengan istilah Liberalisme. Tujuh provinsi Belanda menerapkan konstitusi liberal, terbukti setelah terbebas dari Spanyol di tahun 1648, Belanda dianggap menjadi tempat dimana manusia bebas berpikir dan berpendapat, walaupun pada awalnya Spinoza dituduh jelmaan setan yang karyanya dikutuk habis-habisan. Diterbitkan di Hamburg-Jerman dengan identitas anonymous, pemikirannya justru dipuja dimasa-masa setelahnya, dan namanya pun dibersihkan dari hinaan-hinaan. Di abad ke 17 Belanda menjadi negari kebebasan melebihi Amerika Serikat, bahkan di Eropa saat ini pun beberapa situs peninggalan dan patung dipahatkan untuk menggemakan sang pemikir besar Baruch Spinoza.
                  
Sumber
Copleston, Frederick Charles, 1958, A History of Philosophy: Volume IV From Descartes to Leibniz, London: Burns, Oates& Washbourne.
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Russel, Bertrand, 2007, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko; History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to Present Day, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Tjahjadi, Simon Petrus L, 2007, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan; dari Descartes sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius.

1 wicara:

www.pusat-grosir-surabaya.blogspot.com mengatakan...

Keren banget pak Lukman....
Filsafat yang begitu rumit
mampu dijabarkan dengan bahasa umum yang sederhana.
Semoga banyak filosof Untag Surabaya yang memiliki semangat membumikan filsafat dengan bahasa rakyat kebanyakan. Selamat pak hehehehe...

 

ANDA PENGUNJUNG YANG KE

IKLAN

TRANSLATE